Abstrak
Medical Representative memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang akurat dan komprehensif tentang produk obat kepada professional Kesehatan, termasuk apoteker, bagi meningkatkan penggunaan obat yang rasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sikap dan persepsi apoteker terkait promosi obat oleh Medical Representative serta dampak penerimaan reward oleh apoteker. Menggunakan desain studi survei cross-sectional, kuesioner (n=244) telah diisi oleh apoteker guna menilai sikap dan persepsi terhadap promosi obat, kelayakan, dan penerimaan reward yang diberikan oleh Medical Representative. Mayoritas apoteker berpartisipasi dalam penelitian ini adalah perempuan (84,4%) dengan rentang usia 30-39 tahun (45,5%). Sebagian besar dari responden bertemu dengan Medical Representative lebih dari sekali dalam sebulan (53,7%) dan tidak memiliki hubungan non-profesional dengan Medical Representative (86,5%). Apoteker menyatakan setuju bahwa informasi yang diberikan oleh Medical Representative memiliki kualitas yang baik (54,9%). Selain itu, 81,9% apoteker setuju bahwa informasi obat dari Medical Representative memiliki manfaat sebagai sarana pengenalan obat baru. Akan tetapi, hanya 41,4% apoteker setuju bahwa penerimaan reward meningkatkan kemungkinan mereka untuk merekomendasikan obat tersebut. Sehubungan dengan jenis reward, 69,3% apoteker memilih Seminar dengan SKP, 53,7% apoteker memilih Alat tulis, dan 51,6% apoteker memilih sampel obat sebagai reward yang paling sesuai untuk diberikan kepada apoteker. Berdasarkan uji Chi-Square, terdapat hubungan antara penerimaan reward dan persepsi apoteker (p<0.05). Kesimpulannya, kualitas informasi yang diberikan oleh medical representative adalah baik dan bermanfaat sebagai sarana pengenalan obat baru. Pemberian reward tidak memberikan pengaruh yang besar untuk apoteker dalam merekomendasikan obat, akan tetapi terdapat hubugan antara penerimaan reward dan persepsi apoteker. Pedoman dan norma etik diperlukan untuk mengatur interaksi antara tenaga kesehatan dengan perusahaan farmasi.
PENDAHULUAN
Promosi obat melibatkan berbagai upaya dalam penyampaian informasi dan himbauan mengenai obat jadi yang telah memiliki izin edar, yang dilaksanakan oleh industri farmasi dan pedagang besar farmasi. Tujuan dari promosi tersebut adalah untuk mendorong atau mempengaruhi pembelian dan penggunaan obat (BPOM, 2002). Berbagai bentuk promosi yang umumnya digunakan oleh perusahaan farmasi untuk mempromosikan obat-obatan mereka meliputi brosur, kalender, pamflet, flip chart, dan Medical Representative (MR). Namun, promosi obat secara langsung atau melalui interaksi langsung dengan MR terbukti lebih efektif dalam memengaruhi praktek medis dan peningkatan jumlah resep obat (Jacob, 2018).
Medical Representative (MR) merupakan duta dari perusahaan farmasi yang memiliki peran dalam menjalin komunikasi langsung dengan para profesional kesehatan, seperti dokter dan apoteker. Tugas utama MR adalah memberikan informasi yang akurat dan komprehensif tentang produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Selain itu, MR juga bertugas untuk mengumpulkan umpan balik (feedback) dari para profesional kesehatan tersebut guna mendukung kegiatan promosi yang dilakukan (Sandeep Kumar Gupta, 2016). Interaksi MR terhadap dokter dan apoteker dikombinasikan dengan berbagai kegiatan promosi lainnya yang dapat berdampak pada sikap dan persepsi para profesional kesehatan, termasuk pemberian reward. Reward yang diberikan oleh MR kepada para profesional kesehatan meliputi sampel obat, alat tulis, biaya akomodasi, dan sejenisnya, yang bertujuan untuk mencapai target penjualan yang telah ditetapkan (Rima Hajjar, 2017; Zaki, 2014).
