Menginang Sirih dan Tradisi yang Hampir Hilang pada Masyarakat Banjar serta Perspektifnya dalam Kesehatan Gigi untuk Wujudkan Indonesia Bebas Karies 2030

Authors

  • Topan Sulaiman Asy’ari Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia
  • Riska Amelia Safitri Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia
  • Nur Shofa Fhadila Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia
  • Nidaul Jannah Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia
  • Chintana Aurel Hairin Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia
  • fauzie21@ulm.ac.id Universitas Lambung Mangkurat, Indonesia

Keywords:

Menginang sirih, Menyirih, Tradisi, Kesehatan gigi, Aspek budaya

Abstract

Introduction: Dental health problems in Indonesia are still relatively high. Based on the 2018 Riskesdas results, the prevalence of caries in Indonesia reached 57.6%. In South Kalimantan Province, 46.90% of the population suffers from dental caries. One of the factors thought to be related to the prevalence of dental caries is the habit of "Menginang Sirih" which is the culture of the Banjar people. Objective: This study aims to analyze the relationship between the tradition of menginang sirih with the incidence of dental caries and analyzing aspects of menginang culture in society. Method: This research uses a mixed method which combines quantitative methods with a case control approach to determine the relationship between the menginang tradition and dental health and qualitatively by conducting in-depth interviews to find out cultural reasons in society. Results: The research subjects were 46 respondents, consisting of 36 women and 10 men. It was found that there was no relationship between menginang habit, age, duration of menginang habit, frequency in a week, chewing time, materials used and brushing teeth with the incidence of dental caries (p-value = 0.375; 0.964; 0.083; 1.000; 1.000; 0.462; 0.739; 0.462). Based on the results of the analysis of cultural aspects, it is known that the menginang tradition usually occurs at sacred events such as weddings, which symbolizes the union of two souls. Conclusion: The menginang tradition can be preserved by continuing to pay attention to personal hygiene and regular dental check-ups.

PENDAHULUAN

Kesehatan gigi dan mulut berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang. Untuk menilai status kesehatan gigi dapat dilihat dari ada tidaknya penyakit gigi, salah satunya karies gigi. Karies gigi merupakan suatu penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan dimulai dari permukaan gigi dan meluas ke daerah pulpa (Marthinu dan Bidjuni, 2020). Angka masalah kesehatan gigi di Indonesia masih tergolong cukup tinggi. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi karies di Indonesia mencapai 57,6%. Sedangkan di Provinsi Kalimantan Selatan tercatat 46,90% penduduknya menderita karies gigi. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka prevalensi karies gigi ini yaitu faktor perilaku masyarakat yang dijadikan suatu budaya atau kebiasaan seperti tradisi menginang sirih (Unbanu dkk, 2019).

Menginang sirih merupakan istilah untuk menyebut kebiasaan mengunyah campuran bahan seperti sirih, pinang, kapur, gambir, dan tembakau. Selain kegiatan sehari-hari, menginang juga digunakan dalam acara penting seperti pernikahan dan upacara adat (Koesbardiati dan Murti, 2019). Menurut Sutana dkk (2021), penginang umumnya memiliki kesehatan mulut yang baik, gigi yang kuat, dan jarang berlubang serta tanggal, meskipun gigi mereka berwarna agak kekuningan atau kemerahan. Ini berkaitan dengan manfaat bahan-bahan yang digunakan untuk menginang. Daun sirih dan biji pinang, yang sering digunakan, memiliki sifat antiseptik alami yang dapat mencegah pertumbuhan kuman penyebab sakit gigi dan bau mulut berkat senyawa fitokimia di dalamnya. Selain itu, campuran endapan kapur dalam bahan menginang mengandung kalsium yang diyakini bermanfaat untuk kesehatan gigi dan tulang. Tembakau juga dapat digunakan sebagai obat luka karena mengandung alkoida, saponin, flavonoida, dan polifenol (Sutana dkk, 2021).

