Findings from the Indonesian Socioeconomic Survey and the Indonesian Nutritional Status Survey on Factors Influencing Stunting Prevalence

Authors

  • Dini Amirul Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia https://orcid.org/0009-0000-4387-948X
  • Elyasari Poltekkes Kemenkes Kendari, Indonesia
  • Arsulfa Poltekkes Kemenkes Kendari, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.36990/hijp.v15i2.902

Keywords:

Stunting, Ordered probit model, Children under 5 year

Abstract

The government targets to reduce the incidence of stunting to 14 percent by 2024. Based on the results of the Indonesia Nutrition Status Survey (SSGI) in 2021, it is known that the prevalence of stunting is still at 24.4 percent. This study aims to determine what factors have the most influence on the incidence of stunting in regencies/cities in Indonesia. The data sources in this study came from the results of the National Socio-Economic Survey (Susenas) in 514 regencies/cities in 2021 and the Indonesian Nutrition Status Survey (SSGI) in 2021. The analytical method in this study used ordered probit model and the results were divided into three regions that use the same set of variables but have different coverage areas. From the results of the analysis, it was found that women's education, morbidity rates, birth attendants, baby's weight at birth, complete immunization, access to safe drinking water and government spending had an effect on reducing the incidence of stunting in Indonesia. Infant weight at birth has the greatest influence in reducing stunting status in this study. In addition, the three regional groups in this study have different predictors in determining the incidence of stunting in Indonesia.

PENDAHULUAN

Secara global, satu dari tiga anak usia di bawah lima tahun tidak berkembang secara baik dikarenakan malnutrisi dalam bentuk stunting, gizi kurang dan gizi buruk, dan kelebihan berat badan. Kekurangan nutrisi terus memberikan dampak yang besar. Pada tahun 2018, diperkirakan 200 juta anak berumur kurang dari lima tahun menderita stunting atau wasting sementara 340 juta menderita kelaparan tersembunyi (UNICEF, 2019).

Stunting merupakan tantangan kesehatan global yang mempengaruhi anak berusia di bawah lima tahun, terutama di negara berkembang (World Bank, 2017). Walaupun selama beberapa tahun belakangan angka stunting menunjukkan kecenderungan menurun di Indonesia, diperkirakan masih terdapat 24,4 persen balita yang mengalami kejadian stunting pada tahun 2021 (BKPK, 2021). Angka tersebut masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan target pemerintah dimana pada tahun 2024 prevalensi balita stunting turun menjadi 14 persen (TP2AK, 2019b).

Stunting merupakan akibat dari buruknya nutrisi ketika anak masih berada dalam kandungan dan berada dalam usia dini. Anak-anak yang menderita stunting mungkin tidak akan pernah mencapai tinggi badan ideal dan otak mereka tidak akan berkembang penuh sesuai dengan potensinya. Anak-anak ini akan memulai hidup dengan berbagai masalah kesehatan. Mereka menghadapi kesulitan belajar di sekolah, berpenghasilan lebih sedikit ketika dewasa dan menghadapi hambatan untuk berpartisipasi dalam komunitas mereka (UNICEF/WHO/WORLD BANK, 2021).

Di Indonesia masih terdapat 159 kabupaten/kota yang prevalensi stuntingnya tergolong dalam kelompok level tinggi (30 persen ke atas), sisanya sebanyak 355 kabupaten berada pada kelompok level medium (20-29 persen) dan low (di bawah 20 persen) (BKPK, 2021). Masih tingginya persentase kabupaten yang berada dalam kelompok stunting level tinggi diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi dari beberapa faktor sehingga menyebabkan kejadian stunting (Ernawati, 2020).

Secara garis besar, terdapat beberapa faktor utama yang berperan besar dalam kejadian stunting di Indonesia. Kerangka kerja Tim Percepatan Penanggulangan Anak Kerdil (TP2AK) mengkategorikan penyebab langsung dari stunting anak melalui dua pneyebab utama yaitu asupan gizi dan status kesehatan. Kemudian penyebab utama didukung juga dengan penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan, lingkungan sosial, lingkungan kesehatan dan lingkungan pemukiman (TP2AK, 2019a). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor mana saja yang paling berpengaruh terhadap penurunan prevalensi stunting di Indonesia sehingga jika diketahui faktor-faktor penyebabnya, maka pemerintah dapat mencari solusi terbaik dan target ditahun 2024 dapat tercapai.