Penelitian sebelumnya di wilayah Ethiopia Utara mengindikasikan bahwa sebanyak 48,2% dokter yang menerima reward dari perusahaan farmasi cenderung lebih mungkin untuk meresepkan produk-produk dari perusahaan farmasi tersebut (Birhanu Demeke Workneh, 2016). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas responden percaya bahwa berdiskusi dengan perwakilan penjualan berpengaruh terhadap tindakan peresepan (76,67%), dan penerimaan reward juga memiliki dampak terhadap praktik peresepan (72,50%). Mayoritas apoteker menerima promosi sebagai sumber informasi untuk pengenalan obat baru (sebesar 71,67%) (Susi Ari Kristina, 2022). Namun, muncul kekhawatiran apabila promosi obat mendorong dokter untuk meresepkan obat tertentu, serta apoteker mengeluarkan obat mahal ketika obat yang lebih terjangkau mungkin lebih efektif (Zaki, 2014). Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif terkait sikap etika terhadap promosi obat menjadi hal yang sangat penting.
Kriteria etika dalam promosi obat selalu dipegang sebagai standar global dalam promosi obat, dengan tujuan untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Implementasi etika dalam promosi obat dapat menjadi indikator sikap apoteker terhadap reward yang diberikan oleh MR. Terkait hal ini, pendidikan mengenai etika dalam promosi obat memiliki pengaruh yang signifikan dalam interaksi apoteker dengan MR (Teresa Leonardo Alves, 2018). Penelitian di Arab Saudi menunjukkan bahwa mayoritas apoteker (sebanyak 86%) terpengaruh oleh reward yang diberikan oleh perusahaan farmasi. Fenomena ini disebabkan oleh minimnya pendidikan mengenai etika dalam promosi obat. Oleh karena itu, penelitian terhadap sikap dan persepsi apoteker terhadap etika dalam promosi obat dan interaksi dengan MR perlu dilakukan. Tujuannya adalah untuk menghindari dampak negatif promosi obat terhadap praktik peresepan (Zaki, 2014).
Promosi obat memiliki dampak yang signifikan pada praktik peresepan dan dispensing obat. Hal ini bertujuan untuk menghindari penggunaan obat yang tidak rasional, seperti biaya yang tidak terjangkau, penggunaan obat secara berlebihan, penggunaan obat tidak sesuai indikasi, dosis, cara, dan durasi pemakaian yang tepat. Penelitian mengenai interaksi antara MR dengan apoteker di Indonesia masih relatif jarang dan belum banyak yang membahas secara spesifik mengenai kesesuaian atau dampak penerimaan reward oleh apoteker. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi terhadap sikap dan persepsi apoteker terkait promosi obat, serta untuk memahami hubungan antara reward yang diberikan oleh MR.
