Skip to main content Skip to main navigation menu Skip to site footer
Editorial
Published: 2022-10-19

The Role of Aquatic Protein Food Sources and Stunting Children in Coastal Areas

Jurusan Gizi, Poltekkes Kemenkes Kendari, Kendari, Indonesia
Universitas Gunadarma, Depok, Indonesia
Seafood Protein Stunting Coastal area

License

How to Cite

Nirmala, I. R., & Octavia, L. (2022). The Role of Aquatic Protein Food Sources and Stunting Children in Coastal Areas. Jurnal Stunting Pesisir Dan Aplikasinya, 1(2). https://doi.org/10.36990/jspa.v1i2.707

Abstract

This paper explains the importance of using local food from sea catch fish in Southeast Sulawesi as a source of protein and its relation to reducing stunting prevalence in children. The article's source is a literature review related to seafood and stunting in children. This study explains the shift in children's eating patterns, barriers to consuming seafood as a protein source and promoting seafood as a protein source into a sustainable nutrition program. Multisectoral cooperation will aid in reducing the prevalence of malnutrition in vulnerable groups. Recognizing local resources that can be optimized as sources of food intake for vulnerable groups is also a must to be included in program preparation. This paper is confirmed by the results of ongoing studies and observations to help ensure the right program design to reduce stunting in coastal areas.

Downloads

Download data is not yet available.

Article Metrics

Pendahuluan

Stunting merupakan manifestasi kekurangan gizi kronis yang muncul pada anak hingga usia balita sebagai gagal tumbuh [1]. Secara fisik, anak stunting memiliki tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan teman-teman sebayanya [2]. Namun, ada yang lebih serius daripada pertumbuhan fisik, stunting juga dapat mengganggu perkembangan otak [3].

Data terakhir dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyatakan prevalensi stunting untuk tingkat nasional bertengger di angka 24,4%. Dalam World Health Assembly (WHA) ditargetkan penurunan angka stunting 40% di tahun 2025 dan mengentaskan semua permasalahan gizi berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 di seluruh dunia [4]. Untuk konteks Indonesia, pemerintah menargetkan prevalensi stunting kurang dari 14% di tahun 2024 yang dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), kerja besar yang membutuhkan koordinasi dan kontribusi semua pihak terkait kompleksitas permasalahan yang dihadapi [5].

Kompleksitas penyebab stunting mendasari perlunya pendekatan multi sektor dalam pemecahan masalah. Sejak masa konsepsi, janin yang melekat di rahim ibu, akan tumbuh dan berkembang dan dipengaruhi banyak faktor, baik genetik maupun lingkungan. Dalam konsep 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK/the first 1,000 days of life), kualitas hidup individu ditentukan sejak kehidupan dimulai, yakni di masa pembuahan hingga berusia 24 bulan [6]. Total 1000 hari yang terdiri dari 270 hari di dalam kandungan dan 730 hari setelah dilahirkan menjadi periode emas untuk mencapai tumbuh kembang yang sesuai dengan rekomendasi [7]. Pemenuhan kebutuhan nutrisi ibu bahkan sebelum konsepsi dimulai menjadi keharusan untuk menghindari anak terlahir stunting [8]. Gizi menjadi modifiable effect dalam pertumbuhan dan perkembangan janin sejak dari masa konsepsi, kelahiran, menyusui, hingga berusia dua tahun [9]. Memastikan pemenuhan gizi ibu sejak masa prakonsepsi, akan membantu optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan anak yang dikandung [10]. Berat badan dan panjang badan yang diharapkan pada bayi baru lahir minimal 2500 g dan 48 cm digunakan sebagai indikator untuk indikasi awal kemungkinan gangguan tumbuh kembang pada tahapan berikutnya [11].

