Mapping the Distribution of Prevalence and Risk Factors for Stunting using the Cirebon City Geographic Information System: Data Report

Authors

  • Maula Ismail Mohammad Politeknik Kesehatan Tasikmalaya, Indonesia
  • Aura Moya Hermanda Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya, Indonesia
  • Bambang Karmanto Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya, Indonesia
  • Lina Khasanah

DOI:

https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.925

PENDAHULUAN

Stunting telah lama menjadi masalah yang utama di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan Indonesia sebagai negara dengan prevalensi malnutrisi yang tinggi. Provinsi Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang menjadi prioritas dalam percepatan penurunan stunting. Menurut data SSGI 2021, prevalensi stunting di Provinsi Jawa Barat adalah 24,5%. Prevalensi ini masih lebih tinggi daripada rata-rata nasional sebesar 24,4%. Kota Cirebon termasuk dalam lima kabupaten/kota dengan prevalensi stunting tertinggi di Jawa Barat. Berdasarkan hasil SSGI 2021, prevalensi stunting di Kota Cirebon adalah 30,6% (Dinas Kesehatan Kota Cirebon, 2022).

Status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor langsung dan tidak langsung. Faktor tidak langsung yang berhubungan dengan stunting meliputi berat badan lahir rendah, pemberian ASI non-eksklusif, dan imunisasi yang tidak lengkap. Faktor langsung yang memengaruhi stunting meliputi status ekonomi keluarga, yang akan berdampak pada sanitasi lingkungan (Aprizah, 2021; Izah et al., 2020).

Penelitian dalam bentuk pemetaan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat digunakan untuk menentukan pola distribusi stunting, hubungan antara stunting dan faktor risiko stunting di suatu wilayah tertentu, wilayah yang dapat menjadi fokus intervensi stunting, dan lokasi penting untuk menyediakan fasilitas kesehatan masyarakat seperti puskesmas yang dilengkapi dengan baik yang dapat diakses oleh masyarakat untuk pengobatan dan pencegahan terkait kondisi stunting (Putra & Suariyani, 2021).

SIG merupakan salah satu alat yang tepat untuk membantu menganalisis kondisi suatu wilayah terkait masalah kekurangan gizi. Dengan adanya SIG, informasi tentang penyebaran kekurangan gizi di suatu wilayah dapat divisualisasikan dalam bentuk peta digital (Fitri, 2018). Pemetaan ini dapat memudahkan intervensi lebih lanjut untuk daerah-daerah dengan kerentanan tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang distribusi dan faktor risiko stunting dalam bentuk peta, yang dapat memudahkan pengambilan keputusan terkait masalah stunting.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian ini berlokasi di Kota Cirebon. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2023. Populasi penelitian adalah Balita Stunting di Kota Cirebon dengan, Penelitian ini menggunakan total sampling

Pengumpulan Data

Data didapatkan dari data sekunder yang bersumber dari Laporan rutin Dinas Kesehatan Kota Cirebon tahun 2022. Variabel terikat adalah balita stunting dan variabel bebas meliputi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), ASI Eksklusif, Imunisasi Dasar Lengkap, dan Gaya Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

Pengolahan dan Analisis Data

Prevalensi stunting dan Faktor resikonya akan dihitung dan kemudian akan dimasukkan kedalam Aplikasi Quantum GIS untuk mendapatkan gambaran secara spasial. Dalam melakukan analisa dilakukan pengelompokan, untuk stunting dilakukan dengan membagi secara proporsional kedalam 3 bagian yaitu merah (bernilai paling tinggi), kuning dan hijau (untuk nilai yang rendah). Untuk faktor resiko yang lain kami membagi menjadi 3 kelompok warna untuk setiap faktor resiko dengan pembagian berdasarkan norma yang ada pada dinas kesehatan kabupaten cirebon. Dari pengelompokan tersebut peta dapat dihasilkan sehingga dapat dilakukan analisis secara deskriptif sebaran dari stunting dan faktor resikonya