METODE
Desain penelitian ini mengadopsi metode survei cross-sectional dengan penggunaan kuesioner yang disusun secara internal dan dikelola sendiri. Kuesioner tersebut dikembangkan dalam bentuk elektronik. Pelaksanaan survei dilakukan dalam rentang waktu antara bulan Maret hingga Juni 2023 di kota Bekasi. Hasil survei disajikan dalam bentuk data anonim, di mana setiap responden tetap menjaga kerahasiaan identitas mereka. Seluruh pertanyaan dalam kuesioner diharapkan untuk diisi, kecuali bagi responden yang bekerja di rumah sakit dan memiliki kolaborasi dengan dokter. Kuesioner ini telah dikembangkan berdasarkan tinjauan literatur yang relevan, dan telah melewati tahap validasi dan uji coba kepada apoteker nonsampel. Adapun kriteria inklusi untuk partisipan penelitian ini meliputi: apoteker yang memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) yang aktif, apoteker yang bersedia untuk mengisi formulir Google Form yang disediakan, apoteker yang telah berinteraksi dengan Medical Representative (MR), menghadiri minimal satu kali pertemuan dengan MR dalam satu bulan, apoteker yang bekerja di apotek baik yang berkolaborasi maupun tidak berkolaborasi dengan dokter, serta apoteker yang bekerja di rumah sakit atau apotek. Penelitian ini juga melibatkan apoteker yang berpraktik di wilayah Bekasi. Sementara itu, terdapat pula kriteria eksklusi yang meliputi: apoteker yang tidak berkomunikasi dengan Medical Representative (MR), apoteker yang berpraktik di industri, dan apoteker yang berada di luar kota Bekasi. Apoteker diminta untuk menjawab lima topik terkait promosi obat, yakni: (1) informasi demografis apoteker (jenis kelamin, usia, instansi, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, kolaborasi dengan dokter, frekuensi bertemu MR, hubungan non profesional, dan domisili); (2) Sikap apoteker diukur menggunakan 6 item dengan penilaian skala Likert; (3) persepsi apoteker diukur menggunakan 8 item dengan penilaian skala Likert; (4) kesesuaian reward diukur menggunakan 7 item dengan skala 3 poin (tidak sesuai, netral, dan sesuai); (5) penerimaan reward diukur menggunakan 7 item dengan skala 2 poin (tidak pernah dan pernah). Tingkat persetujuan pada skala Likert disederhanakan dengan menggabungkan tanggapan yang menjawab "Sangat Tidak Setuju" dan "Tidak Setuju" sebagai "Tidak Setuju", serta "Sangat Setuju" dan "Setuju" sebagai "Setuju", sementara "Netral" tetap dipertahankan. Dalam penelitian ini, digunakan perangkat lunak statistik versi 27 (SPSS). Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan setiap kategori, dan uji chi-square digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel. Tingkat signifikansi telah ditetapkan pada nilai p<0,05, kecuali dinyatakan sebaliknya.
HASIL
Karakteristik | N | % |
---|---|---|
Jenis Kelamin | ||
a. Pria | 38 | 15,6% |
b. Perempuan | 206 | 84,4% |
Usia | ||
a. 20-29 th | 57 | 23,4% |
b. 30-39 th | 111 | 45,5% |
c. 40-49 th | 53 | 21,7% |
d. >50 th | 23 | 9,4% |
Instansi | ||
a. Rumah Sakit | 95 | 38,9% |
b. Apotek | 149 | 61,1% |
Pengalaman Kerja | ||
a. 1-5 th | 66 | 27% |
b. 5-10 th | 79 | 32,4% |
c. >10 th | 99 | 40,6% |
Tingkat Pendidikan | ||
a. S1 | 219 | 89,8% |
b. S2 | 25 | 10,2% |
Kolaborasi dengan dokter | ||
a. Ya | 141 | 57,8% |
b. Tidak | 88 | 36,1% |
c. Missing | 15 | 6,1% |
Frekuensi bertemu MR | ||
a. 1xpertemuan/bulan | 113 | 46,3% |
b. >1xpertemuan/bulan | 131 | 53,7% |
Apakah apoteker memiliki hubungan non professional dengan MR | ||
a. Ya | 33 | 13,5% |
b. Tidak | 211 | 86,5% |
Domisili | ||
a. Bekasi Barat | 39 | 16% |
b. Bekasi Selatan | 22 | 9% |
c. Bekasi Timur | 49 | 20,1% |
d. Bekasi Utara | 30 | 12,3% |
e. Bantar Gebang | 2 | 0,8% |
f. Jatiasih | 26 | 10,7% |
g. Jatisampurna | 11 | 4,5% |
h. Medan Satria | 8 | 3,3% |
i. Mustikajaya | 12 | 4,9% |
j. Pondok Melati | 5 | 2% |
k. Pondok Gede | 28 | 11,5% |
l. Rawa Lumbu | 12 | 4,9% |
