Presentasi Klinis dan Faktor Prediktor Mortalitas Pasien Tetanus
Keywords:
Leukocyte Levels, Electrolytes, TetanusAbstract
Tetanus is an infection that causes spasms of the jaw and neck muscles due to Clostridium tetani. The prevalence of tetanus is high in low-resource countries, with mortality reaching 20-45%. Neonatal tetanus remains a problem in developing countries. Identification of predictors of tetanus mortality including leukocytes and electrolytes, is important for improved management of adult patients at high risk of mortality. This study aimed to examine the relationship between leukocyte and electrolyte levels and mortality of tetanus patients at PKU Muhammadiyah Surakarta Hospital. This research is a correlation study with a cross sectional design involving 37 respondents (30 men and 7 women) who are tetanus patients recorded in the medical records. The average age of respondents is 56, percentage 43.2% of respondents died while the percentage of respondents improved was 51.4%, the percentage of respondents with normal leukocyte numbers and died was 17.1% while the abnormal leukocyte numbers were 28.6%, the percentage of respondents with normal sodium levels and died was 50% the same as the percentage of respondents with abnormal sodium levels who died, meanwhile respondents with normal potassium levels and died were 29.4% and respondents with abnormal potassium levels and died were 70.6%.
PENDAHULUAN
Tetanus adalah suatu infeksi yang ditandai dengan keadaan hypertonia umum, dimanifestasikan berupa bentuk kejang otot yang terasa menyakitkan khususnya pada bagian rahang dan area leher. Spasme yang disebabkan oleh tetanus dimulai dari muka lalu menjalar ke tubuh bagian bawah atau descendants, hal ini disebabkan oleh bakteri obligat anaerob dan termasuk bakteri gram positif yang menghasilkan racun atau toxin yaitu bernama Clostridium tetani. Biasanya ditemukan pada feses hewan, tanah, ataupun debu terutama pada kawasan yang hangat dan basa h serta mengandung banyak unsur organik. Bakteri ini menginvasi tubuh dengan berbagai cara yaitu seperti tusukan jarum, luka yang terkontaminasi tetanus, dan gigitan hewan yang terkontaminasi. Risiko terkena tetanus meningkat pada usia lanjut, imunitas yang sedang rendah, ataupun belum melakukan vaksinasi, risiko ini juga lebih rentan pada neonatus yang proses kelahirannya tidak steril seperti di rumah atau di tempat non medis karena alat yang tidak steril serta proses pemotongan tali pusar yang tidak steril, hal ini juga dapat didukung dengan ibu janin yang belum melakukan vaksinisasi anti tetanus(Endiana Dewi et al., 2023).
Epidemiologi tetanus di seluruh dunia berdasarkan data dari WHO diperkirakan sekitar 275 ribu dengan kenaikan angka pada tahun 2011 sebanyak 14 ribu kasus. Namun prevalensi makin banyak pada negara dengan sumber daya rendah dan mortalitasnya mencapai 20 persen hingga 45 persen akibat infeksi, angka tersebut dapat berkurang bila diupayakan dalam tindakan yang lebih awal (Khan et al., 2022).Tetanus juga dikenal dengan nama lockjaw, karena menyebabkan otot rahang dan leher menjadi tegang. Berkat vaksin, kasus tetanus sudah mulai jarang terjadi. Namun, penyakit ini tetap menjadi ancaman bagi mereka yang tidak mengikuti vaksinasi. Perawatan berfokus pada penanganan komplikasi sampai efek toksin tetanus hilang. Tanda dan gejala tetanus bisa muncul kapan saja, dari beberapa hari hingga beberapa minggu setelah bakteri tetanus masuk ke tubuh Anda melalui luka. Masa inkubasi rata-rata adalah tujuh hingga 10 hari (Irawan, 2008).
Data survei Kesehatan RI mencerminkan bahwa setiap tahun, tetanus terjadi dengan tingkat kejadian Kementerian sekitar 0,2 kasus per 100.000 penduduk. Penyakit ini tampak menyebar secara merata di semua provinsi di Indonesia (Krisnan and Panigoro, 2015). Tetanus neonatal dan pada ibu melahirkan juga tidak lepas dari penelitian ini, tetanus pada ibu dan bayi yang baru lahir masih merupakan penyebab kematian yang signifikan di banyak negara berkembang, masih tercatat sekitar 58.000 neonatus meninggal setiap tahun akibat tetanus, dan jumlah ibu yang meninggal juga belum teridentifikasi dengan pasti. Hingga bulan Juni 2014, 24 negara masih berupaya keras untuk memberantas penyakit ini. Dalam rangka menjaga upaya eliminasi tetanus, diperlukan program vaksinasi berkelanjutan dan peningkatan infrastruktur kesehatan masyarakat (Thwaites et al., 2015).
Setiap individu yang belum menerima vaksinasi memiliki potensi risiko terkena tetanus karena kurangnya kekebalan alami terhadap infeksi ini. Ketika program vaksinasi untuk anak-anak dan ibu dimulai pada akhir abad kedua puluh, hal ini dengan cepat mengurangi insiden tetanus di seluruh dunia. Meskipun demikian, masalah ini masih merupakan perhatian utama di kalangan orang lanjut usia di berbagai negara. Terlebih lagi, tetanus neonatal, yang terutama terjadi karena kekurangan atau ketidakmemadainya imunisasi dan asupan cairan yang memadai pada wanita, sering terjadi di negara-negara berkembang atau yang memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. Meskipun vaksin tetanus yang efektif dan terjangkau telah tersedia, penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di daerah-daerah miskin di seluruh dunia. Penelitian di Bangladesh, jumlah kasus tetanus baru setiap tahun telah mengalami penurunan yang berarti di negara ini berkat program vaksinasi massal. Meskipun demikian, penyakit ini masih menyebabkan banyak kematian di kalangan orang dengan tingkat pendapatan rendah dan menengah. Mayoritas pasien tetanus dalam penelitian ini adalah pria yang bekerja sebagai petani dan berasal dari daerah pedesaan, dengan sebagian besar dari mereka meninggal selama perawatan di rumah sakit. Perlu dicatat bahwa rumah sakit ini mungkin memiliki keterbatasan dalam fasilitas perawatan intensif. Faktor-faktor seperti usia pasien yang lebih tua, masa inkubasi yang pendek (waktu antara cedera dan munculnya gejala), onset gejala yang cepat (waktu antara gejala pertama dan timbulnya kejang pertama), dan perkembangan komplikasi menjadi faktor yang signifikan dalam tingkat kematian di rumah sakit. Oleh karena itu, manajemen yang lebih teliti dan individual terhadap pasien dewasa dengan satu atau lebih karakteristik ini perlu ditingkatkan untuk meningkatkan tingkat kelangsungan hidup mereka (Khan et al, 2022). Maka dari itu, penting untuk mengidentifikasi mengenai faktor prediktor mortalitas tetanus dan keterkaitannya dengan leukosit dan elektrolit sebagai pengetahuan tambahan mengenai faktor-faktor risiko yang mempengaruhi tingkat kematian pada pasien tetanus dari segala usia. Penelitian ini memberikan pembaruan dari penelitian sebelumnya dengan memperhatikan faktor-faktor yang signifikan dalam peningkatan risiko mortalitas pada pasien.
METODE
Penelitian potong-lintang (cross sectional) dipilih pada penelitian ini dengan melakukan observasi pada kedua variabel baik variabel bebas maupun terikat. Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan data sekunder di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dan dilaksanakan pada bulan September - Desember 2023. Populasi di dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tetanus di RS PKU Muhammadiyah Surakarta dengan kriteria inklusi pasien tetanus yang tercatat dalam rekam medis selama periode 2018 – 2023 dalam segala usia, mencantumkan data tes darah rutin dari laboratorium dan kriteria eksklusi pasien tetanus periode 2018 – 2023 yang tidak melakukan pemeriksaan lab, pasien yang dirujuk ke rumah sakit lain, pasien yang pulang atas permintaan pasien. Sampel yang dipilih dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan populasi pasien tetanus yang berada di RS PKU Muhammadiyah Surakarta yang memiliki data sesuai dengan yang diperlukan peneliti di RS PKU Muhammadiyah Surakarta. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik sampling Non Probability dengan metode Total Sampel untuk mengambil sampel pasien tetanus.
HASIL
Pengumpulan data dilakukan dengan melihat rekam medis pasien dengan total responden sejumlah 37 pasien tetanus. Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel di bawah.