METODE

Desain Penelitian dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kesehatan yaitu hasil olah data Survei Sosial Ekonomi Indonesia/SUSENAS (Publikasi Statistik Kesejahteraan Rakyat) di 514 kabupaten/ kota di Indonesia tahun 2021 dan Hasil Studi Status Gizi Nasional tahun 2021. Dari kedua sumber data didapatkan beberapa variabel yang dimungkinkan sebagai faktor utama yang mempengaruhi stunting di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data prevalensi stunting sebagai variabel Y dan faktor-faktor yang mempengaruhi sebagai variabel bebas pada level kabupaten/kota karena data level individu mengenai stunting harus didapatkan dari survei tersendiri atau dengan data primer. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang tersedia dengan asumsi bahwa data level kabupaten/kota sudah cukup untuk menjelaskan hubungan antara variabel bebas dengan tak bebas.

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 514 sampel. Jumlah sampel tersebut mewakili jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia pada tahun 2021. Dari hasil tinjauan pustaka didapatkan beberapa variabel yang diperkirakan memiliki hubungan yang kuat dalam menurunkan kejadian stunting di Indonesia. Variabel tersebut antara lain pendidikan perempuan yang didekati dengan ijazah tertinggi yang dimiliki oleh perempuan, umur saat melahirkan, riwayat penyakit yang diukur melalui variabel angka kesakitan di wilayah tersebut, pelayanan kesehatan dengan pendekatan melalui fasilitas kesehatan dan penolong kelahiran, berat bayi ketika lahir, imunisasi lengkap, ASI eksklusif dengan pendekatan rata-rata dan lama pemberian ASI dan sanitasi yang diukur melalui akses air minum layak serta pendapatan rumah tangga yang di dekati dengan rata-rata pengeluaran perkapita.

Data stunting pada penelitian ini dibedakan menjadi tiga level yaitu, Low (rendah), Medium (menengah) dan High (tinggi). Pengelompokan ini berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh WHO. Level low merupakan kelompok stunting dengan prevalensi di bawah 20 persen, sementara medium dan high masing-masing prevalensinya 20-29 persen dan lebih dari 29 persen (BKPK, 2021).

Penelitian ini memiliki beberapa batasan. Batasan yang pertama adalah data yang tidak lengkap yang dikumpulkan melalui publikasi statistik kesejahteraan rakyat yang di rilis oleh 34 provinsi di Indonesia. Terdapat sebanyak 29 kab/kota yang tidak memiliki data lama pemberian ASI kurang dari 6 bulan sehingga dilakukan interpolasi dengan memasukkan rata-rata nasional untuk melengkapi data tersebut. Batasan yang kedua adalah unit penelitian yang merupakan level kabupaten/kota sehingga penelitian ini tidak dapat menganalisis karakteristik dari tiap individu yang mempengaruhi kejadian stunting di suatu daerah.

Analisis Data

Untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas terhadap prevalensi stunting, penelitian ini menggunakan analisis inferensia yang ditampilkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini menggunakan model ordered probit analysis sebagai alat untuk memodelkan hubungan antar variabel. Ordered probit analysis merupakan alat analisis yang digunakan pada penelitian dimana variabel tak bebasnya merupakan variabel kategorik dan antar kategorinya tersusun dari rendah ke tinggi. Susunan dari pengelompokan stunting pada penelitian ini adalah low > medium > high. Kelompok yang paling diharapkan adalah low dan yang paling tidak diharapkan adalah high.

Hubungan antar variabel dalam Ordered Probit analysis model dapat dilihat sebagai berikut.