Selain mengganggu perkembangan otak, stunting juga menurunkan sistem kekebalan tubuh dan unjuk kerja pada usia produktif. Selain itu risiko mengalami penyakit degeneratif lebih besar pada kelompok yang memiliki riwayat malnutrisi pada usia dini [12]. Potensi kerugian dalam ekonomi kesehatan juga menjadi hal yang harus diperhatikan terkait dengan masalah kesehatan masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, pemerintah menyusun beberapa langkah dalam penanganan percepatan permasalahan stunting dengan menurunkan program sensitif dan spesifik. Intervensi spesifik berkaitan dengan kegiatan penanganan stunting secara langsung, diantaranya konsumsi, penyakit, status gizi ibu, kesehatan lingkungan, riwayat pemberian air susu ibu (ASI) melalui inisiasi dini dan kemungkinan penyakit menular [13–16]. Sementara intervensi sensitif berhubungan dengan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung  yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan.

Untuk program sensitif, yang termasuk di dalamnya adalah mengenai sumber nutrisi yang berkontribusi pada kejadian stunting. Kekurangan zat gizi makro dan mikro ditengarai menjadi penyebab terjadinya stunting, termasuk protein dan mineral esensial yang diperlukan dalam jumlah kecil. Memperbaiki pola makan dengan sumber beragam menjadi salah satu cara dalam mengatasi permasalahan tersebut melalui program intervensi yang variatif, kontinyu dan melibatkan semua pihak.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan garis pantai hampir 100.000 km dan memiliki 17.504 pulau yang terbentang dari ujung barat hingga timur. Potensi kekayaan laut Indonesia termasuk produktif di dunia, termasuk dalam kelompok 10 besar penghasil sumber daya laut di dunia. Namun hal ini tidak dibarengi dengan konsumsi produk hasil tangkapan laut. Data menyebutkan, dengan angka produksi mencapai 6,5 juta ton/tahun ternyata konsumsi hanya 33,86 kg/kapita/tahun [17]. Meningkatkan pola konsumsi produk hasil tangkapan laut dapat menjadi salah satu cara dalam menaikkan konsumsi protein untuk kelompok yang rawan, di antaranya balita, ibu hamil dan menyusui.

Studi yang dilakukan di Malawi menunjukkan perbaikan konsumsi protein pada anak kelompok usia 12-36 bulan meningkatkan tinggi badan yang berkorelasi dengan catch-up pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode emas [18]. Sumber protein dapat bervariasi, dari sumber hewani maupun nabati. Wilayah pesisir yang kaya dengan potensi hasil tangkap laut dapat mengoptimalkan konsumsi dari produk hewani untuk pemenuhan kebutuhan protein anak untuk menurunkan prevalensi stunting.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi potensi pemanfaatan hasil tangkapan laut yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir dalam menekan angka prevalensi stunting, yang pada akhirnya akan berkontribusi secara nasional.

Pergeseran Pola Makan Anak

Seiring pertambahan jumlah penduduk, penggunaan teknologi baru, dan perbaikan sistem komunikasi saat ini, berpengaruh pada perubahan pola makan, aktivitas fisik, dan komposisi tubuh. Untuk mengantisipasi perubahan yang berdampak pada kualitas kesehatan, maka perlu dirumuskan program dan pengawasannya. Salah satu yang terkait dampak globalisasi diantaranya perbaikan ekonomi keluarga yang meningkatkan akses kebutuhan pangan keluarga. Peningkatan akses pada pangan berpengaruh pada kemampuan memilih makanan yang modern dan umumnya tinggi kalori rendah serat, vitamin, dan mineral.

Tidak ada perbedaan mencolok antara ibu bekerja dan tidak bekerja terkait peran dewasa ini, umumnya terjadi pergeseran dari kebiasaan menyiapkan makanan tradisional yang menghabiskan banyak waktu menuju makanan siap saji, dan kenyamanan untuk makan di luar rumah. Hal ini juga menyiratkan pergeseran dari makan buah-buahan dan sayuran segar, kacang-kacangan, kentang, umbi-umbian dan akar-akaran lainnya ke arah makanan yang jauh lebih manis, asin, dan berlemak [19,20]. Perubahan pola makan dari makanan kaya serat, mineral dan vitamin menjadi makanan proses yang tinggi kalori, lemak jenuh dan kolesterol menyebabkan banyak anak mengalami masalah gizi.