Variabel | f | % | Mean | Mortalitas f (%) | P value | |
---|---|---|---|---|---|---|
Meninggal | Membaik | |||||
Usia | 56 | 0.430 | ||||
12-25 | 3 | 8.1 | 0 | 2 (10,5) | ||
26-45 | 1 | 2.7 | 0 | 1 (5,3) | ||
46-65 | 21 | 56.8 | 10 (62,5) | 10 (52,6) | ||
> 65 | 12 | 32.4 | 6 (37,5) | 6 (31,6) | ||
Gender | 0.248 | |||||
Laki-laki | 30 | 81.1 | 12 (75) | 17 (89,5) | ||
Perempuan | 7 | 18.9 | 4 (25) | 2 (10,5) | ||
Pekerjaan | 0.164 | |||||
Pensiunan | 5 | 13.5 | 0 | 5 (33,3) | ||
Berkebun | 1 | 2.7 | 0 | 1 (6,7) | ||
IRT | 2 | 5.4 | 2 (22,2) | 0 | ||
PNS | 1 | 2.7 | 1 (11,1) | 0 | ||
Wiraswasta | 8 | 21.6 | 3 (33,3) | 5 (33,3) | ||
Petani | 2 | 5.4 | 1 (11,1) | 1 (6,7) | ||
Karyawan | 3 | 8.1 | 2 (22,2) | 1 (6,7) | ||
Buruh | 1 | 2.7 | 0 | 1 (6,7) | ||
Pelajar | 1 | 2.7 | 0 | 1 (6,7) | ||
Swasta | 2 | 5.4 | 0 | 5 (33,3) | ||
Missing System | 11 | 29.7 | 0 | 1 (6,7) | ||
Tetanus Grade (Ablett) | 0.605 | |||||
Grade 1 | 1 | 2.7 | 0 | 1 (5,3) | ||
Grade 2 | 1 | 2.7 | 0 | 1 (5,3) | ||
Grade 3 | 12 | 32.4 | 3 (21,4) | 6 (31,6) | ||
Grade 4 | 23 | 62.2 | 11 (78,6) | 11 (57,8) | ||
Tekanan Darah | - | |||||
Normal | 19 | 51.4 | 4 (26,7) | 14 (82,4) | ||
Tidak Normal | 14 | 37.8 | 11 (73,3) | 3 (17,6) | ||
Missing System | 4 | 10.8 | ||||
Nadi | 0.064 | |||||
Normal | 26 | 70.3 | 9 (56,3) | 16 (88,9) | ||
Tidak Normal | 9 | 24.3 | 6 (37,7) | 2 (11,1) | ||
Missing System | 2 | 5.4 | ||||
Hb | 0.636 | |||||
Normal | 24 | 64.9 | 11(68,7) | 13 (68,4) | ||
Tidak Normal | 13 | 35.1 | 5 (31,3) | 6 (31,6) | ||
Hct | 0.488 | |||||
Normal | 23 | 62.2 | 11 (73,3) | 12 (66,6) | ||
Tidak Normal | 12 | 32.4 | 4 (26,7)) | 6 (33,4) | ||
Missing System | 2 | 5.4 | ||||
AL | 0.120 | |||||
Normal | 19 | 51.4 | 6 (37,5) | 12 (63,2) | ||
Tidak Normal | 10 (62,5) | 7 (36,8) | ||||
AT | 0.088 | |||||
Normal | 26 | 70.3 | 9 (56,3) | 15 (83,3) | ||
Tidak Normal | 10 | 27 | 7 (43,7) | 3 (16,7) | ||
Missing System | 1 | 2.7 | ||||
MCV | 0.652 | |||||
Normal | 32 | 86.5 | 14 (87,5) | 16 (98,9) | ||
Tidak Normal | 4 | 10.8 | 2 (12,5) | 2 (1,1) | ||
Missing System | 1 | 2.7 | ||||
MCH | 0.429 | |||||
Normal | 28 | 75.7 | 12 (75) | 15 (83,3) | ||
Tidak Normal | 8 | 21.6 | 4 (25) | 3 (16,7) | ||
Missing System | 1 | 2.7 | ||||
MCHC | 0.727 | |||||
Normal | 33 | 89.2 | 15 (93,7) | 17 (94,5) | ||
Tidak Normal | 3 | 8.1 | 1 (6,3) | 1 (5,5) | ||
Missing System | 1 | 2.7 | ||||
MPV | 0.251 | |||||
Normal | 24 | 64.9 | 13 (81,3) | 11 (64,7) | ||
Tidak Normal | 10 | 27 | 3 (18,7) | 6 (35,3) | ||
Missing System | 3 | 8.1 | ||||
Neutrofil | 0.576 | |||||
Normal | 7 | 18.9 | 3 (20) | 4 (23,5) | ||
Tidak Normal | 27 | 73 | 12 (80) | 13 (76,5) | ||
Missing System | 3 | 8.1 | ||||
Limfosit | 0.576 | |||||
Normal | 8 | 21.6 | 3 (20) | 4 (23,5) | ||
Tidak Normal | 26 | 70.3 | 12 (80) | 13 (76,5) | ||
Missing System | 3 | 8.1 | ||||
Monosit | 0.061 | |||||
Normal | 27 | 73 | 14 (93,3) | 11 (64,7) | ||
Tidak Normal | 7 | 18.9 | 1 (6,7) | 6 (35.3) | ||
Missing System | 3 | 8.1 | ||||
Eosinofil | 0.500 | |||||
Normal | 11 | 29.7 | 6 (85,7) | 5 (71,5) | ||
Tidak Normal | 3 | 8.1 | 1 (14,3) | 2 (28,5) | ||
Missing System | 23 | 62.2 | ||||
Basofil | 0.412 | |||||
Normal | 16 | 43.2 | 10 (100) | 6 (85,7) | ||
Tidak Normal | 1 | 2.7 | 0 | 1 (14.3) | ||
Missing System | 20 | 54.1 | ||||
NLR | 0.571 | |||||
Normal | 2 | 5.4 | 1 (10) | 1 (20) | ||
Tidak Normal | 13 | 35.1 | 9 (90) | 4 (80) | ||
Missing System | 22 | 59.5 | ||||
Klasifikasi Tetanus | 0.223 | |||||
Grade 1-3 | 23 | 62.2 | 8 (50) | 13 (68,4) | ||
Grade 4-5 | 14 | 37.8 | 8 (50) | 6 (31,6) | ||
Na | 0.310 | |||||
Normal | 8 | 21.6 | 8 (50) | 5 (62,5) | ||
Tidak Normal | 8 | 21.6 | 8 (50) | 3 (37,5) | ||
Missing System | 21 | 56.8 | ||||
K | 0.563 | |||||
Normal | 5 | 13.5 | 2 (25) | 3 (33,3) | ||
Tidak Normal | 12 | 32.4 | 6 (75) | 6 (66,7) | ||
Missing System | 20 | 54.1 | ||||
Port d entry | ||||||
Kaki | 10 | 27 | 5 (71,4) | 4 (57,1) | ||
Tangan | 3 | 8.2 | 2 (28,6) | 1 (14,3) | ||
Gigi | 1 | 2.7 | 0 | 1 (14,3) | ||
Bibir | 1 | 2.7 | 0 | 1 (14,3) | ||
Missing System | 22 | 59.4 | ||||
Mortality | ||||||
Meninggal | 16 | 43.2 | ||||
Membaik | 19 | 51.4 | ||||
Missing System | 2 | 5.4 |
Responden dalam penelitian sebagian besar (56.8%) berada dalam rentang usia 46 – 65 tahun. Responden mayoritas berjenis kelamin laki-laki (81.1%). Pekerjaan responden Sebagian besar tidak tercatat dalam rekam medis sehingga tidak diketahui (29.7), kemudian diikuti dengan profesi wiraswasta sejumlah 21.6%. Lebih dari setengah total responden mempunyai tetanus Grade 4 (62.2%). Lebih dari setengah total responden tercatat memiliki tekanan darah normal dalam rekam medis yakni sebanyak 51.4%. Sebagian besar responden memiliki denyut nadi dalam rentang normal (70.3%). Hemoglobin dan Hematokrit responden sebagian besar berada dalam rentang normal (64.9%; 62.2%). Mayoritas responden mempunyai AL, AT, MCV, MCH, MCHC, dan MPV dalam rentang normal dengan persentase secara runtut masing-masing 51.4%, 70.3%, 86.5%, 75.7%, 89.2%, dan 64.9%. Sementara itu neutrophil pasien mayoritas berada dalam rentang tidak normal (73%). Sama halnya dengan limfosit dengan persentase 70.3% pada rentang tidak normal. Persentase monosit responden mayoritas berada dalam rentang normal dengan persentase 73%. Pemeriksaan eosinophil, basophil, NLR, Na, dan K pada responden sebagian besar tidak tercatat dalam rekam medis sehingga tidak diketahui pengkategoriannya dengan masing-masing persentase 62.2%, 54.1%, 59.5%, 56.8%, dan 54.1%. Kadar elektrolit darah seperti Natrium dan Kalium pada responden pasien tetanus sebagian besar tidak dapat ditemukan di rekam medis. Kadar kalium responden sebagian besar berada dalam rentang tidak normal dengan persentase 32,4%. Sedangkan kadar natrium pada responden dengan rentang normal dan tidak normal mempunyai persentase yang sama yakni 21,6%. Port d entry Port d entry responden dalam penelitian sebagian besar terletak di kaki (27%), sedangkan 59.4% responden tidak diketahui port d entry untuk penyakit tetanus mereka. Persentase mortalitas responden membaik mempunyai persentase 51.4%.
f (%) | Mortalitas | p value | ||
---|---|---|---|---|
Meninggal | Membaik | |||
Leukosit | 0.120 | |||
Normal | 18 (51.4) | 6 (17.1) | 12 (34.3) | |
Tidak Normal | 17 (48.6) | 10 (28.6) | 7 (20) | |
Elektrolit | ||||
Natrium | 0.310 | |||
Normal | 8 (50) | 5 (31.3) | 3 (18.8) | |
Tidak Normal | 8 (50) | 3 (18.8) | 5 (31.3) | |
Kalium | 0.563 | |||
Normal | 5 (29.4) | 2 (11.8) | 3 (17.6) | |
Tidak Normal | 12 (70.6) | 6 (35.3) | 6 (35.3) | |
Rata-rata Usia | 56 | 48 |
Bahwa tidak terdapat hubungan atau korelasi yang signifikan antara leukosit dan mortalitas responden atau pasien tetanus (p= 0,120). Begitupun dengan hubungan antara elektrolit (natrium dan kalium) terhadap mortalitas pasien yang tidak menunjukkan adanya perbedaan proporsi yang signifikan pada hasil uji Chi Square (p= 0,310 dan p= 0,563).