Kebiasaan menginang di Indonesia masih tetap dipertahankan sampai saat ini. Seperti di Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin dan di Desa Labuhan Kecamatan Batang Alai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah masih banyak masyarakatnya yang mempertahankan tradisi kebudayaan menginang sirih terutama pada penduduk yang tinggal di pinggiran pedesaan. Menurut data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menyebutkan bahwa di Kabupaten Tapin prevalensi karies gigi juga terbilang cukup tinggi yaitu sebesar 45,96% (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk menganalisis apakah ada pengaruh antara menginang terhadap kesehatan gigi terkhusus karies gigi di Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin dan Desa Lokpaikat Kecamatan Batang Alai Selatan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan mengingat bahwa tradisi menginang sudah ada sejak lama.

METODE

Penelitian ini menggunakan mix mehod yang menggabungkan metode kuantitatif dengan pendekatan case control dan kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam untuk mengetahui hubungan antara tradisi menginang dengan kesehatan gigi dan alasan budaya di masyarakat. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar lembar kuesioner untuk memperoleh data pengalaman menginang responden. Indeks DMF-T untuk memperoleh status karies gigi responden Kondisi tiap gigi dicatat pada kolom kuesioner kemudian dihitung jumlah gigi yang rusak (D), hilang karena karies (M) dan gigi yang ditambal (F). Pedoman wawancara untuk penelitian kualitatif dalam mengkaji alasan masyarakat melakukan menginang dilihat dari aspek budaya.

Penelitian ini dilakukan di Desa Labuhan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Sampel terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok menginang dan tanpa menginang, dengan jumlah total 50 orang (25 menginang dan 25 tidak menginang). Sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi, yakni laki-laki dan perempuan yang memiliki kebiasaan menginang dan tidak menginang, bersedia menjadi responden, dan berada di lokasi penelitian.

Variabel pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu Kajian Budaya dan Karies Gigi variabel terikat yaitu Kebiasaan Menginang Sirih. Populasi penelitian melibatkan masyarakat Kecamatan Lokpaikat, Kabupaten Tapin dan masyarakat Desa Labuhan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan kriteria inklusi.

Teknik Analisis Data

Analisis univariat . Analisis yang menjelaskan secara rinci karakteristik variabel yang diteliti. Analisis univariat ini berupa distribusi frekuensi dan presentasi antar variabel. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh antar dua variabel menggunakan uji chi square dengan derajat kepercayaan 95% (? = 0,05) dengan uji alternatif fisher exact test. Uji statistik dinyatakan bermakna jika p=value <0,05. Data dianalisis dengan menggunakan software statistik IBM SPSS versi 25.

HASIL

Variable
Usia, mean Usia (year ± sd) 57.26 ± 16.665
Jenis Kelamin, n (%)
Laki-laki 10 (21.9%)
Perempuan 36 (78.1%)
Kebiasaan Menginang
Ya 23 (50%)
Tidak 23 (50%)
Umur Mulai Menginang, Mean (Year ± sd) 29.65 ± 18.478
Anak-anak (5-11 tahun) 1 (4.3%)
Remaja (12-25 tahun) 12 (52.2%)
Dewasa (26-45 tahun) 5 (21.7%)
Lansia (>46 tahun) 5 (21.7%)
Berapa Lama Menginang
2-5 tahun 7 (30.4%)
6-10 tahun 0 (0%)
>10 tahun 16 (69.6%)
Kapan Menginang
7 kali/minggu 2 (8.7%)
3-6 kali/minggu 1 (4.3%)
>3 kali/minggu 11 (47.9%)
>7 kali/minggu 9 (39.1%)
Berapa Kali Sehari
<3 kali/hari 14 (60.9%)
3-5 kali/hari 4 (17.4%)
>5 kali/hari 5 (21.7%)
Berapa Waktu Mengunyah
<15 menit 4 (17.4%)
15-30 menit 17 (73.9%)
>30 menit 2 (8.7%)
Bahan Menginang
Kapur, pinang, tembakau, daun sirih, gambir 12 (52.2%)
Kapur, pinang, tembakau, daun sirih 1 (4.3%)
Kapur, pinang, daun sirih 2 (8.7%)
Lainnya 8 (34.8%)
Sikat Gigi
Ya 6 (26.1%)
Tidak 17 (73.9%)
Karies Gigi
Rendah 5 (10.9%)
Sedang 3 (6.5%)
Tinggi 38 (82.6%)
Table 1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa rata-rata usia responden adalah 57 tahun, sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 36 (78.1%) responden. Responden yang memiliki kebiasaan menginang sebanyak 23 (50%) responden dan yang tidak memiliki kebiasaan menginang sebanyak 23 (50%) responden. Dari 23 responden rata-rata usia mulai menginang adalah 30 tahun. Sebagian besar responden sudah menginang >10 tahun yaitu sebanyak 16 (69.6%) responden dan 7 (30.4%) responden sudah menginang selama rentang 2-5 tahun. Terdapat 11 (47.9%) responden yang menginang >3 kali/minggu dan 9 (39.1%) responden yang menginang >7 kali/minggu. Terdapat sebagian besar responden yang menginang <3 kali/hari yaitu sebanyak 14 (60.9%). Sebagian besar lama waktu yang diperlukan reponden untuk mengunyah selama 15-30 menit yaitu sebanyak 17 (73.9%) responden Bahan yang digunakan responden dalam menginang didominasi menggunakan kapur, pinang, tembakau, daun sirih dan gambir yaitu sebanyak 12 (52.2%). Sebagian responden tidak menyikat gigi setelah menginang yaitu sebanyak 17 (73%) responden. Adapun kategori karies gigi yang paling banyak adalah masuk dalam kategori tinggi yaitu sebanyak 38 (82.6%) responden.

