The Incidence of Stunting in Toddlers is Associated with Exclusive Breastfeeding During the First 1000 Days of Birth

Authors

  • Harismayanti Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Indonesia
  • Rona Febriyona Mansur Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.1085

Keywords:

Exclusive breastfeeding, First 1000 days of birht, Stunting, Toddlers

Abstract

The phenomenon of exclusive breastfeeding coverage that is still low in the long term will have implications for children's growth and development. This study explores the relationship between exclusive breastfeeding and the incidence of stunting in toddlers in the Working Area of the Limboto Health Center, Gorontalo Regency. By involving 93 respondents of mothers of toddlers aged 7-24 months, this study used a cross-sectional, quantitative approach for exclusive and qualitative breastfeeding history variables with in-depth interviews of exclusive breastfeeding factors, data analysis using the Chi-square test method. Most toddlers in the very short (16.1%), and short (14.0%) categories, then those who do not receive exclusive breastfeeding tend to be stunted (p = 0.001). Factors of exclusive breastfeeding include health facilities that are far enough away so that health services and counseling obtained are not optimal, lack of maternal understanding of the importance of nutritional status during the first 1000 days of life or during pregnancy until the child is 2 years old, mothers with a history of SEZ conditions, history of anemia and irregular consumption of Fe tablets during pregnancy mostly give birth to children with stunting. Efforts to overcome the problem of stunting require good cross-sectoral cooperation. Further research is needed by paying attention to cultural and contextual factors.

PENDAHULUAN

Stunting merupakan masalah yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis yang timbul akibat asupan gizi kurang dalam waktu yang cukup lama. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa, dan kerentanan terhadap penyakit infeksi, sehingga berisiko mengalami penurunan kualitas belajar di sekolah dan berisiko lebih sering absen sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang (Soliman et al., 2021).

Berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2021) bahwa prevalensi balita stunting di Indonesia tercapai 11,6% dari target 24,1% dalam menurunkan balita stunting atau persentase balita stunting masih cukup tinggi. Angka stunting di Provinsi Gorontalo turun menjadi 11,1% walaupun angka stunting mengalami penurunan akan tetapi angka ini belum mencapai target pemerintah dalam penurunan stunting yaitu ?10% (Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2021). Tingkat prevalensi stunting tertinggi di Provinsi Gorontalo dapat diidentifikasi dari beberapa wilayah. Kota Gorontalo memimpin dengan persentase stunting sebesar 36,2%, diikuti oleh Kabupaten Boalemo dengan 33,39%, Kabupaten Gorontalo Utara sebesar 30,16%, Kabupaten Gorontalo sebesar 27,30%, Kabupaten Bone Bolango sebesar 26,5%, dan Kabupaten Pohuwato sebesar 17,9%. Berdasarkan data, Puskesmas Tilongkabila menduduki peringkat pertama dengan jumlah stunting tertinggi mencapai 134 (26,8%), diikuti oleh Puskesmas Limboto dengan 115 (23%) dan Puskesmas Toto Utara dengan 64 (12,8%). Puskesmas Tombulilato menempati peringkat keempat dengan jumlah stunting sebanyak 58 (11,6%) (Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2021).

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa stunting merupakan implikasi terhadap kejadian multifaktor pada masyarakat. Dari penelitian oleh Kusumajaya et al. (2023) yang menemukan dari data hasil Survei Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2018 dijadikan dasar analisis penelitian ini. Sebanyak 846 responden di bawah usia lima tahun dianalisis, menunjukkan prevalensi stunting sebesar 19,0%. Regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan ibu (adjustedOR = 1,92; Interval Kepercayaan 95% = 1,24–2,97), konsumsi tablet zat besi yang tidak mencukupi selama kehamilan (adjustedOR = 1,56; Interval Kepercayaan 95% = 1,08–2,24), dan ketiadaan keluarga besar (adjustedOR = 1,55; Interval Kepercayaan 95% = 1,07–2,26) secara signifikan berhubungan dengan stunting. Kajian lainnya oleh Sari et al. (2021) bahwa dari 193 anak sebagai responden, 29,5% mengalami stunting, dan anak-anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko stunting 3,1 lebih tinggi (95%CI = 1,5–6,4) dibandingkan dengan yang mendapatkan ASI eksklusif, meskipun telah dikontrol untuk faktor-faktor confounding seperti pendidikan ibu yang rendah dan status pengangguran.