Karakteristik | f | Mortalitas f (%) | p value | |
---|---|---|---|---|
Meninggal | Membaik | |||
Usia | 35 | 0.430 | ||
Teenager | 0 | 2 (10,5) | ||
Adult | 0 | 1 (5,3) | ||
Elderly | 10 (62,5) | 10 (52,6) | ||
Senior | 6 (37,5) | 6 (31,6) | ||
Jenis Kelamin | 35 | 0.379 | ||
Laki-laki | 12 (75) | 17 (89,5) | ||
Perempuan | 4 (25) | 2 (10,5) | ||
Pekerjaan | 24 | 0.163 | ||
Pensiun | 0 | 5 (33,3) | ||
Berkebun | 0 | 1 (6,7) | ||
IRT | 2 (22,2) | 0 | ||
PNS | 1 (11,1) | 0 | ||
Wiraswasta | 3 (33,3) | 5 (33,3) | ||
Petani | 1 (11,1) | 1 (6,7) | ||
Karyawan | 2 (22,2) | 1 (6,7) | ||
Buruh | 0 | 1 (6,7) | ||
Swasta | 0 | 1 (6,7) | ||
Gejala dan Symptom | ||||
Kejang | 35 | 0.141 | ||
Ya | 6 (37,5) | 3 (15,8) | ||
Tidak | 10 (62,5) | 16 (84,2) | ||
Trismus | 35 | 0.156 | ||
Ya | 12 (75) | 10 (52,6) | ||
Tidak | 4 (25) | 9 (47,4) | ||
Demam | 35 | 0.141 | ||
Ya | 6 (37,5) | 3 (15,8) | ||
Tidak | 10 (62,5) | 16 (84,2) | ||
Abdominal spasm | 35 | 0.347 | ||
Ya | 7 (43,7) | 6 (31,6) | ||
Tidak | 9 (56,3) | 13 (68,4) | ||
Respiratory spasm | 35 | 0.243 | ||
Ya | 6 (37,5) | 4 (21,1) | ||
Tidak | 10 (62,5) | 15 (78,9) | ||
Abses tangan | 35 | 0.181 | ||
Ya | 0 | 2 (10,5) | ||
Tidak | 16 (100) | 17 (89,5) | ||
Abses kaki | 35 | 0.602 | ||
Ya | 3 (18,7) | 4 (21,1) | ||
Tidak | 13 (81,3) | 15 (78,9) | ||
Gigi berlubang | 35 | 0.287 | ||
Ya | 0 | 2 (10,5) | ||
Tidak | 16 (100) | 17 (89,6) | ||
Extremity spasm (tangan) | 35 | 0.630 | ||
Ya | 2 (12,5) | 2 (10,5) | ||
Tidak | 14 (87,5) | 17 (89,5) | ||
Extremity spasm (kaki) | 35 | 0.602 | ||
Ya | 3 (18,7) | 4 (21,1) | ||
Tidak | 13 (81,3) | 15 (98,9) | ||
Onset | 28 | 0.481 | ||
< 7 hari | 7 (58,3) | 10 (66,7) | ||
? 7 hari | 5 (41,7) | 5 (33,3) | ||
Alergi | 2 | |||
Penicilin | 2 (100) | 0 | ||
Tetanus Grade | 35 | 0.605 | ||
Grade 1 | 0 | 1 (5,3) | ||
Grade 2 | 0 | 1 (5,3) | ||
Grade 3 | 3 (21,4) | 6 (31,6) | ||
Grade 4 | 11 (78,6) | 11 (57,8) | ||
Tekanan Darah | 32 | 0.002* | ||
Normal | 4 (26,7) | 14 (82,4) | ||
Tidak normal | 11 (73,3) | 3 (17,6) | ||
Nadi | 33 | 0.064 | ||
Normal | 9 (56,3) | 16 (88,9) | ||
Tidak normal | 6 (37,7) | 2 (11,1) | ||
AL | 35 | 0.120 | ||
Normal | 6 (37,5) | 12 (63,2) | ||
Tidak normal | 10 (62,5) | 7 (36,8) | ||
AT | 34 | 0.088 | ||
Normal | 9 (56,3) | 15 (83,3) | ||
Tidak normal | 7 (43,7) | 3 (16,7) | ||
Klasifikasi Tetanus (Patel and Joag) | 35 | 0.223 | ||
1 – 3 | 8 (50) | 13 (68,4) | ||
4 – 5 | 8 (50) | 6 (31,6) | ||
Kreatinin | 19 | 0.238 | ||
Normal | 7 (58,3) | 6 (85,7) | ||
Tidak normal | 5 (41,7) | 1 (14,3) | ||
Komplikasi | ||||
Gagal napas | 35 | 0.024* | ||
Ya | 6 (37,5) | 1 (5,3) | ||
Tidak | 10 (62,5) | 18 (94,7) | ||
Bronkopneumonia | 35 | 0.007* | ||
Ya | 2 (12,5) | 11 (57,9) | ||
Tidak | 14 (87,5) | 8 (42,1) | ||
Kardiomegali | 35 | 0.452 | ||
Ya | 3 (18,7) | 5 (26,3) | ||
Tidak | 13 (81,3) | 14 (73,7) | ||
Syok sepstik | 35 | 0.086 | ||
Ya | 3 (18,7) | 0 | ||
Tidak | 13 (81,3) | 19 (100) | ||
Komorbid | 35 | |||
Hipertensi | 0.381 | |||
Ya | 5 (31,3) | 4 (21,1) | ||
Tidak | 11 (68,7) | 15 (78,9) | ||
DM | 35 | 0,364 | ||
Ya | 6 (37,5) | 5 (26,3) | ||
Tidak | 10 (62,5) | 14 (73,7) | ||
Gagal ginjal | 0,434 | |||
Ya | 2 (12,5) | 1 (5,3) | ||
Tidak | 14 (87,5) | 18 (94,7) | ||
TB | 35 | 0.713 | ||
Ya | 1 (6,3) | 1 (5,3) | ||
Tidak | 15 (93,7) | 18 (94,7) | ||
Tanda Encepalopati | 2 | |||
Koma | 0 | 1 (50) | ||
Somnolen | 0 | 1 (50) | ||
ICU | 35 | 0,243 | ||
Ya | 6 (37,5) | 4 (21,1) | ||
Tidak | 10 (62,5) | 15 (78,9) | ||
NGT | 35 | 0,636 | ||
Ya | 5 (31,3) | 6 (31,6) | ||
Tidak | 11 (68,7) | 13 (68,4) | ||
Ventilator | 35 | 0,135 | ||
Ya | 5 (31,3) | 2 (10,5) | ||
Tidak | 11 (68,7) | 17 (89,5) | ||
Riwayat vaksin | 35 | 0,135 | ||
Ya | 5 (31,3) | 2 (10,5) | ||
Tidak | 11 (68,7) | 17 (89,5) | ||
Molaret | 35 | 0,022* | ||
Stage 1 | 0 | 3 (12) | ||
Stage 2 | 7 (70) | 13 (52) | ||
Stage 3 | 3 (30) | 9 (36) | ||
*signifikan terhadap nilai p (0,05) |
Korelasi faktor yang mempengaruhi mortalitas pada pasien tetanus. Secara umum, seluruh faktor tidak berkorelasi secara signifikan terhadap mortalitas pasien tetanus, kecuali faktor tekanan darah (p= 0.002), komplikasi dengan riwayat gagal napas (0.024), dan molaret (p= 0.022) yang menunjukkan korelasi signifikan terhadap mortalitas pasien tetanus. Korelasi mortalitas pasien tetanus dengan usia (p= 0.430), jenis kelamin (p= 0.379), dan pekerjaan (p= 0.163) tidak signifikan. Korelasi antara gejala dan symptom dengan mortalitas pasien tetanus secara umum tidak signifikan. Secara terperinci gejala tetanus, seperti kejang (p= 0.141); trismus (0.156), demam (0.141), adominal spasm (0.347), respiratory spasm (p= 0.243), abses tangan (p=0.181), abses kaki (p= 0.602), gigi berlubang (p=0.287), extremity spam (tangan) (p= 0.630), extremity spam (kaki) (p= 0.602) menunjukkan korelas yang tidak signifikan. Faktor lain seperti diagnosis sementara (p= 0.291), onset (p= 0.481), tetanus grade (p= 0.605), nadi (p= 0.064), angka leukosit (p= 0.120), angka trombosit (p= 0.088), klasifikasi tetanus (p= 0.223), dan kreatinin (p= 0.238) juga tidak menunjukkan korelasi yang signifikan. Secara umum komorbid juga menunjukkan korelasi yang tidak signifikan dengan mortalitasi pasien tetanus, kecuali komorbid berupa bronkopneumonia (p= 0.007). Komorbid terdiri dari variabel hipertensi (p= 0.381), diabetes melitus (p= 0.364), gagal ginjal (p=0.434), tuberkolosis (p= 0.713), kardiomegali (p= 0.452), dan syok sepstik (p= 0.086) juga tidak memiliki korelasi yang tidak signifikan terhadap mortalitas pasien tetanus. Faktor lain seperti, ICU (p= 0.243), NGT (p= 0.636), ventilator (p= 0.135), dan riwayat vaksin (p= 0.135) menunjukkan korelasi yang tidak signfikan dengan mortalitas pasien tetanus.