Kebiasaan makan anak umumnya konstan dari usia prasekolah hingga usia sekolah. Buah-buahan dan sayur-sayuran adalah makanan yang paling tidak disukai. Meskipun anak-anak usia sekolah mengkonsumsi jajanan lebih sedikit ketimbang anak usia prasekolah, namun memiliki kemiripan dalam jajanan yang dipilih. Hal ini menggambarkan praktik makan anak usia dini mempengaruhi status gizi anak hingga usia pendidikan dasar.

Urbanisasi memberikan dampak yang merata, baik bagi wilayah daratan (pertanian) maupun daerah pesisir (perikanan) dengan semakin maraknya akses makanan proses yang mudah karena akses transportasi yang semakin baik. Jika ikan dan produk perikanan lain meningkatkan ketahanan pangan, mata pencaharian, identitas budaya dan dan sumber pendapatan masyarakatnya secara global [21]. Namun, tidak secara langsung berkontribusi pada perbaikan pola makan pada populasi rawan pangan dengan anak yang kurang gizi atau berisiko mengalami kurang gizi. Walaupun ada cara untuk meningkatkan kontribusi dari sumber daya ikan air laut dan tawar untuk mengatasi masalah gizi dan kesehatan kearah yang lebih baik.

Sistem makanan menjadi topik yang penting untuk diteliti untuk menemukan solusi dalam mengatasi kesenjangan antara makanan yang disediakan dan zat gizi yang dibutuhkan oleh kelompok rawan kurang gizi [22]. Gizi yang baik dibutuhkan dalam setiap proses kehidupan, tetapi konsekuensi kurangnya asupan gizi penting di awal kehidupan, yang dikenal dengan periode 1.000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) sejak pembuahan melalui kehamilan dan 2 tahun pertama kehidupan anak [23]. Bayi dan bawah dua tahun (baduta) juga sangat rentan tidak dapat memenuhi kebutuhan gizinya karena tuntutan fisiologis yang tinggi untuk asupan energi dan gizi selama masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dengan kemampuan pencernaan yang terbatas.

Melatih anak untuk mengkonsumsi makanan yang benar sejak dini perlu pendampingan. Pola konsumsi anak sering kali dipengaruhi oleh orang tuanya, meniru kebiasaan makan keluarganya [24]. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memberikan contoh makan yang baik secara langsung pada anaknya. Organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) [25] dengan tepat menyatakan bahwa lebih mudah untuk mengembangkan kebiasaan makan yang baik pada saat anak masih kecil daripada mengoreksi kebiasaan makan anak-anak ketika mereka tumbuh dewasa. Hal ini mengharuskan orang tua mengetahui dan mempraktekkan kebiasaan makanan yang baik sejak anak lahir, bahkan sejak ibu mengandung harus memperhatikan asupan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi janin.

Untuk anak pra-sekolah, kudapan sudah menjadi hal yang jamak dan memberikan sumbangan asupan kalori dan protein lebih besar ketimbang anak usia sekolah [26]. Penurunan persentase asupan kalori dan protein di usia sekolah mencerminkan penurunan selera makan untuk jenis makanan utama. Sementara anak usia pra sekolah masih didominasi waktu bermain sehingga menghasilkan pola makan yang baik pada makan malam. Pola makan pada kedua kelompok usia sangat mirip. Namun, kelompok yang usia lebih tua menunjukkan asupan kudapan yang lebih rendah.

Hambatan Konsumsi Makanan Laut Sumber Protein di Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah penghasil kekayaan laut yang melimpah dengan hasil tangkapan ikan yang meningkat dari tahun ke tahun [27,28]. Ikan adalah sumber makanan berprotein tinggi, kandungan asam lemak yang baik, beragam vitamin dan mineral, juga palatabilitas yang baik. Kekurangan gizi tertentu seperti vitamin A, zat besi, seng, dan yodium didokumentasikan nyata sebagai masalah kesehatan masyarakat kelompok rawan gizi [29] kurangnya makanan yang beragam dengan kontribusi makanan sumber hewani (ikan, daging, susu, dan telur) untuk pencegahan kekurangan gizi juga terbukti [30,31].