Jika dihubungkan dengan fenomena cakupan ASI eksklusif, berdasarkan data terbaru bahwa Gorontalo merupakan provinsi dengan pemberian ASI eksklusif paling rendah dari provinsi lainnya, dengan persentase 53,6% (Annur, 2023). Sebagaimana pentingnya penelusuran faktor penyebab stunting, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Limboto, Kabupaten Gorontalo.

METODE

Penelitian ini mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Kehatan Univeristas Muhammadiyah Gorontalo. Penelitian menggunakan pendekatan mix kualitatif-kualitatif yang dilaksanakan pada bulan Desember 2022-Februari 2023 di 14 kelurahan pada wilayah kerja Puskesmas Limboto. Populasi penelitian adalah seluruh anak usia di bawah 5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Limboto. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling sesuai dengan kriteria yang ditentukan sehingga sampel sebanyak 93 responden.

Metode kuantitatif untuk mengkaji riwayat pemberian ASI eksklusif. Status gizi Balita ditentukan melalui pengukuran pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala sesuai dengan usia balita.

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian stunting berdasarkan status gizi Balita yang ditentukan melalui pengukuran pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala sesuai dengan usia balita. Interpretasi hasil pengukuran adalah sangat pendek, pendek, normal dengan menggunakn nilai Z-score (jika nilai Z-score kurang dari ?2 SD) dan tidak (jika nilai Z-score lebih tinggi dari ?2 SD). Nilai Z-score ditentukan menggunakan perangkat lunak WHO Anthro 2005.

Variabel independen adalah riwayat pemberian ASI eksklusif, yang dibagi menjadi ASI eksklusif (jika anak hanya diberikan ASI tanpa makanan tambahan kecuali vitamin, mineral, atau obat dari lahir hingga enam bulan) dan tidak ASI eksklusif (jika anak diberikan makanan tambahan sebelum mencapai enam bulan). Variabel confounding melibatkan pendidikan ibu, dan pekerjaan ibu. Pendidikan ibu dibagi menjadi pendidikan dasar (SD), menengah (SMP), dan tinggi (SMA-Perguruan Tinggi). Pekerjaan ibu dibagi menjadi ya jika bekerja dan tidak jika mengurus rumah tangga. Semua variabel dikumpulkan menggunakan kuesioner dengan karakteristik ibu, riwayat pemberian ASI eksklusif, dan riwayat inisiasi menyusui dini. Kuesioner diberikan kepada ibu yang mengunjungi Pos pelayanan terpadu (Posyandu).

Metode kualitatif bertujuan untuk mengeksplorasi kendala yang dihadapi selama 1000 HPK dan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang memiliki balita stunting dengan pendekatan wawancara mendalam.

Analisa data dilakukan dengan analisis melalui aplikasi SPSS dengna metode uji Chi-square untuk hubungan ASI eksklusif dengan kejadian stunting. Data disajikan dalam bentuk deskriptif, narasi dan distribusi frekuensi.

HASIL

Penelitian ini dilaksanakan di 14 kelurahan yang tersebar di Wilayah Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo yaitu Kelurahan Kayubulan terdapat 8 responden, Malahu terdapat 5 responden, Bionga redapat 9 responden, Hepuhulawa terdapat 6 responden, Polohungo terdapat 5 responden, Bulota terdapat 6 responden, Dutulanaa terdapat 7 responden, Hutuo terdapat 10 responden, Bongohulawa terdapat 9 responden, Kayumerah terdapat 10 responden, Tilihuwa terdapat 10 responden, Bolihuangga terdapat 5 responden, Tenilo terdapat 4 responden, Hunggaluwa terdapat 10 responden dengan jumlah sampel sebanyak 93 responden.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Ibu dan Anak

Berdasarkan tabel 1, penelitian melibatkan 93 ibu balita berusia 24-48 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo. Mayoritas ibu balita memiliki pendidikan SMA (36.6%), diikuti oleh SD (31.2%), SMP (19.4%), dan yang terendah adalah sarjana/perguruan tinggi (12.9%). Mayoritas ibu balita bekerja sebagai IRT (87.1%), PNS/Honorer (9.7%), swasta (2.2%), dan yang terendah adalah wiraswasta (1.1%). Jenis kelamin anak mayoritas laki-laki (54.8%), sedangkan perempuan sebanyak 45.2%. Usia anak terbanyak pada balita usia 7-10 bulan (28.0%), diikuti oleh balita usia 11-15 bulan (26.9%), balita usia 21-24 bulan (25.8%), dan terendah pada balita usia 16-20 bulan (19.4%).