PEMBAHASAN
Karakteristik Demografi Responden
Distribusi usia pada responden penelitian ini didominasi oleh kelompok usia 46 – 65 tahun (elderly). Kelompok usia elderly akan lebih cenderung beresiko terkena tetanus disebabkan oleh beberapa hal yakni penurunan imunitas tubuh serta sebagian dari mereka tidak mendapatkan vaksin tetanus secara lengkap terutama pada negara-negara dengan sumber daya terbatas. Terlebih lagi mereka cenderung tidak melaporkan penyakit mereka sehingga penyakit tetanus dibiarkan tidak diobati (Sah et al., 2022). Dalam penelitian ini, laki-laki mendominasi dalam penyakit tetanus dengan persentase 81,1%. Sebuah penelitian di Afrika menemukan kasus tetanus yang melonjak pada laki-laki setelah mereka melakukan sirkumsisi. Penelitian ini menemukan bahwa laki-laki cenderung melewatkan jadwal vaksinasi tetanus mereka (Dalal et al., 2016). Pada kasus tetanus dalam penelitian ini terdapat 62,2% responden yang memiliki tetanus derajat 4. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang aware terhadap penyakit tetanus dan cenderung tidak memeriksakan penyakit mereka saat belum parah.
Nilai neutrophil dan limfosit pada responden sebagian besar berada dalam rentang tidak normal atau tinggi. Sama halnya dengan Neutrophil-Lymphocyte-Ratio (NLR) yang tinggi pada responden. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi sistemik dan respon imun terhadap adanya infeksi. Terlebih pada tetanus yang sudah parah, peningkatan neutrophil dan limfosit akan lebih terlihat sebagai respon tubuh dalam melawan infeksi Clostridium Tetani (Zhao et al., 2022).
Port of entry pada responden yang diketahui dan tercatat di rekam medis sebagian besar berada di kaki (27%). Kaki merupakan bagian tubuh yang sering terpapar dengan lingkungan kotor, terutama jika seseorang berjalan tanpa alas kaki di tempat yang mungkin memiliki tanah, debu, atau kontoran yang mengandung spora C. Tetani. Terlebih lagi, kaki mempunyai kemungkinan besar mempunyai luka tusuk atau laserasi yang disadari maupun tidak disadari oleh seseorang sehingga memudahkan C. Tetani untuk menginfeksi melalui port de entry tersebut (Center for Disease Control, 2022).
Mortalitas atau angka kematian pasien tetanus dalam penelitian ini termasuk rendah dibandingkan dengan angka pulih responden (43,2%). Mengutip dari Global Burden of Disease Study 2019, angka mortalitas akibat tetanus telah mengalami penurunan dari tahun 1990. Pada negara-negara dengan Sociodemographic Index (SDI) rendah, penyakit tetanus paling banyak menyerang bayi baru lahir. Sedangkan pada negara dengan SDI tinggi, penyakit tetanus beresiko lebih tinggi pada kelompok usia diatas 70 tahun. Angka kematian akibat tetanus menurun dipengaruhi oleh beberapa hal seperti vaksinasi yang semakin luas dan merata jangkauannya, peningkatan pelayanan medis terutama perawatan luka yang memungkinkan penurunan resiko infeksi, dan diagnosis serta penanganan dini penyakit tetanus (Li et al., 2023; Khan et al., 2022).
Korelasi Leukosit dan Elektrolit pada Mortalitas Pasien Tetanus
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa baik leukosit (p= 0,120) maupun elektrolit dalam hal ini natrium dan kalium (p= 0,310; 0,563) tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap angka mortalitas pasien tetanus. Beberapa penelitian telah meneliti hubungan antara kadar leukosit dengan angka mortalitas pasien tetanus di rumah sakit. Penelitian oleh Zhao et al (2022) di China menunjukkan bahwa Neutrophil-Lymphocyte-Rate (NLR) pada pasien tetanus secara signifikan lebih tinggi pada pasien tetanus dengan derajat keparahan yang lebih tinggi, namun penelitian oleh Zhao et al (2022) tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara leukosit dengan mortalitas pasien tetanus. (Zhao et al., 2022). Demikian pula, hasil penelitian menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam transformasi limfosit terhadap toksoid tetanus dalam kelompok umur yang berbeda (Zhao et al., 2022). Sejalan dengan penelitian di Bangladesh oleh Khan et al (2022) yang menemukan bahwa faktor yang signifikan dan dapat menjadi prediksi dalam mortalitas pasien antara lainbukan kadar leukosit namun usia yang lebih tua, waktu inkubasi yang lebih cepat (waktu dari terpaparnya individu hingga muncul spasme pertama), onset penyakit, dan komplikasi penyakit pada pasien tetanus (Khan et al., 2022).
Penyakit tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi Clostridium Tetani. Gejala yang ditimbulkan oleh infeksi tetanus bukan disebabkan oleh respon darah putih terhadap bakteri, tetapi lebih disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Infeksi C. Tetani merupakan infeksi yang mengenai saraf pusat, leukosit merupakan antibody yang berperan apabila terdapat infeksi di dalam darah atau jaringan tubuh yang lebih luas. Perubahan kadar leukosit pada pasien tetanus dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain efek neurotoksin tetanus pada tubuh dan sepsis. Bagaimanapun, tetanus lebih berfokus terhadap sistem saraf, sehingga peran leukosit mungkin kurang signifikan terhadap penyakit tetanus. Terlebih lagi, gejala yang ditimbulkan oleh penyakit tetanus terjadi secara singkat dan cepat setelah terinfeksi, sehingga reaksi kekebalan tubuh yang dimediasi oleh leukosit mungkin tidak memiliki cukup waktu dalam mengatasi infeksi tersebut sebelum gejala yang parah muncul (Li et al., 2023).
Elektrolit dalam darah dalam penelitian ini baik natrium dan kalium tidak menunjukkan adanya proporsi yang signifikan pada angka mortalitas pasien tetanus. Pada penelitian Zhao et al (2022) di China disebutkan bahwa level dari serum sodium pada pasien tetanus parah signifikan lebih rendah dibandingkan dengan pasien tetanus sedang. Namun tidak ada nilai yang signifikan terhadap angka mortalitas pasien tetanus (Zhao et al., 2022). Penelitian yang meneliti perubahan natrium dan mortalitas pasien belum banyak ditemui, salah satu penelitian oleh Haloway et al (1970) yang secara langsung menemukan adanya perubahan kadar natrium yang signifikan pada pasien tetanus. Penelitian ini menganalisis kadar urin dan elektrolit pada 30 responden dan menemukan bahwa rata-rata kadar natrium serum lebih rendah dari normal yang mengindikasi adanya hyponatremia. Adanya ketidakstabilan natrium ini dapat disebabkan oleh ketidakstabilan vasomotor yang diamati pada pasien tetanus. Kondisi hyponatremia yang terlalu lama dibiarkan akan mengakibatkan gangguan fungsi otak disebabkan oleh adanya penumpukan cairan dan menyebabkan edema otak. Kondisi ini dapat menyebabkan delirium, kelemahan, bahkan kehilangan kesadaran pada pasien tetanus dan meningkatkan mortalitas. Namun penelitian ini belum meneliti lebih lanjut mengenai korelasi antara kadar natrium dengan mortalitas pasien tetanus (Haloway et al., 1970).