Sejumlah 244 responden berpartisipasi dalam penelitian ini. Dilihat dari jenis kelamin, mayoritas responden adalah perempuan (84,4%), sementara responden pria mencapai 15,6%. Berbicara tentang rentang usia, kelompok usia 30-39 tahun menjadi dominan dengan persentase sebesar 45,5%. Jumlah apoteker yang bekerja di apotek lebih banyak, yakni sebesar 61,1%, sementara yang bekerja di rumah sakit mencapai 38,9%. Partisipasi apoteker dalam penelitian ini paling banyak terdapat pada kategori frekuensi lama kerja >10 tahun, yaitu sebanyak 40,6%, dan jumlah paling sedikit terdapat pada lama kerja 1-5 tahun, yaitu sebanyak 27%. Dalam karakteristik tingkat pendidikan responden, mayoritas memiliki tingkat pendidikan S1-Apoteker dengan jumlah sebesar 89,8%. Dalam penelitian ini, terdapat jumlah apoteker yang lebih banyak yang berkolaborasi dengan dokter, yaitu mencapai 57,8%. Frekuensi pertemuan apoteker dengan Medical Representative melebihi satu kali pertemuan dalam sebulan tercatat sebanyak 53,7%. Jumlah apoteker yang tidak memiliki hubungan non profesional dengan Medical Representative lebih banyak, mencapai 86,5%. Sebagian besar apoteker memiliki domisili di Bekasi Timur, dengan persentase dominan sebesar 20,1%.
Hasil penelitian mengenai sikap apoteker terhadap promosi obat menunjukkan bahwa: 54,9% responden menyatakan setuju bahwa informasi yang diberikan oleh MR berkualitas; 50,8% responden menyatakan setuju bahwa MR menjadi sumber pengetahuan produk obat; 41,4% responden menjawab netral terkait dampak diskusi dengan MR terhadap dispensing atau pengadaan obat; 38,9% responden tidak setuju bahwa menerima reward berpengaruh pada dispensing atau pengadaan obat; 84,8% responden menyatakan setuju bahwa MR perlu memiliki latar belakang pendidikan farmasi; dan 47,1% responden setuju bahwa apoteker menerima pendidikan mengenai etika promosi farmasi dalam studi sebelumnya.
No | Pertanyaan | Persentase | |||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Sangat Tidak Setuju dan tidak Setuju | % | Netral | % | Setuju dan Sangat Setuju | % | ||
1 | Apakah apoteker menganggap informasi obat yang diberikan oleh MR memiliki kualitas? | 19 | 7,8% | 91 | 37,3% | 134 | 54,9% |
2 | Apakah MR menjadi sumber pengetahuan produk obat bagi apoteker? | 37 | 15,1% | 83 | 34% | 124 | 50,8% |
3 | Apakah apoteker merasa bahwa diskusi dengan MR mempengaruhi dispensing atau pengadaan obat? | 59 | 24,2% | 101 | 41,4% | 84 | 34,4% |
4 | Apakah apoteker merasa bahwa menerima reward mempengaruhi dispensing atau pengadaan obat? | 95 | 38,9% | 81 | 33,2% | 68 | 27,8% |
5 | Menurut Anda, apakah MR perlu memiliki latar belakang pendidikan farmasi? | 10 | 4,1% | 27 | 11,1% | 207 | 84,8% |
6 | Apakah apoteker telah menerima pendidikan mengenai etika promosi farmasi dalam studi Anda sebelumnya, terkait MR? | 35 | 14,3% | 94 | 38,5% | 115 | 47,1% |
Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa informasi yang diberikan oleh Medical Representative (MR) memiliki kualitas dan berfungsi sebagai sumber pengetahuan produk obat bagi apoteker. Temuan ini dapat diartikan bahwa MR memiliki latar belakang yang tepat dan telah menjalani pelatihan yang memadai. Selain itu, MR memiliki pengetahuan medis dan teknis yang cukup untuk menyampaikan informasi obat dengan akurat, seimbang, etis, dan bertanggung jawab, sesuai dengan pedoman yang ditetapkan (BPOM, 2002). Terkait dengan hasil literatur yang berbeda (Susi Ari Kristina, 2022), terdapat perbedaan signifikan. Sebanyak 65% responden dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa mereka tidak setuju bahwa informasi yang diberikan oleh MR memiliki kualitas. Informasi yang disampaikan oleh MR cenderung dibuat secara khusus untuk tujuan penjualan obat, sehingga manfaatnya dapat dilebih-lebihkan, sementara resiko, kontraindikasi, dan efek samping cenderung diabaikan (Sandeep Kumar Gupta, 2016).