Rumus Ordered Probit Analysis Model

Di mana: Yi = Status Stunting berdasarkan kategori; ?0 = Intersep/ Konstanta; ?1 = Efek dari faktor-faktor yang dimasukkan dalam model terhadap level stunting; ?i = error term; i = Faktor yang diperkirakan mempengaruhi 1,2,...,n.

Model pada penelitian ini dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu Nasional, wilayah Sumatera, Jawa dan Bali dan wilayah Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua. Ketiga kelompok wilayah ini menggunakan set variabel yang sama namun untuk cakupan wilayah yang berbeda. Untuk wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali terdiri dari 282 kabupaten/ kota sementara wilayah Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua terdiri dari 232 kabupaten/ kota. Selanjutnya variabel karakteristik yang masukkan dalam model dan arah hubungan yang diharapkan terhadap variabel Y pada Gambar 1.

Gambar 1. Penjelasan Variabel dan Arah Hubungan yang Diharapkan

HASIL

Tabel 1. Hasil Regresi Berdasarkan Kelompok

Tabel 1 bahwa dalam skala Nasional, dari seluruh variabel bebas yang dimasukkan dalam model, hanya beberapa saja yang berpengaruh terhadap variabel tak bebasnya. Variabel yang mempengaruhi angka stunting antara lain: angka kesakitan, penolong lahir, berat lahir, imunisasi lengkap, minum layak dan pengeluaran per kapita.

Jika wilayah Indonesia dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu wilayah Sumatera, Jawa dan Bali, dan wilayah Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua, maka hasil yang didapatkan cukup berbeda. Pada kelompok Sumatera, Jawa dan Bali, hanya tiga variabel yang berpengaruh pada tingkat kejadian stunting di wilayah tersebut. Variabel tersebut adalah imunisasi lengkap, minum layak, dan pengeluaran per kapita.

Variabel seperti pendidikan perempuan, penolong kelahiran dan berat bayi pada waktu lahir tidak berpengaruh terdapat tingkat stunting sebagai variabel tak bebas. Pada kelompok Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua terdapat empat variabel yang signifikan mempengaruhi tingkat stunting di wilayah tersebut. Variabel tersebut antara lain, pendidikan perempuan, angka kesakitan, berat bayi ketika lahir, dan pengeluaran per kapita.

Jika dilihat dari arah pengaruh koefisien variabel bebas yang berada dalam model terhadap variabel tak bebasnya maka dapat disimpulkan bahwa hasil yang didapatkan telah sesuai dengan teori secara umum. Variabel angka kesakitan memiliki nilai positif, menjelaskan bahwa semakin besar persentase angka kesakitan di wilayah tersebut maka semakin besar pula peluang kejadian stunting yang bisa terjadi. Demikian halnya dengan variabel berat lahir, semakin banyak perempuan yang melahirkan bayi di bawah 2,5 kg, maka akan meningkatkan peluang untuk kejadian stunting di wilayah tersebut.

Dari keseluruhan variabel yang signifikan di level nasional, variabel berat lahir memiliki efek yang terbesar mempengaruhi kejadian stunting di Indonesia. Berbanding terbalik dengan berat lahir, pengeluaran per kapita memiliki pengaruh yang paling lemah jika dibandingkan dengan variabel lain yang signifikan mempengaruhi kejadian stunting.

Untuk melihat pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel tak bebas dari setiap level stunting, maka dapat dilihat hasilnya pada tabel 3 hingga tabel 5. Pada tabel 2 (Indonesia), semakin banyak persentase wanita yang melahirkan bayi di bawah 2,5 kg di suatu wilayah maka peluang wilayah tersebut berada di kelompok stunting level high akan meningkat sebesar 1,21 persen poin. Sebaliknya, peluang wilayah tersebut berada di kelompok level low dan medium akan menurun masing-masing sebesar 0,8 dan 0,4 persen poin.

Tabel 2. Marginal Effect Regression Kelompok Nasional

Wilayah yang memiliki angka kesakitan yang rendah akan memperbesar peluangnya untuk berada kelompok stunting level medium dan low. Jika angka kesakitan meningkat pada wilayah tersebut, maka peluang untuk berada pada kelompok stunting level high akan meningkat sebesar 1,06 persen poin.