Ikan adalah makanan yang dapat berkontribusi pada keragaman gizi manusia. Selain masalah kemiskinan, stunting disebabkan oleh pola makan yang buruk, kurangnya akses sanitasi air bersih, serta pendidikan yang rendah. Namun, dalam hal peningkatan pola makan ini yang perlu digaris bawahi adalah rata-rata asupan energi dari makanan harus disumbangkan oleh makanan non-pokok yang bergizi, bukan lebih banyak karbohidrat dari nasi, gandum, atau jagung. Kontribusi 54% energi dari makanan non-pokok yang bergizi diperlukan untuk mencapai skenario yang lebih ambisius untuk mengurangi stunting hingga kurang dari 10% [32].

Peran ikan dalam meningkatkan kualitas makanan sangat penting. Makanan laut ini merupakan sumber asam lemak esensial omega-3 dan omega-6 yang baik dan juga menyediakan asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang yang baik. Retardasi pertumbuhan adalah salah satu dari banyak konsekuensi fisiologis dari kurangnya asupan asam lemak omega-3 dan omega-6. Sementara, asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang secara khusus penting untuk perkembangan otak/kognitif [33].

Kebijakan dalam mendukung tersedianya makanan sumberdaya laut memainkan peran yang penting dalam meningkatkan pola makan sehingga berdampak pada penurunan angka kematian anak. Wilayah pesisir di Sulawesi Tenggara memiliki potensi pasokan omega-3 dan omega-6 relatif baik, namun tidak semua anak bisa mendapatkan asupan yang baik. Bagi anak yang berasal dari keluarga golongan ekonomi menengah kebawah, masih ditemukan asupan asam lemak omega-6 dari sumber protein nabati, sumber protein hewani, terutama ikan, itu penting, tetapi bukan satu-satunya kontributor asam lemak omega-3, dikarenakan harga sumber protein nabati lebih murah.

Selain itu, pola makan salah yang sering terjadi pada anak usia prasekolah dan sekolah, cenderung menyebabkan pola makan yang tidak seimbang dengan hanya mengkonsumsi makanan pokok dan kudapan kemasan pabrikan. Dibandingkan dengan konsumsi ikan besar, anak keluarga nelayan lebih sering mengkonsumsi ikan kecil, karena orangtua lebih memilih untuk menjual hasil tangkapan ikan besar, ikan kecil untuk dikonsumsi sendiri, bahkan hasil tangkapan ikan yang tidak layak jual untuk dimakan, akan dikonsumsi sendiri untuk anggota keluarganya. Ikan kecil juga merupakan sumber penting kalsium karena tidak seperti ikan yang lebih besar, 90% tulang dari sebagian besar ikan kecil dapat dimakan [34]. Namun, karena teknik pengolahan yang kurang bervariasi mengakibatkan anak bosan makan ikan. Program gerakan makan ikan perlu mengikutkan edukasi dalam memanfaatkan dan mengolah ikan untuk dikonsumsi anggota keluarga, termasuk balita. Variasi bahan baku, rempah, dan teknik pengolahan akan memperkaya jenis makanan olahan yang dapat dinikmati.

Dalam konsep ilmu gizi, pemanfaatan diversifikasi bahan pangan akan melengkapi kebutuhan harian. Mengenalkan bahan pangan yang bervariasi sejak usia dini akan memperkaya pengenalan tekstur, rasa, aroma yang akan membantu pemenuhan kebutuhan zat gizi untuk tumbuh kembang yang optimal.

Promosi Konsumsi Makanan Laut Sumber Protein Berkelanjutan

Pola makanan ditentukan oleh akses makanan dan ketersediaan bahan dalam sistem pangan. Keragaman konsumsi bahan pangan dipengaruhi usia, jenis kelamin, budaya, status sosial ekonomi dan geografis, seperti halnya ketergantungan populasi tertentu pada makanan laut sumber protein. Makanan laut sumber protein ini penting untuk kedua jenis kelamin dan semua usia, terutama untuk anak, wanita hamil dan wanita usia subur, karena peran penting zat gizi mikro dan dua jenis omega-3 yakni docosahexaenoic acid (DHA) and eicosapentaenoic acid (EPA) dalam tumbuh kembang janin dan anak [35].