Kalium atau potassium serum dalam penelitian ini sebagian besar berada dalam rentang tidak normal dengan persentase 32,4%. Penelitian yang meneliti ketidakseimbangan potassium darah pada pasien tetanus belum banyak ditemukan. Penelitian oleh Zhao et al (2022) menyebutkan bahwa kadar potassium atau kalium darah lebih rendah pada pasien tetanus atau dapat disebut dengan hipokalemia. Namun penelitian ini belum menyebutkan adanya hubungan yang signifikan antara kadar kalium dengan mortalitas pasien tetanus. Sejalan dengan penelitian Haloway et al (1970) yang menemukan adanya hipokalemia pada 30 pasien tetanus dan adanya kalium yang tinggi pada urin yang mengindikasikan adanya kehilangan kalium oleh ginjal. Namun dalam penelitian ini belum menyebutkan korelasi langsung antara kalium dengan mortalitas pasien tetanus (Haloway et al., 1970). Meskipun demikian, adanya hyponatremia dan hipokalemia pada pasien tetanus harus dimonitoring dengan ketat guna mencegah komplikasi dan memperbaiki outcome pasien.
Toksin dalam pasien tetanus dapat mengganggu system saraf pusat yang mengendalikan kontaksi otot. Pasien tetanus dapat mengalami kejang otot yang kuat dan berkepanjangan dan dapat menguras elektrolit dalam tubuh. Selama periode kejang, tubuh dapat melepaskan ion-ion seperti Kalsium, Natrium, dan Kalium dari sel-sel otot. Adanya ketidakseimbangan elektrolit pada pasien tetanus dapat menyebabkan kelemahan otot dan masalah pada fungsi jantung maupun otak. Pasien tetanus mungkin mengalami ketidakseimbangan elektrolit diakibatkan oleh menurunkan intake oral, insensible fluid loses, dan efek dari neurotoksin tetanus (Hassel, 2013).
Faktor yang Mempengaruhi Mortalitas Pasien Tetanus
Usia
Usia responden dalam penelitian ini sebagian besar berada dalam kategori elderly dengan perbandingan 1:1 antara angka pasien membaik dan meninggal. Hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan proporsi yang signifikan antar kelompok usia terhadap mortalitas responden. Berbeda dengan penelitian oleh Khan et al (2022) yang menunjukkan bahwa usia merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi mortalitas pasien tetanus di Bangladesh dengan angka p= 0.039. Penelitian ini menemukan responden dengan usia >40 tahun mempunyai kemungkinan 4,03 kali lebih besar untuk meninggal akibat tetanus dibandingkan responden dengan usia <40 tahun. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa tingginya angka mortalitas pada pasien usia lebih tua dikaitkan dengan rendahnya vaksninasi (Khan et al., 2022). Di sisi lain, penelitian oleh Kyu et al (2017) menyebutkan bahwa berdasarkan data registrasi vital Global Burden Disease 2015 penyakit tetanus paling banyak ditemui pada neonates dengan angka mortalitas 90% pada neonates. Hal ini disebabkan oleh rendahnya angka antenatal care, rendahnya aksesibilitas vaksin, dan sanitasi saat melahirkan (Kyu et al., 2017). Hasil yang tidak signifikan dalam penelitian ini dimungkinkan karena banyaknya data yang kurang atau tidak ditemukan dalam rekam medis pasien sehingga dapat mempengaruhi hasil analisis mortalitas pasien tetanus berdasarkan usia mereka.
Jenis kelamin
Responden dalam penelitian sebagian besar merupakan laki-laki dengan angka mortalitas 41,4%. Angka mortalitas pada perempuan dalam penelitian adalah 66,7%. Namun hasil uji analisis statistik tidak menunjukkan perbedaaan proporsi yang signifikan pada angka mortalitas responden berdasarkan jenis kelamin (p= 0,379). Sejalan dengan penelitian oleh Belay et al (2022) yang mengemukakan bahwa perempuan di Afrika Timur dikaitkan dengan maternal care yang rendah serta pengetahuan yang rendah mengenai pentingnya vaksinasi TT bagi perempuan. Hal ini menurunkan angka proteksi bagi mereka dan. Namun, mortalitas akibat tetanus tidak secara significan ditemukan meningkat pada perempuan dengan tetanus (Belay et al., 2022). Penelitian oleh Aaby et al (2016) yang menemukan bahwa angka kematian akibat tetanus pada perempuan lebih tinggi dibandingkan angka kematian akibat tetanus pada laki-laki. Kematian akibat tetanus pada perempuan ini dipengaruhi oleh dampak non-spesifik vaksinasi DPT terhadap anak balita. Penelitian ini merekomendasikan untuk melakukan penyidikan lebih lanjut dalam memahami potensi dampak non-spesifik dari vaksinasi DPT terhadap angka kematian batita khususnya perempuan (Aaby et al., 2016).
Pekerjaan
Responden dalam penelitian ini memiliki pekerjaan yang beragam. Pekerjaan paling banyak yakni wiraswasta dengan persentase mortalitas 62,5%. Hasil statistic menunjukkan hasil yang tidak signifikan antara pekerjaan dengan mortalitas pasien tetanus (p= 0,163). Penelitian mengenai hubungan antara pekerjaan dengan mortalitas pasien tetanus belum banyak dilakukan baik di Luar Negeri maupun di Indonesia sendiri. Namun diketahui bahwa kematian akibat tetanus disebabkan oleh ketersediaan sumber daya bagi individu. Hal ini mungkin terkait dengan pekerjaan seseorang yang dapat mempengaruhi aksesibilitas seseorang terhadap sumber daya yang diperlukan dalam menangani gejala tetanus (Bae & Bouget, 2023).
Gejala penyakit
Gejala tetanus yang paling sering muncul pada responden dalam penelitian ini yaitu trismus (59,4%) dan abdominal spasm (35,1%) dengan angka mortalitas masing-masing 54,5% dan 53,8%. Mortalitas pada pasien tetanus dalam penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap gejala yang ditimbulkan oleh responden. Trismus atau dikenal sebagai “lockjaw” dimana otot rahang menjadi kaku dan sulit dibuka dan kejang perut merupakan gejala umum tetanus dan berhubungan dengan angka kematian pada pasien tetanus. Gejala ini ditimbulkan oleh penyebaran toksin tetanys ke seluruh system saraf sehingga menyebabkan kekakuan otot dan kejang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Almas et al (2021) di Pakistan yang menemukan bahwa pasien tetanus menunjukkan adanya trismus 92,5% dan dikaitkan dengan angka kematian yang lebih tinggi. Sementara 70% pasien tetanus menunjukkan adanya kejang perut dan juga dikaitkan dengan angka kematian yang lebih tinggi. Penelitian ini menyebutkan bahwa adanya kejang perut merupakan tanda penyakit parah dan berhubungan dengan lamanya rawat inap di rumah sakit. Namun, dalam penelitian ini belum menemukan adanya hubungan yang signifikan dan ditunjukkan dengan hasil analisis statistik (Almas et al., 2021). Di sisi lain, penelitian yang dilakukan di Britania menyatakan bahwa demam merupakan salah satu gejala tetanus yang merupakan indikasi prognosis buruk dan cenderung meningkatkan kematian pada pasien tetanus. Pada 53 responden yang terserang tetanus, 73% mempunyai gejala demam ? 400 dan menunjukkan hasil yang signifikan terhadap angka kematian responden (p= 0,006) (Saltoglu et al., 2004).
Onset
Responden dalam penelitian ini 45% mempunyai onset kurang dari tujuh hari dengan persentase membaik 58,8% dan meninggal 41,2%. Persentase meninggal pada responden dengan onset lebih dari tujuh hari lebih besar yakni 50%. Namun hasill uji statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan proporsi yang signifikan dalam hal ini. Bertolak belakang dengan penelitian ini, beberapa penelitian menunjukkan bahwa onset yang lebih pendek berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk. Penelitian oleh Onwuchekwa et al (2009) dan Owolabi et al (2011) menemukan bahwa onset kurang atau sama dengan delapan hari menunjukkan prognosis yang buruk dan angka kematian yang tinggi. Timbulnya trismus dan kejang umum kurang dari delapan hari sejak paparan menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi. Hal ini dikaitkan dengan kejang yang berkepanjangan dan parah serta cenderung menimbulkan komplikasi pada kardiovaskuler (Sangwe et al., 2023). Perbedaan hasil temuan dalam penelitian ini dapat dimungkinkan karena adanya penanganan yang lebih baik termasuk benar diagnosis, ketersediaan akses yang lebih baik, dan respon tenaga medis dibandingkan dengan tempat penelitian yang dilaksanakan di Nigeria, Uganda, dann Tanzania.
Alergi
Tetanus merupakan penyakit yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mencatat bahwa sekitar 11% orang pasien tetanus mengalami kematian setiap tahunnya (Tiwari, et al., 2021). Pasien tetanus perlu mendapatkan perawatan dengan pemberian antibiotik untuk mengurangi resiko kematian. Namun, penggunaan antibiotik juga perlu diperhatikan, karena beberapa orang memiliki alergi terhadap antibiotik tertentu. Berdasarkan data responden dari penelitian ini, 2 dari 35 responden meninggal akibat meninggal dan memiliki alergi terhadap penicillin. Sejauh ini belum ada penelitian yang memberikan informasi yang spesifik terkait jumlah pasien tetanus yang meninggal akibat alergi terhadap penicillin. Pasien yang memiliki alergi terhadap penicillin dapat diatasi dengan mengggunakan alternatif antibiotik untuk tetanus, seperti metronidazole, erythromycin, tetracycline, vancomycin, clindamycin, doxycycline, dan chloramphenicol (Farrar & Newton. (2000); Stevens et al., (2014)).