Hal yang sama juga berlaku pada variabel penolong kelahiran. Jika persentase wanita yang memilih melahirkan dengan dibantu oleh bukan tenaga kesehatan meningkat, maka peluang wilayah kab/kota untuk berada pada kelompok stunting level high akan meningkat sebesar 0,78 persen poin. Sebaliknya, peluang untuk berada pada kelompok medium dan low akan menurun masing-masing sebesar 0,26 dan 0,25 persen poin.

Imunisasi lengkap memberikan pengaruh negatif dari kejadian stunting di suatu wilayah. Jika persentase balita yang mendapat imunisasi lengkap meningkat, maka peluang kabupaten/kota untuk keluar dari kelompok stunting level high meningkat sebesar 0,48 persen poin. Sebaliknya, peluang untuk berada tergabung di kelompok medium dan low meningkat berturut-turut sebesar 0,16 dan 0,32 persen poin.

Akses ke sumber air minum layak juga memberikan pengaruh negatif pada kejadian stunting di suatu wilayah. Jika suatu wilayah kabupaten/kota meningkatkan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum layak meningkat, maka peluang untuk keluar dari kelompok stunting level high akan meningkat sebesar 0,35 persen poin.

Terakhir, variabel pengeluaran per kapita sebagai variabel pendekatan dari pendapatan rumah tangga juga turut mempengaruhi kejadian stunting di suatu wilayah. Hanya saja, dari ketika kelompok stunting, variabel pengeluaran per kapita memberikan efek yang lemah terhadap peluang suatu wilayah untuk keluar dari kelompok stunting level high dan medium serta berada pada level low.

Tabel 3. Marginal Effect Regression pada Kelompok Sumatera, Jawa dan Bali

Jika marginal effect dari penelitian ini dipisahkan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok wilayah Sumatera, Jawa dan Bali; dan Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua, maka hasil yang didapatkan akan sedikit berbeda. Hasil yang diperoleh (Tabel 2 dan 3) secara umum memiliki perbedaan dalam variabel bebas yang signifikan terhadap variabel tak bebasnya. Variabel yang signifikan antara lain pendidikan perempuan, angka kesakitan, berat lahir, imunisasi lengkap, akses air minum layak dan pengeluaran per kapita.

Pendidikan perempuan dan angka kesakitan serta berat lahir menjadi variabel yang signifikan di wilayah Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua, tetapi menjadi tidak signifikan di wilayah Sumatera, Jawa dan Bali. Hal yang sama juga terjadi dengan variabel imunisasi lengkap dan akses air minum layak. Kedua variabel ini menjadi signifikan di wilayah Sumatera, Jawa, Bali tetapi tidak signifikan di wilayah Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua.

Pada kelompok wilayah Sumatera, Jawa dan Bali, kenaikan persentase balita yang mendapat imunisasi lengkap akan meningkatkan peluang daerah yang berada di wilayah tersebut untuk keluar dari kelompok stunting level high dan medium sebesar 0,47 dan 0,54 persen poin. Begitu pun dengan akses air minum layak, kenaikan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum layak akan meningkatkan peluang suatu daerah untuk keluar dari kelompok stunting level high sebesar 0,19 persen poin.

Tabel 4. Marginal Effect Regression pada Kelompok Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua

Pada kelompok Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua, peningkatan persentase wanita dengan ijazah tertingginya SMA ke atas akan meningkatkan peluang suatu wilayah untuk keluar dari kelompok stunting level high sebesar 1,1 persen poin. Hal yang berbeda terjadi pada variabel angka kesakitan dan berat lahir. Jika angka kesakitan dan persentase wanita yang melahirkan bayi kurang dari 2,5 kg meningkat, maka peluang wilayah tersebut untuk berada pada kelompok stunting level high akan meningkat masing-masing sebesar 2,43 dan 1,27 persen poin.