Mayoritas responden menjawab netral terkait dampak diskusi dengan MR terhadap dispensing dan pengadaan obat. Selain itu, mayoritas apoteker tidak setuju bahwa menerima reward berpengaruh pada dispensing dan pengadaan obat. Hal ini disebabkan oleh mayoritas apoteker yang telah menerima pendidikan sebelumnya mengenai etika promosi farmasi dengan MR. Pendidikan tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional kepada pasien dan agar apoteker tidak terpengaruh oleh reward yang diberikan oleh MR (Zaki, 2014). Pendidikan terkait etika promosi farmasi dengan MR memiliki peran penting dalam menentukan interaksi yang sesuai, dengan tujuan untuk mengurangi dampak promosi obat (Susi Ari Kristina, 2022).
Hasil penelitian mengenai persepsi apoteker terhadap promosi obat menunjukkan bahwa: 64,3% responden setuju bahwa informasi yang disampaikan oleh MR merupakan sumber informasi obat; 81,9% responden setuju bahwa informasi yang diberikan oleh MR berfungsi sebagai pengenalan obat baru; 56,6% responden setuju bahwa informasi yang diberikan oleh MR dapat dipercaya; 86,1% responden setuju bahwa informasi yang diberikan oleh MR dengan latar belakang pendidikan farmasi lebih baik; 86,9% responden setuju bahwa seminar yang diselenggarakan oleh perusahaan farmasi memiliki efek pendidikan dan bermanfaat; 72,2% responden setuju bahwa seminar perusahaan farmasi lebih fokus pada promosi produk perusahaannya; 41,8% responden setuju bahwa menerima reward memiliki pengaruh minimal terhadap dispensing dan pengadaan obat; dan 41,4% responden setuju bahwa menerima reward meningkatkan kemungkinan apoteker merekomendasikan obat tersebut.
No | Pertanyaan | Persentase | |||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Sangat Tidak Setuju dan Tidak Setuju | % | Netral | % | Setuju dan sangat setuju | % | ||
1 | Informasi yang disampaikan oleh MR memiliki manfaat sebagai sumber informasi obat. | 15 | 6,2% | 72 | 29,5% | 157 | 64,3% |
2 | Informasi yang disampaikan oleh MR memiliki manfaat sebagai pengenalan obat baru. | 4 | 1,6% | 40 | 16,4% | 200 | 81,9% |
3 | Informasi yang disampaikan oleh MR mengenai produk perusahaannya dapat dipercaya. | 8 | 3,3% | 98 | 40,2% | 138 | 56,6% |
4 | Informasi yang diberikan oleh MR yang memiliki latar belakang pendidikan farmasi dianggap lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki latar belakang bukan farmasi. | 6 | 2,4% | 28 | 11,5% | 210 | 86,1% |
5 | Sebagian besar seminar yang diselenggarakan oleh perusahaan farmasi memiliki sifat mendidik dan bermanfaat. | 2 | 0,8% | 30 | 12,3% | 212 | 86,9% |
6 | Seminar yang diadakan oleh perusahaan farmasi cenderung lebih mempromosikan produk perusahaannya. | 12 | 4,9% | 56 | 23% | 176 | 72,2% |
7 | Tidak masalah bagi apoteker menerima reward dari perusahaan farmasi, karena hal ini memiliki pengaruh yang minim terhadap dispensing dan pengadaan obat. | 61 | 25% | 81 | 33,2% | 102 | 41,8% |
8 | Menerima reward dari perusahaan farmasi berkontribusi pada peningkatan kemungkinan apoteker merekomendasikan obat tersebut. | 67 | 27,5% | 76 | 31,1% | 101 | 41,4% |
Mayoritas responden merasa bahwa informasi yang diberikan oleh MR bermanfaat sebagai sumber informasi obat dan pengenalan obat baru. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan banyak profesional kesehatan pada MR untuk mendapatkan informasi terkait obat baru, termasuk indikasi, dosis, keunggulan dibandingkan dengan obat lain, dan hal-hal sejenisnya (Sandeep Kumar Gupta, 2016). Sebuah studi menemukan bahwa profesional kesehatan yang berinteraksi dengan MR memperoleh informasi tentang penerimaan obat baru lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang tidak menjalin interaksi dengan MR (George A. Chressanthis, et al., 2012).