Kebiasaan Menginang Karies Gigi Total p-value
Rendah Sedang Tinggi n %
n % n % n %
Ya 1 4.3 1 4.3 21 91.3 23 50 0,375
Tidak 4 17.4 2 8.7 17 73.9 23 50
Table 2. Hubungan Kebiasaan Menginang terhadap Karies Gigi

Hasil penelitian setelah dilakukan uji Fisher Exact mendapatkan nilai p sebesar 0, 375 sehingga nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan menginang sirih terhadap karies gigi.

Umur Mulai Menginang Karies Gigi Total p-value
Rendah Sedang Tinggi n %
n % n % n %
Anak-anak 0 0 0 0 1 100 1 4.3 0,964
Remaja 0 0 1 8.3 11 91.7 12 52.2
Dewasa 1 20 0 0 4 80 5 21.7
Lansia 0 0 0 0 5 100 5 21.7
Table 3. Hubungan Umur Mulai Menginang terhadap Karies Gigi

Hasil penelitian setelah dilakukan uji Fisher Exact mendapatkan nilai p sebesar 0,964 sehingga nilai p > 0,05. Be yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara umur mulai menginang sirih terhadap karies gigi.

Lama Menginang Karies Gigi Total p-value
Rendah Sedang Tinggi n %
n % n % n %
2-5 tahun 1 14.3 1 14.3 5 71.4 7 30.4 0,083
6-10 tahun 0 0 0 0 0 0 0 0
>10 tahun 0 0 0 0 16 100 16 69.6
Table 4. Hubungan Lama Menginang terhadap Karies Gigi

Hasil penelitian setelah dilakukan uji Fisher Exact mendapatkan nilai p sebesar 0,083 sehingga nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara lama menginang terhadap karies gigi. Hubungan Lama Menginang terhadap Karies Gigi.

Kapan Menginang Karies Gigi Total p-value
Rendah Sedang Tinggi n %
n % n % n %
7 kali/ minggu 0 0 0 0 2 100 2 8.7 1,000
3-6 kali/ minggu 0 0 0 0 1 100 1 4.3
>3 kali/ minggu 1 9.1 1 9.1 9 81.8 11 47.8
>7 kali/ minggu 0 0 0 0 9 100 9 39.1
Table 5. Hubungan Frekuensi Menginang dalam Seminggu terhadap Karies

Hasil penelitian setelah dilakukan uji Fisher Exact mendapatkan nilai p sebesar 1,000 sehingga nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kapan menginang terhadap karies gigi.