Tabel 2. Riwayat Pemberian ASI eksklusif dan Kejadian Stunting

Berdasarkan tabel 2 mayoritas balita tidak mendapatkan ASI eksklusif, yakni sebanyak 56 balita (60.2%), sementara yang mendapatkan ASI eksklusif paling sedikit adalah sebanyak 37 balita (39.8%). Dari tabel yang sama, mayoritas balita menunjukkan panjang badan dengan kategori sangat pendek -3 SD, yaitu sebanyak 15 balita (16.1%), diikuti oleh balita dengan panjang badan kategori pendek -3 SD sampai <-2 SD sebanyak 13 balita (14.0%). Adapun balita dengan panjang badan kategori normal -2 SD sampai +3 SD mencapai sebanyak 65 balita (69.9%).

Tabel 3. Uji Statistik Chi-square Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Panjang Badan

Tabel 3 menunjukkan bahwa balita yang mendapatkan ASI eksklusif sebagian besar memiliki panjang badan dalam kategori normal -2 SD sampai +3 SD, yakni 33 balita (35,5%). Sementara itu, balita dengan panjang badan kategori pendek -3 SD sampai <-2 SD dan sangat pendek <-3 SD masing-masing hanya 3 balita (3,2%) dan 1 balita (1,1%). Di sisi lain, balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif sebagian besar memiliki panjang badan dalam kategori normal -2 SD sampai +3 SD, yaitu 32 balita (34,4%). Balita dengan panjang badan kategori pendek -3 SD sampai <-2 SD mencapai 10 balita (10,8%), sementara balita dengan kategori sangat pendek >3 SD sebanyak 14 balita (15,1%). Hasil uji chi-square menunjukkan nilai p-value sebesar 0,001, lebih kecil dari nilai ? (0,05), mengindikasikan signifikansi dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap 93 responden.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukan mayoritas balita yang tidak diberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 56 balita (60.2%) dan yang terendah diberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 37 balita (39.8%). Dari hasil wawancara kepada responden, mereka tidak memberikan ASI eksklusif dengan alasan ASI tidak lancar, penggunaan susu formula lebih praktis, alasan pekerjaan, dan riwayat menyusui sebelumnya, keluarga lebih menyarankan penggunaan susu formula dikarenakan ASI tidak keluar, sebagian besar responden tidak pernah mendapatkan penyuluhan kesehatan tentang pentingnya ASI eksklusif.

Penelitian Sutarto et al. (2021) bahwa balita di wilayah kerja Puskesmas Selopampang yang tidak diberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 53 balita (57.6%) dibandingkan dengan balita yang diberikan ASI eksklusif yaitu sebanyak 39 balita (42.2%) dan Balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dikarenakan pekerjaan Ibu yang sebagian besar bekerja di ladang. Penelitian Sampe et al. (2020) juga menyebutkan bahwa banyak balita yang tidak diberikan ASI eksklusif dan mengalami stunting yaitu sebanyak 66 balita (91.7%). Penelitian lainnya (Sari et al., 2021) menyatakan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak hanya ditentukan oleh faktor ibu, namun lingkungan keluarga turut meningkatkan perannya pada keberhasilan menyesui selama 6 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas balita menunjukkan berbagai kategori panjang badan, dengan 15 balita (16.1%) termasuk dalam kategori sangat pendek <-3 SD, 13 balita (14.0%) dalam kategori pendek -3 SD sampai <-2 SD, dan 65 balita (69.9%) dalam kategori normal -2 SD sampai +3 SD. Dalam konteks ini, ditemukan bahwa banyak balita yang tidak mengalami stunting mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti tingkat pendidikan dan pekerjaan ibu, meskipun mereka tidak mendapatkan ASI eksklusif (Sari et al., 2021). Selain itu, ibu balita aktif membawa anaknya ke Puskesmas dan Posyandu untuk pemantauan tumbuh kembang, sementara beberapa responden menyebutkan bahwa ASI mereka tidak keluar saat melahirkan, sehingga mereka menggunakan susu formula dan makanan tambahan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi. Hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan atau komplomenter yang tidak adekuat, faktor menyusui dan infeksi. Faktor-faktor dalam lingkup keluarga dan rumah tangga dapat berasal dari kekurangan nutrisi pada ibu selama periode prekonsepsi, kehamilan, dan masa menyusui, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilan remaja, masalah kesehatan mental, pertumbuhan intrauterin yang terhambat (IUGR), dan kehamilan prematur (Koro et al., 2018). Selain itu, jarak kehamilan yang singkat, tekanan darah tinggi, serta faktor lingkungan rumah seperti stimulasi dan aktivitas anak yang tidak memadai, kurangnya perawatan, sanitasi dan pasokan air yang tidak memadai, serta akses dan ketersediaan pangan yang kurang juga dapat mempengaruhi kondisi stunting pada anak (Hasan, 2023).