Derajat tetanus
Penelitian ini menunjukkan responden pasien tetanus memiliki derajat keparahan yang beragam, mayoritas responden berada dalam grade 4 atau derajat 4 (59,4%). Responden dengan derajat tetanus 4 memiliki angka kematian sebanding dengan angka kesembuhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat tenanus dengan mortalitas pasien (p= 0,605). Skala penilaian tetanus telah dikembangkan untuk menilai tingkat keparahan tetanus dan menentukan prognosis. Penelitian oleh Bae & Bourget (2023) menemukan bahwa ada korelasi yang signifikan antara derajat keparahan tetanus dengan angka kematian pasien dimana angka kematian berkurang daru 70% menjadi 23% dengan penatalaksanaan yang tepat. Tingkat kematian pasien tetanus bervariasi berdasarkan ketersediaan sumber daya, terutama kepatenan jalan napas, pemantauan tekanan darah invansif, dan pengobatan sedini mungkin (Bae & Bourget, 2023).
Tekanan darah
Tekanan darah responden dalam penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berada dalam kategori normal (48,6%). Namun angka mortalitas ditemukan lebih besar pada kelompok responden dengan tekanan darah yang tidak normal yakni 78,6%. Tekanan darah yang tidak normal pada responden terbukti signifikan mempengaruhi mortalitas pada responden dalam penelitian (p= 0,002). Hasil ini sejalan dengan penelitian Sangwe et al (2023) yang menemukan adanya korelasi yang signifikan antara tekanan darah yang tidak normal dengan mortalitas pasien tetanus (Sangwe et al., 2023). Penelitian oleh Wasay et al (2005) menemukan bahwa adanya ANS (Abnormal Nerves System) berkaitan dengan angka kejadian mortalitas yang tinggi pada pasien tetanus. ANS ini dapat didefinisikan sebagai adanya hipertensi, hipotensi, sinus takikardia, takiaritmia atau bradikardia pada EKG yang persisten dan labil. Disfungsi saraf autonom yang disebabkan oleh tetanus dapat menyebabkan tekanan darah yang tidak normal dan akan mengakibatkan timbulnya komplikasi seperti disritmia atau cardiac arrest yang fatal (Wasay et al., 2005).
Nadi
Responden dalam penelitian mayoritas termasuk dalam kelompok nadi yang normal (67,5%). Denyut nadi tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap mortalitas pasien tetanus dalam penelitian ini (p= 0,064). Bertolak belakang dengan hasil penelitian di Cameroon yang menyatakan bahwa adanya nadi yang tidak normal merupakan salah satu tanda prognosis yang buruk dan meningkatkan angka kematian (Sangwe et al., 2023). Nadi yang tidak normal pada pasien tetanus dapat dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti adanya kejang otot yang mengendalikan jantung sehingga dapat mengganggu ritme dan menyebabkan nadi tidak teratur, penyumbatan saraf akibat toksin tetanus, gangguan pernapasan sehingga menurunkan pasokan oksigen dalam tubuh dan menganggu irama jantung (Collins et al., 2015). Sayangnya penelitian yang meneliti langsung hubungan dan pengaruh antara nadi dengan kejadian kematian pasien tetanus belum banyak dilakukan.
Trombosit
Trombosit merupakan sel darah yang berperan dalam proses pembekuan darah dan luka. Dalam kasus tetanus, jumlah trombosit yang berkurang rendah, atau disebut Trombositopenia, merupakan prognosis yang buruk pada pasien (Mayer et al., 2002). Kasus ini merupakan hal yang umum terjadi pada pasien tetanus. Tetanus toxoid diduga mencegah pembentukan sel trombosit, sehingga proses pembekuan darah dan penyembuhan luka menjadi terhambat (Jinna & Khandar, 2023). Namun korelasi antara jumlah trombosit dengan mortalitas pada pasien tetanus belum ditemukan, penelitian lebih lanjut masih diperlukan. Pada penelitian ini korelasi antara angka trombosit dan mortalitas pada pasien tetanus tidak signifikan (p= 0.088). Data responden menunjukkan 24 responden memiliki jumlah trombosit yang normal, namun dalam keadaan ini 9 dinyatakan meninggal dan sisanya membaik. Sebaliknya, 10 responden memiliki Riwayat jumlah trombosit yang tidak normal, 7 diantaranya meninggal dan sisanya membaik.
Klasifikasi tetanus
Pada penelitian ini, klasifikasi tetanus menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dengan mortalitas. Berbeda dengan penelitian oleh Bae & Bourget (2023) yang menyatakan bahwa klasifikasi tetanus berkorelasi positif dengan tingkat mortalitas. Bae & Bourget (2023), mengklasifikasikan tetanus dengan mortalitas sebagai berikut, (1) 0-1, mortalitas kurang dari 10%; (2) 2-3, mortalitas berkisar di antara 10-20%; (3) 4, mortalitas berkisar di antara 20-40%; dan (4) 5, mortalitas lebih dari 50%. Pada penelitian ini, responden dikelompokkan menjadi dua kelompok, tetanus dengan klasifikasi 1-3 sebanyak 21 responden dan 4-5 sebanyak 14 responden (p=0.223). Pasien dengan klasifikasi tetanus 1-3, tercatat sebanyak 8 responden meninggal dan sisanya membaik, begitu juga dengan pasien dengan dengan klasifikasi tetanus 4-5, tercatat sebanyak 8 responden meninggal dan sisanya membaik.
Kreatinin
Responden dalam penelitian sebagian besar mempunyai nilai kreatinin yang normal dengan angka mortalitas 53,8%. Hasil uji statistik tidak menujukkan adanya hubungan yang signifikan antara nilai kreatinin dengan angka kematian responden (p= 0,238). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Bangladesh oleh Khan et al (2022), yang menyatakan bahwa mortalitas responden tetanus tidak menunjukkan perbedaan proporsi yang signifikan antara kadar kreatinin normal dan kreatinin tidak normal (Khan et al., 2022). Penelitian oleh … menyatakan bahwa tetanus dapat menyebabkan rhabdomyolysis atau rusaknya jaringan toto yang menyebabkan keluarnya kandungan serat otot ke dalam aliran darah, termasuk Creatine Phosphate (CPK) dan mioglobin. Penelitian ini menemukan bahwwa peningkatan kreatinin serum untuk sementara dikaitkan dengan peningkatan mioglobin plasma pada pasien tetanus. Penelitian ini juga menemukan bahwa tetanus dengan komplikasi gagal ginjal memiliki prognosis yang buruk. Namun, dalam penelitian ini belum meneliti langsung hubungan kreatinin dengan angka kematian pada pasien tetanus (Weiss et al., 2010).
Komplikasi
Penelitian ini menemukan berbagai komplikasi pada responden tetanus antara lain gagal napas, bronkopneumonia, kardiomegali, dan syok sepsis. Komplikasi yang paling banyak ditemui pada responden yakni bronkopneumonia diikuti komplikasi syok napas dengan persentase masing-masing 35,1% dan 18,9%. Dalam penelitian ini kedua komplikasi tersebut menujukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap angka mortalitas (p= 0,024; 0,007). Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Bae & Bourget (2023) yang menyebutkan bahwa gagal napas terbukti signifikan meningkatkan mortalitas pada pasien tetanus. Sementara itu, bronkopneumonia merupakan salah satu tipe pneumonia yang menyerang bronkus dan bronkeolus. Bronkopneumonia dapat menjadi komplikasi tetanus dan menyebabkan gagal napas dimana gagal napas merupakan penyebab yang paling banyak pada kematian akibat tetanus (Bae & Bourget, 2023). Komplikasi pada pasien tetanus berhubungan dengan angka kematian yang lebih tinggi. Komplikasi tetanus yang paling umum termasuk gagal napas, laringospasme, patah tulang, emboli paru, pneumonia aspirasi, dan kesulitan bernapas. Komplikasi lain seperti infeksi nosokomial, dekubitus, stenosis trakea, dan gastrointestinal bleeding sering disebabkan oleh imobilitas yang berkepanjangan dan perawatan intensif (Khan et al., 2022, Saltoglu et al., 2004).
Tanda encepalopati
Ditemukan adanya encepalopati pada dua responden dalam penelitian ini yaitu masing-masing koma dan somnole. Kedua responden yang mengalami tanda ecepalopati menunjukkan perbaikan. Adanya tanda encepalopati dalam penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan terhadap mortalitas pasien tetanus. Encepalopati merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada tetanus pasien yang ditandai dengan adanya penurunan status mental, konfusi, dan gejala neurologis lain. Penelitian oleh Sangwe et al (2023) menyatakan bahwa pasien dengan penurunan status kesadaran menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi. Namun dalam penelitian Sangwe et al (2023) tidak menemukan secara langung hubungan yang signifikan antara tanda encepalopati dengan mortalitas pasien. Sangwe et al (2023) menjelaskan bahwa adanya penurunan kesadaran disebabkan oleh penanganan yang lambat dan kontaminasi port d entry yang parah (Sangwe et al., 2023).