PEMBAHASAN

Walaupun hanya signifikan pada salah satu kelompok, yaitu wilayah Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku dan Papua, pendidikan perempuan menjadi variabel yang berpengaruh pada penurunan kejadian stunting di Indonesia. Ibu dengan pendidikan yang tinggi akan memiliki kepedulian terhadap kesehatan anaknya. Sebab ibu berpendidikan tinggi memiliki pengetahuan tentang nutrisi sehingga bermanfaat bagi kebiasaan memberi makanan pada anaknya (Pratita & Laksono, 2020; Torlesse et al., 2016). Hasil dari penelitian ini juga selaras dengan penelitian sebelumnya yang mendukung pendidikan Ibu dapat menurunkan angka stunting. Ibu yang memiliki level pendidikan yang lebih tinggi akan lebih terbuka terhadap ilmu kesehatan moderen dan menggunakan fasilitas kesehatan untuk kebutuhan gizi dan kesehatan anaknya dibandingkan dengan wanita dengan level pendidikan lebih rendah (De Silva & Sumarto, 2018; Wulandari et al., 2022).

Angka kesakitan juga berperan penting dalam kejadian stunting di suatu daerah. Sebagai variabel proksimat dari riwayat penyakit, angka kesakitan menggambarkan persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dan terganggunya aktivitas sehari-hari. Keluhan kesehatan akibat penyakit bukan saja dialami oleh orang dewasa, anak-anak juga turut merasakannya. Penyakit yang sering diderita anak balita adalah diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Saat anak sakit, mereka memiliki kecenderungan mengurangi porsi makanan akibat selera makan yang berkurang, sehingga asupan gizi yang diterima oleh tubuh berkurang. Jika kondisi ini berlangsung secara berulang dalam kurun waktu yang lama, maka dapat menyebabkan terjadinya masalah gizi yang mengakibatkan terjadinya stunting (Larsen et al., 2017; Sumardilah & Rahmadi, 2019).

Penolong kelahiran juga memberikan pengaruh yang signifikan jika dihitung secara nasional. Sebagai variabel yang mewakili aspek kemitraan dengan petugas kesehatan dan akses ke fasilitas kesehatan cukup memberikan gambaran bahwa wanita yang proses melahirkan dibantu oleh tenaga kesehatan memiliki peluang yang lebih besar untuk berada pada kelompok level low stunting. Bimbingan pasca melahirkan dari tenaga kesehatan diharapkan dapat membantu Ibu untuk menghindarkan anaknya dari kejadian stunting. Informasi gizi seperti pemberian zat besi pada anak usia awal juga menurunkan risiko kejadian stunting (De Silva & Sumarto, 2018).

Variabel berat bayi ditemukan hasil bahwa berat bayi rendah memiliki peluang untuk berada pada kelompok stunting level high. Hasil ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, Zahriany (2017) menyatakan bahwa bayi yang memiliki berat badan kurang dari 2,5 kg ketika lahir memiliki risiko menderita stunting lebih tinggi dibandingkan anak yang lahir dengan berat badan normal. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dengan berat badan kurang lebih lambat dari bayi yang lahir normal. Selain itu, bayi berat badan kurang dari 2,5 kg biasanya sulit untuk mencapai tingkat pertumbuhan sesuai dengan pertumbuhan anak pada umumnya (Ernawati, 2020; Zahriany, 2017).

Wilayah dengan persentase anak-anak penerima imunisasi lengkap yang besar memiliki peluang lebih besar untuk keluar dari kelompok stunting level high. Hal ini disebabkan ada kemungkinan bahwa anak-anak yang menerima imunisasi cenderung tidak mudah sakit dan dengan demikian lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami pertumbuhan yang tidak stabil. Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya bahwa terdapat korelasi positif antara ketersediaan vaksin dengan pertumbuhan anak (Anekwe & Kumar, 2012). Anak-anak yang divaksinasi juga lebih mungkin untuk mengakses layanan kesehatan lebih baik secara umum dan menerima layanan kesehatan yang lebih baik sehingga meningkatkan pertumbuhan anak (Beatty et al., 2017).