HASIL

Gambar 1. Sebaran Stunting

Gambar 1 menunjukkan hasil pemetaan kasus stunting. Klasifikasi yang digunakan dalam peta pada Gambar 1 menggunakan pembagian kelas proporsional dalam aplikasi QGIS. Semakin gelap warnanya, semakin tinggi atau buruk prevalensi stunting. Ada enam kecamatan dengan prevalensi tertinggi, yaitu Jagasatru sebesar 18,50%, Pulasaren sebesar 17,50%, Drajat sebesar 17,40%, Kalijaga sebesar 16,60%, Kebonbaru sebesar 16%, dan Pegambiran sebesar 16%. Keenam kecamatan ini masuk ke dalam kategori dengan kasus stunting terbanyak, ditandai oleh area merah pada peta. Selain itu, ada enam kecamatan dengan prevalensi terendah, yaitu Sunyaragi sebesar 2,8%, Larangan sebesar 3,7%, Kesenden sebesar 4%, Kesambi sebesar 8,5%, Pekiringan sebesar 9,5%, dan Pekalangan sebesar 9,8%. Keenam kecamatan ini masuk ke dalam kategori dengan kasus stunting paling sedikit, ditandai oleh area hijau pada peta.

Gambar 2. Sebaran BBLR

Gambar 2 menggambarkan hasil pemetaan bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Peta ini dibedakan menggunakan tiga warna: merah, kuning, dan hijau. Semakin gelap warnanya, semakin tinggi atau buruk prevalensinya. Dari Gambar 2, dapat dilihat bahwa ada lima kecamatan dengan distribusi sedang bayi Berat Badan Lahir Rendah, sehingga peta tersebut berwarna kuning. Hal ini dibuktikan dengan prevalensi di kelima kecamatan tersebut berkisar antara 7,6% hingga 15%. Selain dari kelima kecamatan tersebut, 17 kecamatan lainnya di Kota Cirebon masuk ke dalam kategori rendah. Hal ini karena prevalensi di setiap kecamatan tersebut kurang dari 7,5%. Oleh karena itu, peta berwarna hijau dihasilkan untuk setiap kecamatan.

Gambar 3. Sebaran ASI Ekslusif

Gambar 3 menampilkan hasil pemetaan ASI Eksklusif. Peta ini dibedakan menggunakan tiga warna: merah, kuning, dan hijau, sesuai dengan tingkat prevalensi. Dari Gambar 3, dapat terlihat bahwa hanya ada tiga kecamatan dengan distribusi baik ASI Eksklusif, sehingga peta tersebut berwarna hijau. Hal ini dibuktikan dengan persentase di atas 80% di ketiga kecamatan tersebut. Kedua puluh kecamatan lainnya di Kota Cirebon masuk ke dalam kategori sedang, karena persentase ASI Eksklusif di setiap kecamatan berkisar antara 40% hingga 80%. Oleh karena itu, peta berwarna kuning dihasilkan untuk setiap kecamatan.

Gambar 4. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap

Gambar 4 menggambarkan hasil pemetaan cakupan imunisasi dasar lengkap. Peta ini dibedakan menggunakan tiga warna: merah, kuning, dan hijau, sesuai dengan tingkat prevalensi. Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa dari 22 kecamatan di Kota Cirebon, enam kecamatan masuk ke dalam kategori sedang dalam hal cakupan imunisasi dasar lengkap, sementara 16 kecamatan lainnya masuk ke dalam kategori baik. Hal ini karena persentase di enam kecamatan tersebut berkisar antara 40% hingga 80%. Oleh karena itu, peta berwarna kuning dihasilkan untuk keenam kecamatan tersebut. Kecamatan-kecamatan dalam kategori baik menghasilkan peta berwarna hijau untuk setiap daerah.