ICU
Sepuluh dari total responden dalam penelitian ini dirawat di ICU untuk pengawasan yang lebih intensif. Responden yang dirawat ICU mempunyai angka kematian yang lebih tinggi, namun ICU tidak menunjukkan perbedaan proporsi yang signifikan terhadap mortalitas pasien (p= 0,243). Penelitian oleh Karnad & Gupta (2021) menemukan bahwa penggunaan perawatan intensif berkaitan dengan tingkat kematian yang lebih luas berkisar antara 5% hingga 50% (Karnad & Gupta, 2021). Disisi lain, penelitian oleh Olum et al (2021) dengan 268 responden pasien tetanus menemukan bahwa adanya perawatan intensif di ICU meningkatkan angka kesembuhan pasien dan menurunkan angka mortalitas pada pasien tetanus baik neonatal, anak-anak, dan dewasa. Dalam penelitian ini, semua pasien tetanus dirawat di ICU untuk mendapatkan perawatan intensif (Olum et al., 2021). Perawatan ICU merupakan perawatan yang diberikan kepada pasien dengan keadaan kritis dan diharapkan dapat memberikan outcome yang lebih baik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyintas ICU mungkin memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum. Outcome penting dari pasien kritis perlu untuk dievaluasi termasuk dalam kualitas hidup, fungsional pasien, kognitif, dan psikologis pasien (Gaudry et al., 2017).
NGT
Penggunaan NGT pada responden tetanus dalam penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap angka mortalitas responden (p= 0,636). Dua puluh Sembilan koma tujuh responden dalam penelitian ini memerlukan bantuan NGT untuk nutrisi mereka. Penelitian mengenai hubungan penggunaan NGT dengan mortalitas pasien tetanus belum diteliti secara luas. Penelitian oleh Karnad & Gupta (2021) menyebuutkan bahwa perawatan intensif termasuk penggunaan bantuan nutrisi berupa NGT dapat meningkatkan angka mortalitas pasien tetanus. Karnad & Gupta (2021) menyatakan bahwa pemberian nutrisi enteral atau NGT pada pasien tetanus harus diberikan sedini mungkin karena kebutuhkan kalori pasien akan meningkat sejalan dengan aktivitas otot yang berlebih dan kejang terus-menerus. Penggunaan ptoton inhibitor atau reseptor antagonis histamin-2 dapat mencegah tukak stress dan heparin dengan berat molekul rendah untuk mencegah thrombosis vena dalam (Karnad & Gupta, 2021).
Ventilator
Penggunaan ventilator pada responden dalam penelitian ini terbilang rendah dengan persentase 18,9%. Penggunaan ventilator tidak menunjukkan perbedaan proporsi yang signifikan terhadap mortalitas pasien (p= 0,135). Penggunaan ventilator dapat mencegah gagal napas yang merupakan penyebab utama dari kematian akibat tetanus. Namun penelitian yang meneliti secara langsung pengaruh penggunaan ventilator terhadap kematian pasien tetanus belum banyak dilakukan. Sebuah penelitian di Jepang menemukan bahwa sebagian besar pasien tetanus memerlukan intubasi trakea, vantilasi mekanik, atau trakeostomi. Meskipun angka kematian rendah, pasien memerlukan perawatan intensif dalam jangka waktu lama dan menghindari komplikasi yang lebih parah (Nakajima et al., 2018). Di sisi lain, penelitian oleh Mcelaney et al (2019) mengungkapkan bahwa penggunaan ventilator bagi pasien tetanus dapat membahayakan pasien. Hal ini dikarenakan kontraksi otot yang kuat dan kejang yang berhubungan dengan tetanus dapat menganggu fungsi ventilator sehingga menyebabkan ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat. Terlebih, penggunaan pelemas otot untuk mengendalikan kejang dapat semakin membahayakan status pernapasan pasien (Mcelaney et al., 2019).
Riwayat vaksin
Responden dalam penelitian ini 18,9% telah melakukan vaksin tetanus dan sisanya belum. Riwayat vaksin dalam penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan proporsi yang signifikan terhadap kematian pasien tetanus (p= 0,135). Ketersediaan vaksin tetanus yang murah dan efektif telah berkontribusi terhadap penurunan kasus kematian akibat tetanus. World Health Organization merekomendasikan setidaknya enam dosis vaksin mengandung toksoid tetanus untuk perlindungan seumur hidup. Penelitian oleh Li et al (2023) menemukan bahwa mortalitas akibat tetanus di dunia mengalami penurunan sebesar 87% dari tahun 1990 hingga 2019. Dan vaksinasi toksoid tetanus berperan secara signifikan dalam penurunan mortalitas ini (Li et al., 2023). Penelitian lain oleh Nayir et al (2020) mengungkapkan bahwa meluasnya cakupan vaksin tetanus di Turki berkontribusi nyata dalam penurunan angka kesakitan dan kematian akibat tetanus (Nayir et al., 2020).
Molaret
Responden dalam penelitian ini ditemukan berada dalam Molaret stage 2 sebanyak 54%. Skor molaret mempunyai hasil yang signifikan terhadap angka kematian pasien tetanus dalam penelitian in (p= 0,002). Molaret merupakan system penilaian klinis yang digunakan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan tetanus. Stadium dalam Molaret dibagi dari I hingga IV, stadium yang lebih tinggi menunjukkan keparahan penyakit yang lebih parah dan tingkat kematian yang lebih tinggi (Bae & Bourget, 2023). Dalam penelitian ini responden yang memilikki stadium molaret yang lebih tinggi menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi yakni 35% pada stadium 2 dan 33,3% pada stadium 3. Penelitian oleh Manga et al (2008) menemukan bahwa 64% pasien tetanus saat masuk rumah sakit termasuk stadium 3 Molaret dan berhasil diobati dengan suntikan baclofen intratekal berulang (Manga et al., 2008). Penelitian mengenai Molaret dengan angka mortalitas belum banyak dilakukan baik di Indonesia maupun Luar Negeri dibandingkan dengan Dakar Skor.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leukosit dengan mortalitas pasien tetanus, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara elektrolit (natrium dan kalium) dengan mortalitas pasien tetanus, faktor yang signifikan mempengaruhi mortalitas pasien tetanus yaitu tekanan darah, komplikasi gagal napas, komplikasi bronkopneumonia, dan Molaret Tetanus Stage.
DAFTAR PUSTAKA
Aaby, P., Ravn, H., Fisker, A. B., Rodrigues, A., & Benn, C. S. (2016). Is diphtheria-tetanus-pertussis (DTP) associated with increased female mortality? A meta-analysis testing the hypotheses of sex-differential non-specific effects of DTP vaccine. Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 110(10), 570-581
Almas, T., Niaz, M. A., Zaidi, S. M. J., Haroon, M., Khedro, T., Alsufyani, R., ... & Manamperi, K. (2021). The Spectrum of clinical characteristics and complications of tetanus: A retrospective cross-sectional study from a developing nation. Cureus, 13(6).
Bae C and Bourget D. (2023) Tetanus. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459217/
Belay, A. T., Fenta, S. M., Agegn, S. B., & Muluneh, M. W. (2022). Prevalence and risk factors associated with rural women’s protected against tetanus in East Africa: Evidence from demographic and health surveys of ten East African countries. Plos one, 17(3), e0265906.
Center for Disease Control (CDC). (2022, August 22). Tetanus: Causes and How It Spreads. Retrieved from Center for Disease Control (CDC). Website: https://www.cdc.gov/tetanus/about/causes-transmission
Clarissa Tertia, I Ketut Sumada and Ni Ketut Candra Wiratmi (2019) ‘Laporan Kasus: Tetanus Tipe General pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi’, Callosum Neurology, 2(3), pp. 9–10. Available at: https://doi.org/10.29342/cnj.v2i3.82.
Collins, S., White, J., Ramsay, M., & Amirthalingam, G. (2015). The importance of tetanus risk assessment during wound management. IDCases, 2(1), 3-5
Cook, T. M., Protheroe, R. T., & Handel, J. M. (2001). Tetanus: a review of the literature. British Journal of Anaesthesia, 87(3), 477-487.
Dalal, S., Samuelson, J., Reed, J., Yakubu, A., Ncube, B., & Baggaley, R. (2016). Tetanus disease and deaths in men reveal need for vaccination. Bulletin of the World Health Organization, 94(8), 613.
Endiana Dewi, M. et al. (2023) Manajemen Tetanus: Laporan Kasus, Nyoman Mupu Murtane | Manajemen Tetanus: Laporan Kasus Medula |.
Farrar, J., & Newton, C. (2000). Neurological aspects of tropical disease. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry, 68(2), 135-136.