Makanan laut sumber protein yang umum dikenal di perairan Sulawesi Tenggara, seperti tuna, marlin, cakalang, kakap, sunu, bang kumis, tenggiri, cumi, kepiting, kerang, dan udang. Jumlah asam lemak omega-3 terdapat pada produk laut walaupun dalam jumlah kecil, yang berbeda dengan jenis protein yang tidak berasal dari perairan.

Kesadaran akan potensi laut mendorong anak untuk mengkonsumsi makanan laut sebagai sumber protein menjadi strategi utama dalam pemanfaatan sumber gizi perairan lebih efisien dan mengurangi dampak lingkungan produksi makanan. Kedua, promosi keragaman makanan laut kaya gizi perlu dilakukan secara berkelanjutan, dengan merancang pedoman makan anak berbasis pangan lokal, untuk intervensi kesehatan masyarakat yang menargetkan penurunan angka malnutrisi di wilayah pesisir. Ketiga, mendorong akses dan keterjangkauan makanan laut sumber protein di antara maraknya perdagangan makanan kudapan pabrikan anak. Keempat, memprioritaskan makanan laut sumber protein sebagai program bantuan pangan, program makanan sekolah, dan program makanan kelompok rentan gizi, termasuk ibu hamil dan menyusui, anak pada program 1.000 HPK, dan orang tua. Kelima, mendorong program edukasi pemanfaatan pengolahan produk laut dengan memanfaatkan produk-produk digital yang dapat mengakselerasi dan meningkatkan keterjangkauan program. Selain itu pemanfaatan sistem pangan laut ini dapat menjaga kelestarian produk yang beragam, dan jika dikonsumsi berkelanjutan sebagai makanan sehat dapat memperbaiki pola makan anak dan menurunkan stunting. Memanfaatkan produk yang menjadi sumber daya alam lokal dalam penanganan permasalahan kesehatan masyarakat harus menjadi perhatian dan tanggung jawab semua pihak.

Kesimpulan

Perubahan pola makan dapat mempengaruhi status gizi anak. Status gizi anak akan lebih baik jika mereka memiliki pola makan yang benar. Jika lebih banyak orangtua dan anak menyadari ini, akan ada keputusan yang jauh lebih baik. Asupan gizi berbasis pangan lokal adalah kunci sukses tumbuh kembang anak, termasuk kontribusi lingkungan sekitar dalam proses pengambilan keputusan merubah perilaku makan. Ketersediaan makanan laut sumber protein boleh melimpah namun konsumsinya rendah. Oleh karena itu, perlu dikembangkan edukasi gizi yang dapat diintegrasikan ke dalam program perikanan dan program lainnya yang saling mendukung, menargetkan orangtua dan anak dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya konsumsi makanan laut pada program 1000 HPK untuk mencegah stunting.