FrekuensiMenginang Karies Gigi Total p-value
Rendah Sedang Tinggi n %
n % n % n %
<3 kali/ hari 1 7.1 1 7.1 12 85.7 14 60.9 1,000
3-5 kali/ hari 0 0 0 0 4 100 4 17.4
>5 kali/ hari 0 0 0 0 5 100 5 21.7
Table 6. Hubungan Frekuensi Menginang dalam Sehari terhadap Karies Gigi

Hasil penelitian setelah dilakukan uji Fisher Exact mendapatkan nilai p sebesar 1,000 sehingga nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara frekuensi menginang dalam sehari terhadap karies gigi.

Lama Mengunyah Karies Gigi Total p-value
Rendah Sedang Tinggi n %
n % N % n %
<15 menit 1 25 0 0 3 75 4 17.4 0,462
15-30 menit 0 0 1 5.9 16 94.1 17 69.6
>30 menit 0 0 0 0 2 100 2 8.7
Table 7. Hubungan Lama Waktu Mengunyah Bahan Menginang terhadap Karies Gigi

Hasil penelitian setelah dilakukan uji Fisher Exact mendapatkan nilai p sebesar 0,462 sehingga nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara lama mengunyah terhadap karies gigi.

Bahan Menginang Karies Gigi Total p-value
Rendah Sedang Tinggi n %
n % n % n %
Kapur, pinang, tembakau, daun sirih, gambir 8.3 0 0 0 11 91.7 12 52.2 0,739
Kapur, pinang, tembakau, daun sirih 0 0 0 0 1 100 1 4.3
Kapur, pinang, daun sirih 0 0 0 0 2 81.8 2 8.7
Lainnya 0 0 1 12.5 7 87.5 8 34.8
Table 8. Hubungan Bahan yang Digunakan untuk Menginang terhadap Karies Gigi

Hasil penelitian setelah dilakukan uji Fisher Exact mendapatkan nilai p sebesar 0,739 sehingga nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara bahan menginang terhadap karies gigi.

Sikat Gigi Karies Gigi Total p-value
Rendah Sedang Tinggi n %
n % n % n %
Ya 1 16.7 0 0 5 83.3 6 26.1 0,462
Tidak 0 0 1 5.9 16 94.1 17 73.9
Table 9. Hubungan Kebiasaan Sikat Gigi Setelah Menginang terhadap Karies Gigi

Hasil penelitian setelah dilakukan uji Fisher Exact mendapatkan nilai p sebesar 0,462 sehingga nilai p > 0,05 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan sikat gigi setelah menginang terhadap karies gigi.

PEMBAHASAN

Menginang merupakan salah satu tradisi masyarakat dahulu dalam menjaga kesehatan gigi. Pada zaman dahulu produksi pasta gigi masih sangat sedikit yang beredar di kalangan masyarakat. Sehingga, banyak masyarakat tradisional yang memilih untuk meracik bahan-bahan tradisional untuk menjaga kesehatan gigi. Cara-cara tersebutlah yang akhirnya menjadi suatu tradisi. Salah satu tradisi masyarakat zaman dulu untuk menjaga kesehatan gigi yaitu dengan tradisi menginang sirih (Novianti dan Khusnianti, 2022).

Berdasarkan wawancara dengan informan 1 selaku Tokoh Adat yang berusia 56 tahun, dijelaskan bahwa tradisi menginang sirih terutama terjadi dalam acara sakral seperti pernikahan, yang melambangkan penyatuan dua jiwa. Namun, saat ini tradisi ini hampir punah tersisa 2-3% karena dianggap kuno oleh generasi muda. Tradisi menginang sudah ada sejak nenek moyang dan memiliki arti penting dalam pembicaraan dan budaya. Tradisi ini bahkan ada sebelum zaman Belanda dan masih dijaga di daerah Labuhan melalui tradisi menginang pada acara pernikahan. Informan 1 berpendapat bahwa tradisi menginang memiliki nilai positif, seperti manfaat untuk kesehatan gigi dan mencegah diabetes sehingga tradisi ini harus dilestarikan. Namun, tradisi ini kurang mendapat perhatian dari anak muda karena kurangnya sosialisasi. Informan 1 juga merasa bahwa tradisi menginang tidak terpublikasi ke pemerintah sehingga terabaikan. Padahal harusnya lewat pemerintah dapat bekerjasama dengan pihak kesehatan.

