This is an outdated version published on 2023-12-31. Read the most recent version.

Age, Education, and Use of Health Applications Are Associated with Acceptance of Use of Chronic Disease Detection Applications

Authors

  • Evina Widianawati Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
  • Nugraheni Kusumawati Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
  • Widya Ratna Wulan Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
  • Ika Pantiawati Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.1181

Keywords:

Characteristics, Age, Educational level, Disease detection application

Abstract

The results of examinations for patients who take part in the Prolanis program are only recorded at health service facilities, while the patients themselves do not know the results of their examinations. To bridge this, a chronic disease detection application was designed. Several factors can influence a user's willingness to use an application, one of which is user characteristics. This study aims to examine the relationship between respondent characteristics and acceptance of chronic disease detection applications. The type of research used is quantitative research with the research location being health service facilities in Semarang district, namely Lerep Health Center, Ungaran Health Center, and Niki Helti Clinic. Data was obtained through a questionnaire with a Linkert scale which was filled in by patients at health service facilities as system users totaling 131 respondents. The research was carried out in July-August 2023. Data analysis techniques used the chi-square test and Spearman rank test. The results of the research show that there is a relationship between age (p.value 0.001), education (p.value 0.000), length of time using a mobile phone (p.value 0.001), and use of health applications (p.value 0.012) on acceptance of chronic disease detection applications. Meanwhile, gender (p.value 0.051), occupation (p.value 0.626), and length of work (p.value 0.293) have no relationship with acceptance of chronic disease detection applications. In future research, it is hoped that the application will be made easier to use by elderly users who are not in school and have never used a mobile phone.

PENDAHULUAN

Pemerintah memiliki kebijakan terbaru terkait penggunaan sistem Rekam Medis Elektronik yaitu seluruh fasilitas kesehatan wajin menggunakan Rekam Medis Elektronik berdasarkan Peraturan PMK No. 24 Tahun 2022 [1]. Dengan adanya RME dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan melalui pemanfaatan teknologi informasi[2][3]. Kebijakan ini memudahkan petugas kesehatan dalam mendapatkan riwayat kesehatan pasien dalam membantu diagnosa pasien[4]. Namun belum ada kebijakan terkait personal health record (PHR) agar pasien mengetahui riwayat kesehatannya [5] dan sebagai sarana deteksi awal penyakit. PHR merupakan rekam kesehatan yang dikelola individu yang berisi kumpulan informasi kesehatan seseorang[6]. Dengan mengetahui riwayat kesehatannya, pasien menjadi waspada akan gejala atau penyebab awal suatu penyakit. Deteksi awal penyakit turut membantu pasien dalam mengetahui resiko kesehatan, pencegahan penyakit dan penanganan yang lebih cepat[7].

Penyakit kronis adalah gangguan kesehatan yang berlangsung lama[8], biasanya lebih dari 1 tahun. Beberapa penyakit yang termasuk penyakit kronis yaitu hipertensi, diabetes melitus, jantung, kanker dan stroke[9][10]. Pemerintah memiliki program pengelolaan penyakit kronis (Prolanis) [11] yang dijalankan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di seluruh Indonesia. Hasil pemeriksaan pasien yang mengikuti program Prolanis hanya tercatat di fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan pasien sendiri tidak memiliki PHR untuk mengetahui hasil pemeriksaan setiap bulannya. Untuk menjembatani hal tersebut dirancang aplikasi deteksi penyakit kronis yang dapat berfungsi sebagai alat pencatatan riwayat kesehatan dan deteksi dini penyakit kronis.

Dalam menggunakan aplikasi penyakit kronis, tidak semua responden dapat menerima dan menggunakan aplikasi dengan baik. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesediaan pengguna untuk menggunakan aplikasi salah satunya yaitu karakteristik pengguna[12]. Karakteristik pengguna pada aplikasi deteksi penyakit kronis. terbagi menjadi beberapa karakteristik yaitu pengguna ditinjau dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, lama bekerja, lama menggunakan mobile phone dan pernah menggunakan aplikasi kesehatan. Dari karakteristik tersebut diteliti bagaimana hubungannya dengan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis. Oleh karena itu diteliti terkait karakteristik responden pada aplikasi deteksi penyakit kronis.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini berlokasi di fasilitas pelayanan kesehatan di kabupaten semarang yaitu Puskesmas Lerep, Puskesas Ungaran dan Klinik Niki Helti. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli- Agustus 2023.

Populasi penelitian adalah seluruh pasien di fasilitas pelayanan kesehatan di kabupaten semarang. Sampel pada penelitian ini adalah 131 pasien di fasilitas pelayanan kesehatan.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada karakteristik responden berupa pada karakteristik responden berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, lama bekerja, lama menggunakan mobile phone dan pernah menggunakan aplikasi kesehatan[13].

Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisis distribusi frekuensi dan analisis biavriat. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square untuk variabel usia, pekerjaan, jenis kelamin, penggunaan aplikasi kesehatan serta uji Fisher’s Exact untuk variabel pendidikan, lama bekerja, lama menggunakan mobile phone dengan derajat kemaknaan 95%.

HASIL

Dari 131 responden diidentifikasi hubungan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, lama bekerja, lama menggunakan mobile phone dan pernah menggunakan aplikasi kesehatan terhadap penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Usia Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis P- value
Tidak menerima Cukup Menerima Menerima
f % f % f %
Dewasa      (18- 44 tahun) 2 4% 30 61% 17 35% 0,001
Pra Lansia   (45-60 tahun) 6 12% 30 61% 13 27%
Lansia              (> 60 tahun) 12 36% 16 48% 5 15%
Table 1. Hubungan usia dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis

Dari tabel 1 diketahui bahwa pada usia dewasa sebanyak 35% menerima, 61% cukup menerima dan 4% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada usia pra lansia sebanyak 27% menerima, 61% cukup menerima dan 12% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada usia lansia sebanyak 15% menerima, 48% cukup menerima dan 36% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Kelompok usia lansia merupakan kelompok usia yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi deteksi penyakit kronis, sedangkan usia dewasa dan pra lansia cukup menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Nilai p-value sebesar 0,001 < 0,05 sehingga terdapat hubungan antara usia dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Pekerjaan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis P- value
Tidak menerima Cukup Menerima Menerima
f % f % f %
Ibu Rumah Tangga 8 14% 35 63% 13 23% 0,626
Karyawan 5 23% 13 59% 4 18%
PNS 1 7% 7 50% 6 43%
Wiraswasta 6 15% 21 54% 12 31%
Table 2. Hubungan pekerjaan dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis

Dari tabel 2 diketahui bahwa pada pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 23% menerima, 63% cukup menerima dan 14% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pekerjaan karyawan sebanyak 18% menerima, 59% cukup menerima dan 23% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pekerjaan PNS sebanyak 43% menerima, 50% cukup menerima dan 7% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pekerjaan wiraswasta sebanyak 31% menerima, 54% cukup menerima dan 15% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pekerjaan karyawan merupakan kelompok pekerja yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan ibu rumah tangga dan wiraswasta cukup menerima aplikasi serta PNS paling mudah menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,626 > 0,05 sehingga tidak terdapat hubungan antara pekerjaan dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Lama Bekerja Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis P- value
Tidak menerima Cukup Menerima Menerima
f % f % f %
< 5  tahun 10 13% 44 57% 23 30% 0,293
6-15 tahun 3 19% 10 63% 3 19%
> 15 tahun 7 18% 22 58% 9 24%
Table 3. Hubungan lama bekerja  dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis

Dari tabel 3 diketahui bahwa pada lama bekerja < 5 tahun sebanyak 30% menerima, 57% cukup menerima dan 13% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama bekerja 6-15 tahun sebanyak 19% menerima, 63% cukup menerima dan 19% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama bekerja >15 tahun sebanyak 24% menerima, 58% cukup menerima dan 18% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Lama bekerja < 5 tahun merupakan yang paling mudah menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan lama bekerja 6- 15 tahun dan > 15 tahun cukup menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,293 > 0,05 sehingga tidak terdapat hubungan antara lama bekerja dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Jenis Kelamin Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis P- value
Tidak menerima Cukup Menerima Menerima
f % f % f %
Perempuan 19 20% 52 55% 24 25% 0,051
Laki-laki 1 3% 24 67% 11 31%
Table 4. Hubungan jenis kelamin dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis

Dari tabel 4 diketahui bahwa pada perempuan sebanyak 25% menerima, 55% cukup menerima dan 20% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada laki-laki sebanyak 31% menerima, 67% cukup menerima dan 3% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Jenis kelamin perempuan merupakan yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan laki-laki cukup menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,051 > 0,05 sehingga tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Pendidikan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis P- value
Tidak menerima Cukup Menerima Menerima
f % f % f %
Tidak Sekolah 3 50% 2 33% 1 17% 0,000
SD 4 18% 17 77% 1 5%
SMP 3 14% 15 71% 3 14%
SMA 9 16% 30 52% 19 33%
Diploma 1 8% 7 54% 5 38%
Sarjana 0 0% 5 63% 3 38%
Magister 0 0% 0 0% 3 100%
Table 5. Hubungan pendidikan dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis

Dari tabel 5 diketahui bahwa pada pendidikan tidak sekolah sebanyak 17% menerima, 33% cukup menerima dan 50% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pendidikan SD-SMP sebanyak 5-14% menerima, 71-77% cukup menerima dan 14-18% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pendidikan SMA- Sarjana sebanyak 33-38% menerima, 52-63% cukup menerima dan 0-16% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pendidikan magister sebanyak 100% menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Status pendidikan tidak sekolah merupakan kelompok pekerja yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan pendidikan SMP-Sarjana cukup menerima aplikasi serta pendidikan magister paling mudah menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,000 < 0,05 sehingga terdapat hubungan antara pendidikan dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Lama Penggunaan Mobile Phone Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis P- value
Tidak menerima Cukup Menerima Menerima
f % F % f %
Tidak punya 9 33% 10 37% 8 30% 0,001
1-5 tahun 8 20% 29 71% 4 10%
6-10 tahun 2 6% 22 65% 10 29%
> 10 tahun 1 3% 15 52% 13 45%
Table 6. Hubungan penggunaan mobile phone dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis

Dari tabel 6 diketahui bahwa pada tidak memiliki mobile phone 30% menerima, 37% cukup menerima dan 33% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama penggunaan mobile phone 1-5 tahun sebanyak 10% menerima, 71% cukup menerima dan 20% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama penggunaan mobile phone 6-10 tahun sebanyak 29% menerima, 65% cukup menerima dan 6% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama penggunaan mobile phone >10 tahun sebanyak 45% menerima, 52% cukup menerima dan 3% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Lama penggunaan mobile phone < 5 tahun merupakan yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan lama penggunaan mobile phone 6- 10 tahun dan > 10 tahun cukup menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,001 < 0,05 sehingga terdapat hubungan antara lama penggunaan mobile phone dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Menggunakan Aplikasi Kesehatan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis P- value
Tidak menerima Cukup Menerima Menerima
f % f % f %
Tidak 15 19% 50 63% 14 18% 0,012
Ya 5 10% 26 50% 21 40%
Table 7. Hubungan penggunaan aplikasi kesehatan dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis

Dari tabel 7 diketahui bahwa status tidak pernah menggunakan aplikasi kesehatan sebanyak 18% menerima, 63% cukup menerima dan 19% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada status pernah menggunakan aplikasi kesehatan sebanyak 40% menerima, 50% cukup menerima dan 10% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pernah menggunakan aplikasi kesehatan merupakan yang paling mudah menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan tidak pernah menggunakan aplikasi kesehatan cukup menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,012 > 0,05 sehingga terdapat hubungan antara penggunaan aplikasi kesehatan dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

PEMBAHASAN

Usia merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan penggunaan aplikasi, usia lanjut lebih banyak menemui masalah dalam menggunakan aplikasi dibandingkan dengan usia muda[14]. Hal ini disebabkan kemajuan teknologi yang sangat pesat pada beberapa dekade terakhir mengakibatkan perubahan perliaku salah satunya dalam kesehatan[15], sehingga usia muda lebih familiar menggunakan aplikasi dibandingkan usia lanjut. Pendidikan terakhir tidak sekolah cenderung sulit menggunakan aplikasi karena memerlukan proses belajar yang lebih lama dibandingkan pendidikan yang lebih tinggi. Seseorang yang sudah terbiasa menggunakan mobile phone lebih mudah menggunakan aplikasi karena sudah terbiasa menggunakan smartphone dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Pada masa pandemi Covid-19 pemerintah mewajibkan masyarakat menggunakan aplikasi peduli lindungi untuk sertifikat vaksin, check-in ke mall dan lain sebagainya[16][17]. Penggunaan aplikasi kesehatan seperti peduli lindungi mendukung dalam penggunaan aplikasi kesehatan sejenis.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian diketahui usia lansia, pekerjaan karyawan, jenis kelamin perempuan, pendidikan tidak sekolah dan lama penggunaan mobile phone < 5 tahun merupakan karakteristik yang paling sulit menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Lama bekerja < 5 tahun, pekerjaan PNS dan pernah menggunakan aplikasi kesehatan merupakan karakteristik yang mudah menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Terdapat hubungan usia, pendidikan, lama menggunakan mobile phone dan penggunaan aplikasi kesehatan terhadap penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis. Sedangkan jenis kelamin, pekerjaan dan lama bekerja tidak memiliki hubungan dengan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada penelitian selanjutnya diharapkan aplikasi dibuat lebih user friendly agar usia lansia, pendidikan tidak sekolah dan lama penggunaan mobile phone < 5 tahun dapat lebih mudah menggunakan aplikasi deteksi penyakit kronis.

PERNYATAAN

Penulis sangat berterima kasih kepada Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

Pendanaan

Universitas Dian Nuswantoro

Kontribusi Setiap Penulis

Conceptualization, methodology, Ika P.; writing—original draft preparation, Evina W.; writing—review and editing, Nugraheni K.; visualization, validation, Widya R.W.