References

  1. Dewey KG, Begum K. Long-term consequences of stunting in early life: Long-term consequences of stunting. Matern Child Nutr. 2011;7: 5–18. doi:10.1111/j.1740-8709.2011.00349.x
  2. Utami RA, Setiawan A, Fitriyani P. Identifying causal risk factors for stunting in children under five years of age in South Jakarta, Indonesia. Enferm Clínica. 2019;29: 606–611. doi:10.1016/j.enfcli.2019.04.093
  3. Gashu D, Stoecker BJ, Bougma K, Adish A, Haki GD, Marquis GS. Stunting, selenium deficiency and anemia are associated with poor cognitive performance in preschool children from rural Ethiopia. Nutr J. 2015;15: 38. doi:10.1186/s12937-016-0155-z
  4. World Health Organization. Global nutrition targets 2025: stunting policy brief. World Health Organization; 2014. Available: https://www.who.int/publications/i/item/WHO-NMH-NHD-14.3
  5. Hudaya KS. Cegah Stunting Itu Baik. Warta KESMAS. 201802.
  6. Kattula D, Sarkar R, Sivarathinaswamy P, Velusamy V, Venugopal S, Naumova EN, et al. The first 1000 days of life: prenatal and postnatal risk factors for morbidity and growth in a birth cohort in southern India. BMJ Open. 2014;4: e005404–e005404. doi:10.1136/bmjopen-2014-005404
  7. Wright CM, Macpherson J, Bland R, Ashorn P, Zaman S, Ho FK. Wasting and Stunting in Infants and Young Children as Risk Factors for Subsequent Stunting or Mortality: Longitudinal Analysis of Data from Malawi, South Africa, and Pakistan. J Nutr. 2021;151: 2022–2028. doi:10.1093/jn/nxab054
  8. Persson LÅ. Prenatal nutrition, socioenvironmental conditions, and child development. Lancet Glob Health. 2017;5: e127–e128. doi:10.1016/S2214-109X(16)30356-4
  9. Vickers M. Early Life Nutrition, Epigenetics and Programming of Later Life Disease. Nutrients. 2014;6: 2165–2178. doi:10.3390/nu6062165
  10. Steegers-Theunissen RPM, Twigt J, Pestinger V, Sinclair KD. The periconceptional period, reproduction and long-term health of offspring: the importance of one-carbon metabolism. Hum Reprod Update. 2013;19: 640–655. doi:10.1093/humupd/dmt041
  11. Sebayang SK, Dibley MJ, Kelly PJ, Shankar AV, Shankar AH, on behalf of the SUMMIT Study Group. Determinants of low birthweight, small-for-gestational-age and preterm birth in Lombok, Indonesia: analyses of the birthweight cohort of the SUMMIT trial: Determinants of low birthweight, small for gestational age and preterm births. Trop Med Int Health. 2012;17: 938–950. doi:10.1111/j.1365-3156.2012.03039.x
  12. Jacques PF, Bostom AG, Wilson PW, Rich S, Rosenberg IH, Selhub J. Determinants of plasma total homocysteine concentration in the Framingham Offspring cohort. Am J Clin Nutr. 2001;73: 613–621. doi:10.1093/ajcn/73.3.613
  13. Dangour AD, Watson L, Cumming O, Boisson S, Che Y, Velleman Y, et al. Interventions to improve water quality and supply, sanitation and hygiene practices, and their effects on the nutritional status of children. Cochrane Public Health Group, editor. Cochrane Database Syst Rev. 2013 [cited 19 Oct 2022]. doi:10.1002/14651858.CD009382.pub2
  14. Millward DJ. Nutrition, infection and stunting: the roles of deficiencies of individual nutrients and foods, and of inflammation, as determinants of reduced linear growth of children. Nutr Res Rev. 2017;30: 50–72. doi:10.1017/S0954422416000238
  15. Imdad A, Bhutta ZA. Routine Iron/Folate Supplementation during Pregnancy: Effect on Maternal Anaemia and Birth Outcomes: Routine Iron/Folate Supplementation during Pregnancy. Paediatr Perinat Epidemiol. 2012;26: 168–177. doi:10.1111/j.1365-3016.2012.01312.x
  16. World Health Organization. Guideline: Protecting, Promoting and Supporting Breastfeeding in Facilities Providing Maternity and Newborn Services. Geneva: World Health Organization; 2017. Available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK487819/
  17. Subaryono, Zulham A, Mahulette RT. Pengembangan Perikanan Tangkap Laut Kota Kendari. Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan; 2017.