Mayoritas responden merasa bahwa informasi yang diberikan oleh MR dapat dipercaya, dan responden juga cenderung berpendapat bahwa MR dengan latar belakang pendidikan farmasi lebih kompeten. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan medis dan teknis yang dimiliki oleh MR, sehingga mereka mampu menyajikan informasi obat secara akurat dan dapat dipercaya (BPOM, 2002). Sebagian besar seminar yang diadakan oleh perusahaan farmasi memiliki sifat mendidik dan bermanfaat serta lebih menekankan promosi produk perusahaan. Hal ini mengakibatkan informasi yang disampaikan menjadi bermanfaat bagi apoteker, yang pada gilirannya meningkatkan pengetahuan mereka dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Namun, apoteker juga perlu membatasi interaksi dengan MR karena terdapat potensi bahwa tanpa disadari, apoteker bisa terpengaruh secara tidak semestinya dalam praktik profesional mereka (Zaki, 2014).
Persentase responden yang tinggi menganggap bahwa reward yang diberikan oleh MR memiliki pengaruh yang minim terhadap dispensing. Namun, persentase yang juga tinggi ada pada responden yang setuju bahwa menerima reward dapat meningkatkan kemungkinan bagi apoteker untuk merekomendasikan obat tersebut. Hal ini sesuai dengan temuan dalam literatur (Susi Ari Kristina, 2022) di mana 72,5% responden setuju bahwa menerima hadiah dapat berpengaruh pada dispensing dan pengadaan obat. Kesimpulannya, perlunya adanya pedoman norma etik yang mengatur interaksi antara tenaga kesehatan dengan industri farmasi terkait pemberian hadiah dan sponsor konferensi (Sandeep Kumar Gupta, 2016).
Penerimaan Reward | Persepsi Apoteker | OR (95% CI) | P value | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Baik | % | Netral | % | Buruk | % | Jumlah | % | |||
Tidak Pernah | 99 | 63,9% | 56 | 36,1% | 0 | 0% | 155 | 100% | 1,978 (1,165-3,360) | 0,01 |
Pernah | 42 | 47,2% | 47 | 52,8% | 0 | 0% | 89 | 100% |
Berdasarkan uji Chi-Square, diperoleh nilai p = 0,01 (Ho ditolak), yang mengindikasikan adanya hubungan antara penerimaan reward yang diberikan oleh Medical Representative dan persepsi apoteker.
Berdasarkan Gambar 1, hasil menunjukkan bahwa dominan responden menjawab bahwa kesesuaian reward adalah sesuai, dengan jumlah 169 orang atau 69,3% pada Seminar yang memiliki SKP, dan 131 orang atau 53,7% pada alat tulis. Dan persentase yang paling rendah adalah untuk hadiah berupa uang tunai >1 juta rupiah dan liburan, dengan jumlah 18 orang yang menjawab sesuai. Hal ini konsisten dengan temuan dalam literatur (Zaki, 2014), di mana hadiah yang memiliki nilai lebih tinggi cenderung mendapatkan persentase yang lebih rendah jika dibandingkan dengan hadiah yang memiliki nilai lebih rendah.