Berdasarkan wawancara dengan informan 2 yang berusia 88 tahun dan sudah lama menginang sirih, menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan bagian dari pergaulan masyarakat, terutama saat mereka berkumpul sebelum pergi ke kebun. Beliau mengikuti kebiaasan ini dimulai karena mengikuti orang tuanya. Tradisi ini telah dilakukannya sejak usia 16 tahun dan masih menjalankannya hingga sekarang. Menurut informan 2, saat tidak menginang membuat air liurnya asam dan tubuhnya merasa sakit, jadi beliau lebih memilih menginang daripada tidak makan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa menginang dapat menimbulkan rasa ketagihan pada seseorang. Dirinya merasa menginang dapat membuat gigi menjadi lebih kuat dan tubuh menjadi lebih bugar. Menginang membuat gigi kuat dan tubuh sehat serta menganggapnya sebagai alternatif yang lebih baik daripada merokok. Oleh karena itu, tradisi menginang perlu dilestarikan oleh semua generasi.

Berdasarkan wawancara dengan informan 3, berusia 67 tahun. Beliau merupakan salah satu penduduk lansia yang tidak menginang. Menurutnya, tradisi menginang sirih termasuk cara pergaulan di masyarakat dan terjadi secara turun temurun. Beliau mengatakan bahwa beliau pernah tertarik untuk melakukannya di masa muda. Namun, sekarang tidak dikarenakan sudah tua. Informan 3 berpendapat bahwa tradisi menginang sirih mempunyai arti tersendiri dalam budaya misalnya dalam menyambut tamu. Tradisi menginang sirih boleh dilakukan oleh anak-anak dan perlu untuk dilestarikan.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan bersama informan 4, berusia 53 tahun yang tidak menginang, mengatakan bahwa menginang adalah tradisi yang dapat menguatkan gigi. Meskipun tidak melakukannya, beliau tertarik karena menginang berhubungan dengan kesehatan gigi. Beberapa keluarganya masih menginang, seperti ibunya. Menginang juga menjadi bagian dari pergaulan dalam acara keluarga, dan anak-anak dapat mengikuti tradisi ini jika mereka mau. Informan 4 menganggap penting dalam melestarikan tradisi menginang sebagai warisan nenek moyang agar tidak punah, bukan sekadar kebudayaan biasa.

Sejumlah riset telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh menginang sirih terhadap kesehatan rongga mulut, baik terhadap karies maupun kebersihan gigi dan mulut. Karies atau lubang gigi adalah suatu proses demineralisasi yang mengakibatkan kerusakan pada gigi di rongga mulut di mana terdapat keterlibatan plak yang menempel dalam jangka waktu yang lama. Plak merupakan kumpulan bakteri dan sisa makanan terutama yang mengandung karbohidrat lalu terakumulasi dan menempel di permukaan gigi sehingga menyebabkan karies (Afifah dkk, 2022). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa lubang gigi atau karies gigi merupakan salah satu masalah gigi dan mulut yang paling cukup penting di berbagai negara. Dalam penelitian ini status karies gigi menurut WHO dikategorikan dalam 3 kelompok yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kategori rendah jika jumlah karies gigi berjumlah 0-2 gigi. Kategori sedang jika jumlah karies gigi berjumlah 3-4 gigi, dan kategori tinggi jika jumlah karies gigi berjumlah lebih dari 4 gigi.

Berdasarkan tabel 2, bahwa dari 46 responden, terdapat sebanyak 23 responden yang menginang dan 23 responden yang tidak menginang. Dari 23 responden yang menginang terdapat 21 (91.3%) responden dengan karies gigi kategori tinggi. Sedangkan pada 23 responden yang tidak menginang terdapat 17 (73.9%) responden dengan karies gigi kategori tinggi. Selanjutnya dilakukan uji fisher exact antara variabel kebiasaan menginang sirih dengan karies gigi dan diperoleh nilai p sebesar 0.375. Nilai ini lebih besar dari 0.05. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara antara variabel kebiasaan menginang dengan karies gigi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Aritonang dkk (2019) bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan menginang dengan kejadian karies gigi.