Akses terhadap air minum yang layak memainkan peran penting dalam menurunkan angka stunting walaupun tidak signifikan pada kelompok Indonesia Bagian Timur (Beal et al., 2018; Bridgman, 2020). Hal ini berbeda dengan sebagian besar penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa akses air dan sanitasi memiliki pengaruh yang lemah atau tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian stunting pada beberapa wilayah di Indonesia (Anggraini & Rusdy, 2019; Capanzana et al., 2020; Himawati & Fitria, 2020). Air minum yang tidak diolah berasosiasi dengan kejadian stunting, tetapi jenis sumber mata air rumah tangga tidak berhubungan dengan kejadian stunting di wilayah Indonesia (Torlesse et al., 2016).

Terakhir, penelitian ini juga menemukan bahwa setiap daerah memiliki prediktor dari kejadian stunting yang berbeda-beda. Salah satu batasan dalam penelitian ini adalah tidak mampu menampilkan perbedaan tersebut dalam level provinsi dan atau kabupaten/kota karena keterbatasan data yang tersedia. Meskipun demikian, pembagian wilayah Indonesia menjadi kelompok barat dan timur diharapkan sudah mampu menjelaskan bahwa setiap daerah memerlukan perlakuan khusus yang berbeda dalam menurunkan kejadian stunting di Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dua belas faktor yang diperkirakan mempengaruhi kejadian stunting di Indonesia, tujuh yang memiliki pengaruh menurunkan kejadian stunting. Ketujuh variabel tersebut adalah pendidikan perempuan, penolong kelahiran, berat lahir, imunisasi lengkap, akses air minum layak dan pengeluaran per kapita. Dari ketujuh variabel yang signifikan, berat bayi ketika lahir menjadi variabel yang paling besar mempengaruhi kejadian stunting di Indonesia.

Sebagai variabel yang paling besar mempengaruhi kejadian stunting, berat bayi ketika lahir harus mendapatkan perhatian lebih demi menekan angka kejadian stunting di Indonesia. Program-program yang pernah atau sedang dilakukan untuk menekan angka berat bayi lahir rendah (BBLR) seyogyanya menjadi program andalan untuk tiga tahun ke depan. Sosialisasi kesiapan pernikahan untuk mencegah pernikahan di bawah umur kemudian dilanjutkan dengan edukasi tentang asupan yang sehat untuk calon bayi kepada calon pengantin. Hal ini diharapkan dapat membantu orang tua terutama ibu untuk memperoleh pengetahuan tentang nutrisi anak di periode awal kehamilannya. Selanjutnya, kebijakan yang ada seharusnya tidak selalu terfokus pada ibu dan anak tetapi juga melibatkan peran serta keluarga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam mengurangi kejadian BBLR di Indonesia.

Temuan selanjutnya dalam penelitian ini adalah adanya perbedaan antar wilayah dalam penentuan variabel utama yang berpengaruh dalam menurunkan angka kejadian stunting. Hal ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah untuk melakukan pendekatan yang berbeda dalam usaha menurunkan angka stunting di setiap daerah. Diharapkan dimasa depan, dilakukan penelitian lanjutan yang dapat menjelaskan secara rinci faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting hingga ke level kabupaten/kota sehingga pemerintah dapat dengan cepat mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang dibutuhkan oleh tiap daerah dalam menurunkan angka stunting. Dengan identifikasi yang cepat dan tepat sasaran diharapkan target yang ditetapkan oleh pemerintah dapat segera tercapai.

References

Anekwe, T. D., & Kumar, S. (2012). The effect of a vaccination program on child anthropometry: Evidence from India’s Universal Immunization Program. Journal of Public Health (United Kingdom), 34(4), 489–497. https://doi.org/10.1093/pubmed/fds032

Anggraini, Y., & Rusdy, H. N. (2019). Faktor Yang Berhubungan Dengan Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Air Bangis Kabupaten Pasaman Barat. Dinamika Kesehatan Jurnal Kebidanan Dan Keperawatan, 10(2), 902–910. https://doi.org/10.33859/dksm.v10i2.472

Beal, T., Tumilowicz, A., Sutrisna, A., Izwardy, D., & Neufeld, L. M. (2018). A review of child stunting determinants in Indonesia. Maternal and Child Nutrition, 14(4), 1–10. https://doi.org/10.1111/mcn.12617

Beatty, A., Ingwersen, N., Leith, W., & Null, C. (2017). Stunting Prevalence and Correlates Among Children in Indonesia. Mathematica Policy Research Published Reports, July, 1–5.