  18. Kaimila Y, Divala O, Agapova S, Stephenson K, Thakwalakwa C, Trehan I, et al. Consumption of Animal-Source Protein is Associated with Improved Height-for-Age z Scores in Rural Malawian Children Aged 12–36 Months. Nutrients. 2019;11: 480. doi:10.3390/nu11020480
  19. Wright CM, Parkinson KN, Shipton D, Drewett RF. How Do Toddler Eating Problems Relate to Their Eating Behavior, Food Preferences, and Growth? Pediatrics. 2007;120: e1069–e1075. doi:10.1542/peds.2006-2961
  20. Brown CL, Perrin EM, Peterson KE, Brophy Herb HE, Horodynski MA, Contreras D, et al. Association of Picky Eating With Weight Status and Dietary Quality Among Low-Income Preschoolers. Acad Pediatr. 2018;18: 334–341. doi:10.1016/j.acap.2017.08.014
  21. Funge?Smith S, Bennett A. A fresh look at inland fisheries and their role in food security and livelihoods. Fish Fish. 2019;20: 1176–1195. doi:10.1111/faf.12403
  22. United Nations Children’s Fund. Food Systems for Children. United Nations Children’s Fund; 2021.
  23. Byrd KA, Pincus L, Pasqualino MM, Muzofa F, Cole SM. Dried small fish provide nutrient densities important for the first 1000 days. Matern Child Nutr. 2021;17. doi:10.1111/mcn.13192
  24. Virudachalam S, Chung PJ, Faerber JA, Pian TM, Thomas K, Feudtner C. Quantifying parental preferences for interventions designed to improve home food preparation and home food environments during early childhood. Appetite. 2016;98: 115–124. doi:10.1016/j.appet.2015.11.007
  25. Coutsoudis A, Maunder EM, Ross F, Ntuli S, Taylor M, Marcus T, et al. A qualitative study on food security and caring patterns of vulnerable young children in South Africa. World Health Organization; 2000.
  26. Dewey KG. Reducing stunting by improving maternal, infant and young child nutrition in regions such as South Asia: evidence, challenges and opportunities: Reducing stunting by improving nutrition. Matern Child Nutr. 2016;12: 27–38. doi:10.1111/mcn.12282
  27. Patanda M, Wisudo SH, Monintja DR, Wiryawan B. Sustainability for reef fish resource based on productivity and susceptibility in Wangi-Wangi Island, Southeast Sulawesi, Indonesia. Aquac Aquar Conserv Legis. 2017;10.
  28. Purnama MF, Sirza LOMJ, Salwiayah, Abdullah, Nurhikma, Anwar K, et al. Freshwater Neritidae in Southeast Sulawesi, Indonesia. Aquac Aquar Conserv Legis. 2022;15.
  29. Food and Agriculture Organization of the United Nations. The State of Food Security and Nutrition in the World 2021. 2021. Available: https://www.fao.org/state-of-food-security-nutrition/2021/en/
  30. Motbainor A, Worku A, Kumie A. Stunting Is Associated with Food Diversity while Wasting with Food Insecurity among Underfive Children in East and West Gojjam Zones of Amhara Region, Ethiopia. van Wouwe J, editor. PLOS ONE. 2015;10: e0133542. doi:10.1371/journal.pone.0133542
  31. Ruel MT. Is dietary diversity an indicator of food security or dietary quality? A review of measurement issues and research needs. Food Nutr Bull. 2003;24: 231–232. doi:10.1177/156482650302400217
  32. Haddad L, Achadi E, Bendech MA, Ahuja A, Bhatia K, Bhutta Z, et al. The Global Nutrition Report 2014: Actions and Accountability to Accelerate the World’s Progress on Nutrition. J Nutr. 2015;145: 663–671. doi:10.3945/jn.114.206078
  33. Van Dael P. Role of n-3 long-chain polyunsaturated fatty acids in human nutrition and health: review of recent studies and recommendations. Nutr Res Pract. 2021;15: 137. doi:10.4162/nrp.2021.15.2.137
  34. Golden CD, Koehn JZ, Shepon A, Passarelli S, Free CM, Viana DF, et al. Aquatic foods to nourish nations. Nature. 2021;598: 315–320. doi:10.1038/s41586-021-03917-1
  35. UN Nutrition. The role of aquatic foods in sustainable healthy diets. UN Nutrition; 2021.

UN/PBB SDGs

This output contributes to the following UN Sustainable Development Goals (SDGs)/Artikel ini berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB berikut

SDG 3 good-health-and-well-being

Endorse

Usage Statistics Information

Abstract viewed = 803 times