Berdasarkan tabel 3, terlihat dari 23 responden yang menginang sebagian besar 12 (52.2%) mulai menginang di usia remaja yaitu pada rentang usia 12-25 tahun dengan kategori karies sebanyak 11 (91.7%) responden kategori tinggi dan 1 (8.3%) responden kategori sedang. Sebagian besar penginang mulai menginang di usia 15-20 tahun, hal ini karena tradisi turun temurun oleh orang tuanya sehingga sulit untuk mengubah kebiasaan yang sudah berpuluh-puluh tahun (suprayitno, 2021). Selanjutnya dilakukan uji Fisher Exact antara variabel kebiasaan menginang sirih dengan karies gigi diperoleh nilai p sebesar 0.964. Nilai ini lebih besar dari 0.05. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara antara umur mulai menginang dengan karies gigi.

Dari hasil penelitian pada tabel 4, dari 23 responden yang menginang terdapat 16 (69.6%) responden yang menginang >10 tahun yang mana semua responden (100%) termasuk kedalam karies gigi kategori tinggi. Setelah dilakukan uji Fisher Exact didapatkan nilai p sebesar 0.083. Nilai ini lebih besar dari 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara lama menginang terhadap karies gigi. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Aritonang dkk (2019) bahwa terdapat hubungan antara frekuensi menginang dalam sehari terhadap status kesehatan periodontal (p=0,000).

Dari hasil penelitian pada tabel 5, pada 23 responden yang menginang terdapat 11 (47.8%) responden yang menginang >3 kali/minggu dan terdapat 9 (39.1%) responden yang menginang >7 kali/minggu. Dari kedua frekuensi tersebut terdapat 9 (81.8%) responden dan 9 (100%) responden termasuk kategori karies gigi tinggi. Setelah dilakukan uji Fisher Exact didapatkan nilai p sebesar 1,000. Nilai ini lebih besar dari 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara frekuensi menginang dalam seminggu terhadap karies gigi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatlolana dkk (2013) bahwa terdapat hubungan antara frekuensi menginang dalam seminggu terhadap status kesehatan periodontal (p=0,205).

Dari hasil penelitian pada tabel 6, dari 23 responden yang menginang terdapat 14 (60.9%) responden yang menginang <3 kali/hari, 4 (17.4%) responden yang menginang 3-5 kali/hari dan 5 (21.7%) responden menginang >5 kali/hari. Penginang tidak mengenal waktu, kegiatan menginang tersebut dapat dilakukan pada pagi, siang, sore bahkan malam hari. Setelah dilakukan uji Fisher Exact didapatkan nilai p sebesar 1,000. Nilai ini lebih besar dari 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara frekuensi menginang dalam sehari terhadap karies gigi. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Aritonang dkk (2019) bahwa terdapat hubungan antara frekuensi menginang dalam sehari terhadap status kesehatan periodontal (p=0,000).

Hasil analisis pada tabel 7 menunjukkan bahwa dari 23 orang responden yang menginang, sebanyak 17 responden menginang selama 15-30 menit yang mana 16 (94.1%) responden dengan kategori karies gigi tinggi dan 1 (5.9%) responden kategori sedang. Sedangkan dari 5 (17.4%) responden yang menginang selama <15 menit terdapat 3 (75%) responden termasuk kategori tinggi dan 1 (25%) responden kategori rendah. Setelah dilakukan uji Fisher Exact didapatkan nilai p sebesar 0,462. Nilai ini lebih besar dari 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara lama waktu mengunyah bahan menginang dengan karies gigi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatlolana dkk (2013) bahwa tidak terdapat hubungan antara lama waktu menginang terhadap status kesehatan periodontal (p=0,975).