Gaudry, S., Messika, J., Ricard, J. D., Guillo, S., Pasquet, B., Dubief, E., ... & Tubach, F. (2017). Patient-important outcomes in randomized controlled trials in critically ill patients: a systematic review. Annals of intensive care, 7(1), 1-11.
Hasnain, M.G. et al. (2018) ‘Managing severe tetanus without ventilation support in a resource-limited setting in Bangladesh’, American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 99(5), pp. 1234–1238. Available at: https://doi.org/10.4269/ajtmh.18-0180.
Hassan, A.A. et al. (2018) ‘Reference Values for Serum Electrolytes (Na +, K +, Ca ++) in Khartoum State’, Saudi Journal of Medical and Pharmaceutical Sciences. Available at: https://doi.org/10.36348/sjmps.2018.v04i07.005.
Hassel, B. (2013). Tetanus: pathophysiology, treatment, and the possibility of using botulinum toxin against tetanus-induced rigidity and spasms. Toxins, 5(1), 73-83.
Holloway, R. (1970). Fluid and electrolyte status in tetanus. The Lancet, 296(7686), 1278-1280.
Irawan, H.S. (2008) Penalaksanaan Tetanus Pada Anak 2008 Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Jinna S and Khandhar PB. (2023). Thrombocytopenia. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542208/
Karnad, D. R., & Gupta, V. (2021). Intensive care management of severe tetanus. Indian Journal of Critical Care Medicine: Peer-reviewed, Official Publication of Indian Society of Critical Care Medicine, 25(Suppl 2), S155.
Khan, M. A. S., Hasan, M. J., Rashid, M. U., Kha Sagar, S., Khan, S., Zaman, S., ... & Kakoly, N. S. (2022). Factors associated with in-hospital mortality of adult tetanus patients–a multicenter study from Bangladesh. PLOS Neglected Tropical Diseases, 16(3), e0010235
Khan, M.A.S. et al. (2022) ‘Factors associated with in-hospital mortality of adult tetanus patients–a multicenter study from Bangladesh’, PLoS Neglected Tropical Diseases, 16(3). Available at: https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0010235.
Khasanah, M.N., Harjoko, A. and Candradewi, I. (2016) ‘Klasifikasi Sel Darah Putih Berdasarkan Ciri Warna dan Bentuk dengan Metode K-Nearest Neighbor (K-NN)’, IJEIS, 6(2), pp. 151–162.
Krisnan, L. and Panigoro, R. (2015) Factors Affecting Mortality in Adult Tetanus Patients, Althea Medical Journal.
Kyu, H. H., Mumford, J. E., Stanaway, J. D., Barber, R. M., Hancock, J. R., Vos, T., ... & Naghavi, M. (2017). Mortality from tetanus between 1990 and 2015: findings from the global burden of disease study 2015. BMC Public Health, 17, 1-17.
Li, J. et al. (2023) ‘Global epidemiology and burden of tetanus from 1990 to 2019: A systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2019’, International Journal of Infectious Diseases, 132, pp. 118–126. Available at: https://doi.org/10.1016/j.ijid.2023.04.402.
Li, J., Liu, Z., Yu, C., Tan, K., Gui, S., Zhang, S., & Shen, Y. (2023). Global epidemiology and burden of tetanus from 1990 to 2019: A systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2019. International Journal of Infectious Diseases, 132, 118-126
Manga, N. M., Dia, N. M., Ndour, C. T., Diop, S. A., Fortes, L., Mbaye, M., ... & Sow, P. S. (2008). Tetanus in neonates and women of child-bearing age in the Dakar hospital infectious diseases unit. Medecine et Maladies Infectieuses, 39(12), 901-905.
Maryanti, Y. (2022) ‘Laporan Kasus: Diagnosis dan Tatalaksana Tetanus Generalisata’, Jurnal Ilmu Kedokteran (Journal of Medical Science), 16(2), p. 134. Available at: https://doi.org/10.26891/jik.v16i2.2022.134-138.
Mayer, S., Laumer, M., Mackensen, A., Andreesen, R., & Krause, S. W. (2001). Analysis of the Immune Response against Tetanus Toxoid: Enumeration of Specific T Helper Cells by the Elispot Assay. Immunobiology, 205(3), 282-289.
Mcelaney, P., Iyanaga, M., Monks, S., & Michelson, E. (2019). The quick and dirty: a tetanus case report. Clinical Practice and Cases in Emergency Medicine, 3(1), 55.
Nakajima, M., Aso, S., Matsui, H., Fushimi, K., & Yasunaga, H. (2018). Clinical features and outcomes of tetanus: analysis using a National Inpatient Database in Japan. Journal of Critical Care, 44, 388-391.
Novita, I. and Priambodo, D. (2015). Cephalic Tetanus A Rare Local Tetanus.
Olum, S., Eyul, J., Lukwiya, D. O., & Scolding, N. (2021). Tetanus in a rural low-income intensive care unit setting. Brain Communications, 3(1), fcab013.
Retnaningsih, R. et al. (2023) ‘The relationship tetanus severity with outcome clinic’, Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal), 12(3), pp. 112–118. Available at: https://doi.org/10.14710/dmj.v12i3.37672.
Rinawati, D. and Reza, M. (2016) Gambaran hitung jumlah dan jenis leukosit pada eks penderita kusta di rsk sitanala tangerang tahun 2015, Jurnal Medikes.
Sah, S. P., Khanal, S., Dahal, S., Shrestha, A., & Pradhan, B. (2022). Generalized tetanus in an elderly patient: A case report. Annals of Medicine and Surgery, 81, 104465.
Saltoglu, N., Tasova, Y. E. ?. ?. M., Midikli, D., Burgut, R., & Dündar, I. H. (2004). Prognostic factors affecting deaths from adult tetanus. Clinical Microbiology and Infection, 10(3), 229-233.
Saltoglu, N., Tasova, Y. E. ?. ?. M., Midikli, D., Burgut, R., & Dündar, I. H. (2004). Prognostic factors affecting deaths from adult tetanus. Clinical Microbiology and Infection, 10(3), 229-233.
Sangwe Clovis, N., Palle, J. N., Linwa, E. M. M., Ndung Ako, F., Tabe Benem-Orock, V., & Chichom Mefire, A. (2023). Factors associated with mortality in patients with tetanus in Cameroon. Science Progress, 106(1), 00368504221148933.
Stevens, D. L., Bisno, A. L., Chambers, H. F., Dellinger, E. P., Goldstein, E. J., Gorbach, S. L., Hirschman, J.V., Kaplan, S.L., Montoya, J.G., & Wade, J. C. (2014). Practice guidelines for the diagnosis and management of skin and soft tissue infections: 2014 update by the Infectious Diseases Society of America. Clinical infectious diseases, 59(2), e10-e52.
Suryaningsih, R. et al. (2017) ‘Economics Development Analysis Journal Analisis Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi terhadap Tingginya Mortalitas Penduduk’, Economics Development Analysis Journal, 6(4). Available at: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/edaj.
Tejaya, N., Desiprimayanti, M.M. and Ramli, R. (2023) ‘Generalized Tetanus in A Patient with Infected Sutured Wound: A Case Report’, AKSONA, 3, pp. 13–19. Available at: https://e-journal.unair.ac.id/index.php/aksona.
Thwaites, C. L., Yen, L. M., Glover, C., Tuan, P. Q., Nga, N. T. N., Parry, J., ... & Farrar, J. J. (2006). Predicting the clinical outcome of tetanus: the tetanus severity score. Tropical Medicine & International Health, 11(3), 279-287.
Tiwari, T.S.P., Moro, P.L., and Acosta, A.M. (2021). The 14th Edition of The Pink Book. Chapter 21: Tetanus. Centers for Disease Control and Prevention.
Van der Heiden, M., Duizendstra, A., Berbers, G. A., Boots, A. M., & Buisman, A. (2017). Tetanus Toxoid carrier protein induced T-helper cell responses upon vaccination of middle-aged adults. Vaccine, 35(42), 5581-5588.
Wasay, M., Khealani, B. A., Talati, N., Shamsi, R., Syed, N. A., & Salahuddin, N. (2005). Autonomic nervous system dysfunction predicts poor prognosis in patients with mild to moderate tetanus. BMC neurology, 5, 1-4.
Weiss, M. F., Badalamenti, J., & Fish, E. (2010). Tetanus as a cause of rhabdomyolysis and acute renal failure. Clinical nephrology, 73(1), 64.
World Health Organization. (2023). Tetanus. Retrieved from World Health Organization. Website: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tetanus
Zhao, J., Li, X., Sun, Q., Yang, L., Zhou, Z., & Liu, N. (2022). Predictive value of neutrophil-to-lymphocyte ratio in adult severe tetanus. Chinese Journal of Infectious Diseases, 411-414.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
Citation Check
License
Copyright (c) 2023 Muhammad Irfan Sulystyo Wibowo, Iin Novita Nurhidayati Mahmuda, Devi Usdiana Rosyidah, Iwan Setiawan (Author)

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License that allows others to share the work with an acknowledgment of the works authorship and initial publication in this journal and able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journals published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book).