Berdasarkan temuan penelitian, analisis data menggunakan uji chi-square menghasilkan nilai p=0.001 dengan ? < 0.05. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif dan kejadian stunting pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Limboto Kabupaten Gorontalo. Hubungan tersebut bersifat positif, menunjukkan bahwa balita yang menerima ASI eksklusif sebagian besar memiliki panjang badan dalam kategori normal -2 SD sampai +3 SD, terdapat 33 balita (35.5%). Sebaliknya, balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif cenderung memiliki panjang badan normal (2 SD sampai +3 SD) sebanyak 32 balita (34.4%). Balita yang mengalami stunting karena tidak mendapatkan ASI eksklusif dari ibu, beberapa di antaranya diberikan susu formula karena ASI tidak keluar setelah melahirkan, sementara beberapa ibu sibuk dengan pekerjaan dan lebih banyak memberikan anaknya susu formula. Beberapa ibu juga memberikan makanan tambahan kepada anak yang baru berusia lima bulan.

Hasil wawancara mendalam didapatkan bahwa pada masa 1000 HPK, dari 28 responden yang memiliki balita stunting, 24 responden diantaranya tidak diberikan ASI eksklusif dan 4 balita diberikan ASI eksklusif. Dari 6 ibu yang memiliki balita stunting dilakukan wawancara mendalam didapatkan beberapa temuan diantaranya pada masa kehamilan mereka dikategorikan dengan LILA kurang, memiliki riwayat ekonomi yang rendah, akses ke fasilitas kesehatan jauh, adanya anemia pada saat remaja, sering lupa minum tablet tambah darah Fe, memiliki berat badan kurang sebelum hamil, kurangnya terpapar penyuluhan kesehatan akan pentingnya gizi selama hamil dan mereka tidak mengetahui sumber makanan yang mengandung banyak gizi.

Fenomena terjadinya stunting dipengaruhi oleh berbagai faktor multidimensi dan tidak hanya terkait dengan gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil dan anak balita. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak semua balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif mengalami stunting, menggambarkan bahwa status gizi merupakan refleksi dari keseimbangan antara asupan zat gizi dan kebutuhan tubuh untuk berbagai fungsi biologis. Status gizi dapat dilihat dari indikator seperti berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U), berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan (BB/PB atau BB/TB), dan indeks massa tubuh menurut umur (IMT/U), sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak. Faktor-faktor tersebut bersifat multidimensi, termasuk dalam pengasuhan gizi yang kurang baik dan kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi sebelum, saat, dan setelah masa kehamilan (Suaib et al., 2022; Yani et al., 2023).

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemberian ASI eksklusif pada balita yang mengalami stunting menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang tidak menerima ASI eksklusif cenderung mengalami stunting. Namun, beberapa anak yang telah mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan juga masih mengalami stunting. Faktor-faktor yang ditemukan melibatkan jarak yang cukup jauh dengan fasilitas kesehatan, menyebabkan pelayanan dan penyuluhan kesehatan menjadi tidak optimal. Selain itu, kurangnya pemahaman ibu mengenai pentingnya status gizi selama 1000 Hari Pertama Kehidupan, mulai dari masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun, menjadi kontributor penting terhadap masalah stunting. Ibu dengan riwayat Kekurangan Energi Kronis (KEK), anemia, dan konsumsi tablet besi yang tidak rutin saat hamil cenderung melahirkan anak dengan stunting. Upaya untuk mengatasi masalah stunting diperlukan kerjasama lintas sektoral yang baik, dimulai dari pencegahan pada remaja dengan mengatasi anemia, hingga pemenuhan gizi yang memadai selama masa kehamilan dengan asupan makanan tambahan, susu, dan tablet besi yang merata. Pada masa emas bayi hingga usia 2 tahun, perhatian khusus terhadap pemenuhan gizi, seperti pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan, pemberian MP-ASI setelah 6 bulan, dan pemenuhan gizi berkelanjutan hingga usia 2 tahun, sangat penting. Pemenuhan gizi dan pola asuh yang baik memiliki dampak signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga perlunya pemenuhan gizi secara maksimal dari usia 0 sampai 2 tahun.