Bahan tambahan dalam menginang dapat bervariasi antar daerah. Namun, bahan tambahan yang sering digunakan yaitu biji pinang, kapur, sirih, tembakau dan gambir. Berdasarkan tabel 8 didapatkan bahwa dari 23 responden yang menginang 12 responden menggunakan bahan lengkap berupa kapur, tembakau, daun sirih dan gambir untuk menginang . Dalam penelitian ini ditemukan 11 (91.7%) responden termasuk kategori tinggi. Setelah dilakukan uji Fisher Exact didapatkan nilai p sebesar 0.739. Nilai ini lebih besar dari 0.05 yang berarti tidak ada hubungan antara komposisi bahan menginang dengan karies gigi. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Aritonang dkk (2019) bahwa terdapat pengaruh antara komposisi sirih terhadap status kesehatan periodontal (p=0,022).

Berdasarkan tabel 9, terlihat dari 23 responden yang menginang , sebanyak 17 responden tidak menggosok gigi setelah menginang . Hal ini karena proses menginang diakhiri dengan menyusur yakni menggosokkan gumpalan tembakau pada gigi untuk meratakan hasil menginang. Kebiasaan menyusur inilah yang diyakini sebagai pengganti menggosok gigi karena fungsi menyusur sebagai pembersih gigi. Maka dari itu, fungsi gosok gigi telah digantikan dengan kebiasaan menyusur (Unbanu dkk, 2019). Pada daerah tertentu bahkan kebiasaan menginang sirih dianggap sama seperti menggosok gigi karena masyarakat percaya bahwa kebiasaan tersebut dapat menghilangkan noda pada gigi serta membersihkan sendiri sisa bahan menginang yang terdapat pada sela gigi (Bida dkk, 2022). Dalam penelitian ini ditemukan kategori karies gigi baik pada responden yang menggosok gigi maupun tidak menggosok gigi setelah menginang sirih sebagian besar termasuk kedalam kategori tinggi yaitu sebanyak 83,3% dan 94.1%. Adapun hasil uji Fisher Exact yang didapat yaitu 0.462 sehingga disimpulkan tidak terdapat hubungan antara kebiasaan sikat gigi setelah menginang terhadap karies gigi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa tidak terdapat hubungan antara kebiasaan menginang sirih, umur, lama menginang sirih, frekuensi megnginang sirih dalam seminggu, lama waktu menguyah, bahan yang digunakan dan kebiasaan sikat gigi dengan kejadian karies gigi tidak terdapat hubungan antara kebiasaan menginang sirih, umur, lama menginang sirih, frekuensi megnginang sirih dalam seminggu, lama waktu menguyah, bahan yang digunakan dan kebiasaan sikat gigi dengan kejadian karies gigi pada masyarakat Desa Labuhan dan Desa Lokpaikat (p-value= 0,375; 0,964; 0,083; 1,000; 1,000; 0,462; 0,739; 0,462).

Tradisi menginang sirih dapat dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kebersihan diri dan kebersihan tempat tinggal, serta tetap rutin melakukan pemeriksaan gigi ke dokter gigi untuk perawatan dan pengendalian kesehatan gigi. Perlu dilakukannya penelitian eksakta terkait kandungan zat pada bahan campuran dalam tradisi menginang yang dapat menghasilkan warna pada gigi penginang sirih. Sehingga penginang sirih tidak terganggung karena adanya warna pada gigi mereka yang sudah dihasilkan dari tradisi tersebut

KEKURANGAN KAJIAN

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui budaya menginang sirih masih perlu dipertahankan dan dikenalkan ke masyarakat lainnya. Namun, perlu diperhatikan bagaimana tradisi ini tidak berdampak mengeluarkan efek warna merah pada gigi penginang sehingga penginang tetap merasa percaya diri pada saat bergaul di masyarakat. Perlu ada penelitian eksakta lebih lanjut untuk menggembangkan hasil penelitian ini, yang bertujuan untuk mengkaji terkait cara menghilangkan efek warna merah pada gigi agar gigi tetap putih pada saat penginang melakukan tradisi tersebut.