DAFTAR PUSTAKA

[1]      Ministry of Health, “Ministry of Health. Minister of Health Regulation No. 24 of 2022 for Medical Records. https://kars.or.id/daftar-regulasi/,” no. 24, p. 2022, 2022.

[2]      A. R. Alfian and M. U. Basra, “Analisis Pelaksanaan E-Puskesmas di Puskesmas Ikur Koto Padang,” J. Endur.  Kaji. Ilm. Probl. Kesehat., vol. 5, no. 2, pp. 395–402, 2020.

[3]      S. S. Wibowo and L. Chuvita, “Perancangan Rekam Kesehatan Personal (Rkp) Untuk Deteksi Dini Cegah Stunting Pada Balita Di Posyandu,” J. Endur., vol. 8, no. 1, pp. 1–8, 2023.

[4]      R. Priambodo, “Rekam Medis Elektronik Menggunakan Sistem Penyimpanan Foto Intraoral Gigi untuk Aplikasi Teledentistry berbasis Internet of Things,” INOVTEK Polbeng - Seri Inform., vol. 4, no. 2, p. 121, 2019.

[5]      T. Heart, O. Ben-Assuli, and I. Shabtai, “A review of PHR, EMR and EHR integration: A more personalized healthcare and public health policy,” Heal. Policy Technol., vol. 6, no. 1, pp. 20–25, 2017.

[6]      R. J. Mandels, “MENINGKATKAN LITERASI KESEHATAN MELALUI INOVASI PERSONAL HEALTH RECORD,” vol. 10, no. 4, p. 6, 2021.

[7]      H. Muliasari, C. D. Hamdin, A. D. Ananto, and M. Ihsan, “Edukasi Dan Deteksi Dini Diabetes Mellitus Sebagai Upaya Mengurangi Prevalensi Dan Resiko Penyakit Degeneratif,” J. Pendidik. dan Pengabdi. Masy., vol. 2, no. 1, 2019.

[8]      S. N. F. Lailatushifah, “Analisa Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberculosis: Perbandingan Penggunaan Layanan Pesan Singkat dengan Pengawas Minum Obat,” J. Akad. Baiturrahim Jambi, vol. 12, no. 1, p. 74, 2023.

[9]      A. Amila, E. Sembiring, and N. Aryani, “Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Degeneratif Pada Masyarakat Wilayah Mutiara Home Care,” J. Kreat. Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 4, no. 1, pp. 102–112, 2021.

[10]     G. Widakdo and B. Besral, “Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental Emosional,” Kesmas Natl. Public Heal. J., vol. 7, no. 7, p. 309, 2013.

[11]     A. Imade Rosdiana, B. Budi Raharjo, S. Indarjo Administrasi Kebijakan Kesehatan, J. Ilmu Kesehatan Masyarakat, F. Ilmu Keolahragaan, and U. Negeri Semarang, “Implementasi Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis),” Higeia J. Public Heal. Res. Dev., vol. 1(3), no. 3, pp. 140–150, 2017.

[12]     N. Fathonah and Y. Hartijasti, “The Influence of Perceived organizational Injustice Towards workplace Personal web usage and work Productivity In Indonesia,” pp. 151–166, 2012.

[13]     E. Rachmani et al., “Developing an Indonesia’s health literacy short-form survey questionnaire (HLS-EU-SQ10-IDN) using the feature selection and genetic algorithm,” Comput. Methods Programs Biomed., vol. 182, no. 172, p. 105047, 2019.

[14]     M. Awan, S. Ali, M. Ali, M. F. Abrar, H. Ullah, and D. Khan, “Usability Barriers for Elderly Users in Smartphone App Usage: An Analytical Hierarchical Process-Based Prioritization,” Sci. Program., vol. 2021, 2021.

[15]     M. Weck and M. Afanassieva, “Toward the adoption of digital assistive technology: Factors affecting older people’s initial trust formation,” Telecomm. Policy, vol. 47, no. 2, p. 102483, 2023.

[16]     A. Fastyaningsih, “Keberhasilan Aplikasi Peduli Lindungi Terhadap Kebijakan Percepatan Vaksinasi Dan Akses Pelayanan Publik Di Indonesia,” Gema Publica, vol. 6, no. 2, pp. 95–109, 2021.

[17]     A. N. Z. Putri and F. Latifah, “Analisa Usability Penggunaan Aplikasi Peduli Lindungi Pada Masyarakat Kota Depok Dengan Pendekatan Kuantitatif,” J. Inf. Syst. Applied, Manag. Account. Res., vol. 6, no. 4, pp. 780–791, 2022.

Published

2023-12-31

Versions

How to Cite

Widianawati, E., Kusumawati, N., Wulan, W. R., & Pantiawati, I. (2023). Age, Education, and Use of Health Applications Are Associated with Acceptance of Use of Chronic Disease Detection Applications. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(3), e1181. https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.1181

Issue

Section

Original Research

Citation Check