BKPK. (2021). Buku Saku Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021.

Bridgman, G. (2020). Orphans and stunted growth: Investigating the potential of spatial network effects in service delivery for reducing stunting in orphans. In WIDER Working Paper (Issue November).

Capanzana, M. V., Demombynes, G., & Gubbins, P. (2020). Why are so Many Children Stunted in the Philippines? Why Are so Many Children Stunted in the Philippines?, June. https://doi.org/10.1596/1813-9450-9294

De Silva, I., & Sumarto, S. (2018). Child Malnutrition in Indonesia: Can Education, Sanitation and Healthcare Augment the Role of Income? Journal of International Development, 30(5), 837–864. https://doi.org/10.1002/jid.3365

Ernawati, A. (2020). Gambaran Penyebab Balita Stunting di Desa Lokus Stunting Kabupaten Pati. Jurnal Litbang: Media Informasi Penelitian, Pengembangan Dan IPTEK, 16(2), 77–94. https://doi.org/10.33658/jl.v16i2.194

Himawati, E. H., & Fitria, L. (2020). Hubungan Infeksi Saluran Pernapasan Atas dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia di Bawah 5 Tahun di Sampang. Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia, 15(1), 1. https://doi.org/10.26714/jkmi.15.1.2020.1-5

Larsen, D. A., Grisham, T., Slawsky, E., & Narine, L. (2017). An individual-level meta-analysis assessing the impact of community-level sanitation access on child stunting, anemia, and diarrhea: Evidence from DHS and MICS surveys. PLoS Neglected Tropical Diseases, 11(6), 1–13. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0005591

Pratita, I., & Laksono, A. D. (2020). “Anak ini kalau makan, ya apapun yang diminta…”: Eksplorasi Nilai Anak dan Pola Pengasuhan Anak pada Suku Jawa di Desa Besowo, Kediri, Jawa Timur. Amerta Nutrition, 4(2), 147. https://doi.org/10.20473/amnt.v4i2.2020.147-154

Sumardilah, D. S., & Rahmadi, A. (2019). Risiko Stunting Anak Baduta (7-24 bulan). Jurnal Kesehatan, 10(1), 93. https://doi.org/10.26630/jk.v10i1.1245

Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., & Nandy, R. (2016). Determinants of stunting in Indonesian children: Evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction. BMC Public Health, 16(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12889-016-3339-8

TP2AK. (2019a). Panduan Pemetaan Program, Kegiatan, dan Sumber Pembiayaan untuk Mendorong Konvergensi Percepatan Pencegahan Stnting Kabupaten/ Kota dan Desa.

TP2AK. (2019b). Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Periode 2019-2024.

UNICEF. (2019). The State of The World’s Children 2019. Children , food and nutrition.

UNICEF/WHO/WORLD BANK. (2021). Levels and trends in child malnutrition. In World Health Organization.

World Bank. (2017). Annual Report. In The world bank.

Wulandari, R. D., Laksono, A. D., Kusrini, I., & Tahangnacca, M. (2022). The Targets for Stunting Prevention Policies in Papua, Indonesia: What Mothers’ Characteristics Matter? Nutrients, 14(3), 1–10. https://doi.org/10.3390/nu14030549

Zahriany, A. I. (2017). Pengaruh BBLR Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-60 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Langkat Tahun 2017. Jurnal Riset Hesti Medan, 2(2), 129–141.

Published

2023-08-25

How to Cite

Amirul, D., Elyasari, E., & Arsulfa, A. (2023). Findings from the Indonesian Socioeconomic Survey and the Indonesian Nutritional Status Survey on Factors Influencing Stunting Prevalence. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(2), e902. https://doi.org/10.36990/hijp.v15i2.902

Issue

Section

Original Research

Citation Check

Most read articles by the same author(s)