PERNYATAAN

Ucapan Terimakasih

  1. Camat Lokpaikat dan Kepala Desa Labuhan yang telah bersedia menjadi lokasi penelitian dan memberikan izin sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian.
  2. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) yang telah memberikan pendanaan kepada penulis sehingga penelitian ini dapat berjalan.
  3. Seluruh masyarakat yang telah bersedia menjadi responden pada penelitian ini dan semua pihak yang terlibat dan telah membantu dalam penyusunan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Afifah M, dkk. 2022. Pengalaman karies dan tingkat nyeri pada gigi akibat karies pada ibu hamil. Padjadjaran Journal of Dental Researchers and Students. 6 (1): 1-7.

Aritonang M. Siagian MT. Tarigan FL. 2019. Pengaruh budaya makan sirih terhadap status kesehatan periodontal pada masyarakat suku koro di Desa Tiga Juhar Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. Jurnal Maternitas Kebidanan 4(1): 95-104.

Bida GS, Tanib NA, Akbar H. 2022. Tradisi mengunyah sirih pinang dapat meningkatkan kesehatan gigi pada masyarakat di Kota Kotamobagu. Graha Medika Public Health Journal 1(1): 10-15.

Budiartami PP, Hervina, Maryuni S. 2019. Lansia dengan kebiasaan menyirih mengalami keparahan resesi gingiva lebih besar daripada yang tidak menyirih di Desa beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Bali. Proceeding Book The 4th Bali Dental Science & Exhibition Balidence 2019. Universitas Mahasaraswati Denpasar, Aug 31 – Sep 1, 2019, Bali-Indonesia. 667-670.

Fatlolana WO dkk. 2019. Hubungan status kesehatan periodontal dengan kebiasaan menyirih pada mahasiswa etnis papua di Manado. Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi 1(2): 1-8.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Tenaga Kesehatan Kemenkes. Jakarta.

Koesbardiati T, Murti DB. 2019. Konsumsi sirih pinang dan patologi gigi pada masyarakat prasejarah Lewoleba dan Liang Bua di Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jurnal Berkala Arkeologi 39(2): 121-138.

Marthinu LT, Bidjuni M. 2020. Penyakit karies gigi pada personil detasemen gegana satuan brimob polda Sulawesi Utara tahun 2019. JIGIM; Jurnal Ilmiah Gigi dan Mulut 3(2): 58-84.

Novianti, A.N. Khusniati, M., 2022, August. Rekonstruksi Sains Asli pada Tradisi Menginang untuk Memperkuat Gigi di Desa Kadilanggon. In Proceeding Seminar Nasional IPA: 40-48.

Rahmadani, dkk. 2022. Tentang etnobiologi di Kalimantan Selatan. CV. BATANG. Banjarmasin, Kalimantan Selatan. 153-154.

Suparno NR, Camalin CMS, Putri CS. 2020. Pengaruh formulasi pasta gigi kombinasi ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L), biji pinang (Areca catechu) dan gambir (Uncaria gambir) terhadap hambatan pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. CERATA Jurnal Ilmu Farmasi 11(2): 15-21.

Suprayitno E, Hannan M, aila A. 2021. Pengetahuan menginang berhubungan dengan keluhan rongga mulutpada Lansia di Kabupaten Sampang Madura. Jurnal Kedokteran Gigi 18(1): 15-19.

Sutana IG, Sari NM, Dwipayana AAP. 2021. Nginang: Kebiasaan masyarakat tradisional dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut. Jurnal Yoga dan Kesehatan 4(2): 123-135.

Unbanu DK, Obi AL, Fankari F, Nobatonis MO. 2019. Status kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat yang mempunyai kebiasaan menginang. Dental Therapist Journal 1(2): 52-57.

Published

2023-12-29 — Updated on 2023-12-20

How to Cite

Topan Sulaiman Asy’ari, Riska Amelia Safitri, Nur Shofa Fhadila, Nidaul Jannah, Chintana Aurel Hairin, & fauzie21@ulm.ac.id. (2023). Menginang Sirih dan Tradisi yang Hampir Hilang pada Masyarakat Banjar serta Perspektifnya dalam Kesehatan Gigi untuk Wujudkan Indonesia Bebas Karies 2030. Health Information : Jurnal Penelitian, 5(1), e1325. Retrieved from https://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/hijp/article/view/1325

Issue

Section

Original Research

Citation Check