Kekurangan Penelitian

Analisis yang bersifat retrospektif terbatas dalam memahami dinamika dan perkembangan seiring waktu. Penelitian ini berfokus pada variabel tertentu, seperti pemberian ASI eksklusif, tanpa mempertimbangkan faktor lain yang mungkin berkontribusi terhadap stunting, seperti kondisi lingkungan, asupan gizi, dan aksesibilitas fasilitas kesehatan. Penelitian lanjutan dengan pendekatan yang lebih holistik dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi stunting pada balita. Selain itu, penelitian ini tidak memperhitungkan variasi budaya dan kontekstual yang dapat memengaruhi praktik pemberian ASI eksklusif dan stunting di Kabupaten Gorontalo.

References

Annur, C. M. (2023). Deretan 10 Provinsi dengan Pemberian ASI Eksklusif Terendah Nasional pada 2022. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/08/10/deretan-10-provinsi-dengan-pemberian-asi-eksklusif-terendah-nasional-pada-2022

Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo. (2021). Laporan Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2020. Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo.

Hasan, H. (2023). Tinggi Badan Ibu dan Ketahanan Pangan Keluarga merupakan Faktor Risiko Kejadian Stunting di Wilayah Pesisir Kabupaten Buton Tengah: Studi Kasus Kontrol. Health Information?: Jurnal Penelitian, 15(2), Article 2. https://doi.org/10.36990/hijp.v15i2.1007

Kementerian Kesehatan. (2021). Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota Tahun 2021. Kementerian Kesehatan.

Koro, S., Hadju, V., As’ad, S., & Bahar, B. (2018). Determinants of 6-24 Months Child Stunting in South Central Timor District, East Nusa Tenggara Province. Health Information?: Jurnal Penelitian, 10(1), 1–10. https://doi.org/10.36990/hijp.v10i1.1

Kusumajaya, A. A. N., Mubasyiroh, R., Sudikno, S., Nainggolan, O., Nursanyoto, H., Sutiari, N. K., Adhi, K. T., Suarjana, I. M., & Januraga, P. P. (2023). Sociodemographic and Healthcare Factors Associated with Stunting in Children Aged 6–59 Months in the Urban Area of Bali Province, Indonesia 2018. Nutrients, 15(2), 389. https://doi.org/10.3390/nu15020389

Sampe, A., Toban, R. C., & Madi, M. A. (2020). Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Stunting Pada Balita. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 9(1), Article 1. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.314

Sari, N., Manjorang, M. Y., Zakiyah, Z., & Randell, M. (2021). Exclusive Breastfeeding History Risk Factor Associated with Stunting of Children Aged 12–23 Months. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal), 16(1), Article 1. https://doi.org/10.21109/kesmas.v16i1.3291

Soliman, A., De Sanctis, V., Alaaraj, N., Ahmed, S., Alyafei, F., Hamed, N., & Soliman, N. (2021). Early and Long-term Consequences of Nutritional Stunting: From Childhood to Adulthood. Acta Bio Medica?: Atenei Parmensis, 92(1), e2021168. https://doi.org/10.23750/abm.v92i1.11346

Suaib, F., Mas’ud, H., Rusneni, R., & Muhtar, G. A. (2022). Ketahanan Rumah Tangga Balita Stunting di Daerah Stunting, Kelurahan Bakung, Kota Makassar: Laporan Data. Health Information?: Jurnal Penelitian, 14(2), Article 2. https://doi.org/10.36990/hijp.v14i2.737

Sutarto, I. P., Wijayanti, F., & Saparwati, M. (2021). HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-60 BULAN. Jurnal Kesehatan Kusuma Husada, 12(1), 35–41. https://doi.org/10.34035/jk.v12i1.545

Yani, D. I., Rahayuwati, L., Sari, C. W. M., Komariah, M., & Fauziah, S. R. (2023). Family Household Characteristics and Stunting: An Update Scoping Review. Nutrients, 15(1). https://doi.org/10.3390/nu15010233

Published

2023-12-29 — Updated on 2023-12-30

Versions

How to Cite

Harismayanti, H., & Mansur, R. F. (2023). The Incidence of Stunting in Toddlers is Associated with Exclusive Breastfeeding During the First 1000 Days of Birth. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(3), e1085. https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.1085 (Original work published December 29, 2023)

Issue

Section

Original Research

Categories

Citation Check

Funding data