Berdasarkan Gambar 2, hasil menunjukkan bahwa apoteker lebih banyak menerima alat tulis, yaitu sebanyak 204 (83,6%), seminar ber-SKP sebanyak 188 (77%), dan sampel obat sebanyak 179 (73,4%). Temuan ini sejalan dengan literatur (Zaki, 2014) yang menyatakan bahwa hadiah yang memiliki nilai lebih rendah seperti sampel obat dan alat tulis cenderung lebih sering diterima daripada hadiah dengan nilai yang lebih tinggi.
Nilai p yang diperoleh adalah 0,01 (Ho ditolak), menunjukkan adanya hubungan antara penerimaan reward yang diberikan oleh Medical Representative dan persepsi apoteker. Namun, lebih dominan, apoteker yang tidak pernah menerima reward terdiri dari 99 responden dalam kategori "Baik" dan 56 responden dalam kategori "Netral". Dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat hubungan antara persepsi apoteker dan penerimaan reward, namun mayoritas apoteker yang tidak pernah menerima reward memiliki persepsi yang baik. Temuan ini sesuai dengan literatur (Zaki, 2014) yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan reward dan apoteker yang memiliki lebih banyak pengalaman dalam interaksi dengan Medical Representative.
KESIMPULAN DAN SARAN
Mayoritas apoteker yang berpartisipasi dalam penelitian ini tidak menerima reward, namun tetap menunjukkan sikap dan persepsi yang positif terhadap Medical Representative (MR). Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa sebagian besar apoteker telah mengikuti Pendidikan etika promosi obat sebelumnya, yang membantu mereka mengembangkan pandangan yang lebih berimbang dan etis terhadap interaksi dengan MR. Kami menemukan bahwa promosi obat yang dilakukan oleh Medical Representative (MR) berfungsi sebagai sumber informasi obat yang berkualitas dan dapat dipercaya. Alat tulis, seminar ber-SKP, dan sampel obat merupakan jenis reward yang paling banyak diterima. Untuk pengembangan lebih lanjut, diharapkan penelitian dapat dilakukan pada populasi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Birhanu Demeke Workneh, M. G. G. T. A. B. M. T. G. Y. B. B. D. M. T. T. T. K., 2016. Influence of Medical Representative on Prescribing Practices in Mekkelle. Plos One.
BPOM, 2002. Representatif Perusahaan. Indonesia: s.n.
George A. Chressanthis, P. et al., 2012. Can Access Limits on Sales Representatives to Physicians Affect Clinical Prescription Decisions? A Study of Recent Events With Diabetes and Lipid Drugs. Journal of the American Society of Hypertension, Inc, Volume 14, p. 07.
Jacob, N. T., 2018. Drug promotion practices. British Journal of Clinical Pharmacology, Volume 84, pp. 1659-1667.
Rima Hajjar, A. B. M. A. C. R. N. E. D. S. T. F. H. G. H.-A. E. A. A., 2017. Characterizing the interaction between physicians, pharmacists and pharmaceutical representatives in a middle-income. Plos One.
Sandeep Kumar Gupta, R. P. N. d. R. S., 2016. A study on the interactions of doctors with medical representatives of pharmaceutical companies in a Tertiary care Teaching Hospital of south India. Journal Pharmacy BioAllied Sciences, Volume 8, pp. 47-51.
Susi Ari Kristina, S. a. N. A. M., 2022. PHARMACISTS’ VIEW OF DRUG PROMOTION BY SALES REPRESENTATIVES: A SURVEY FROM INDONESIA. Indonesia: Malaysian Journal of Public Health Medicine.
Teresa Leonardo Alves, J. L. B. M., 2018. Medicines Information and the Regulation of the Promotion of Pharmaceuticals. s.l.:Sci Eng Ethics.
Zaki, N. M., 2014. Pharmacists and physicians' perception and exposure to drug promotion. Arab Saudi: Saudi Pharmaceutical Journal.