Gambar 5. Sebaran Cakupan PHBS

Gambar 5 menggambarkan hasil pemetaan cakupan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Peta ini dibedakan menggunakan tiga warna: merah, kuning, dan hijau, sesuai dengan tingkat prevalensi. Dari Gambar 5, dapat dilihat bahwa dari 22 kecamatan di Kota Cirebon, sembilan kecamatan masuk ke dalam kategori sedang dalam hal penerapan PHBS, sementara 12 kecamatan lainnya masuk ke dalam kategori baik. Hal ini karena persentase penerapan PHBS di sembilan kecamatan tersebut berkisar antara 30% hingga 70%, sedangkan untuk masuk ke dalam kategori baik, kecamatan-kecamatan tersebut harus memiliki persentase penerapan PHBS di atas 70%. Berdasarkan klasifikasi warna yang ditentukan, sembilan kecamatan dalam kategori sedang menghasilkan peta berwarna kuning untuk setiap daerah, sementara 12 kecamatan dalam kategori baik menghasilkan peta berwarna hijau untuk setiap daerah.

PEMBAHASAN

Distribusi kejadian stunting di kota Cirebon pada tahun 2022 termasuk dalam kategori baik. Hal ini karena semua lingkungan di Cirebon memiliki prevalensi stunting kurang dari 20%. Namun, ketika diklasifikasikan menjadi empat kelas menggunakan QGIS, hasil peta menunjukkan distribusi yang merata untuk setiap klasifikasi. Pengelompokan kasus stunting di beberapa wilayah tertentu sesuai dengan beberapa penelitian tentang stunting yang menggunakan GIS di beberapa negara (Putra & Suariyani, 2021). Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian oleh (Tahangnacca & Muntahaya, 2022) tentang penentuan pola spasial stunting pada anak Indonesia berdasarkan analisis spasial, yang menemukan bahwa wilayah dengan prevalensi stunting tinggi dikelilingi oleh wilayah dengan prevalensi stunting tinggi juga.

Penelitian dalam bentuk pemetaan menggunakan GIS dapat digunakan untuk menentukan pola distribusi stunting, hubungan antara kejadian stunting dan faktor risiko stunting di suatu daerah, area yang dapat menjadi fokus intervensi atau langkah pencegahan stunting (Putra & Suariyani, 2021). Melalui pemetaan, intervensi lebih lanjut dapat dilakukan di daerah dengan kerentanan tinggi. Oleh karena itu, penelitian terkait stunting perlu dilakukan dalam bentuk pemodelan pemetaan grafis (Halimah & Suntin, 2020).

Beberapa lingkungan di Cirebon memiliki tingkat berat badan lahir rendah (BBLR) yang lebih tinggi, seperti Pekalangan, Pekalipan, Kasepuhan, Pulasaren, dan Pegambiran. Bahkan, Pulasaren adalah lingkungan dengan jumlah kasus stunting tertinggi kedua (17,50%), dengan distribusi BBLR sebesar 9,09%. Hal ini sesuai dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh (Purwadi et al., 2022), yang menemukan bahwa anak-anak dengan riwayat BBLR memiliki kemungkinan 3.244 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak-anak tanpa BBLR. Sebuah penelitian oleh (Murti et al., 2020) juga menyatakan bahwa berat badan lahir rendah terkait dengan stunting, karena bayi dengan BBLR memiliki risiko stunting 25 kali lipat lebih tinggi.

Lingkungan dengan nilai BBLR suboptimal cenderung membentuk pola berkelompok. Lingkungan-lingkungan ini terletak di sub-distrik yang sama dan memiliki wilayah yang berdekatan. Sesuai dengan penelitian tentang Modeling Factors Influencing Malnourished Children in West Java Province pada tahun 2017 menggunakan Spatial Autoregressive Model (SAR) oleh Ambarwati & Hastono (2020), distribusi BBLR di suatu wilayah menunjukkan pola berkelompok dan terdapat autocorrelation spasial di antara lokasi-lokasi tersebut, terutama yang saling berbatasan.

Berdasarkan hasil pemetaan, hanya tiga lingkungan di Cirebon, yaitu Kecapi, Harjamukti, dan Larangan, memiliki cakupan pemberian ASI eksklusif yang baik. Cakupan pemberian ASI eksklusif untuk anak-anak di Cirebon masih dalam kategori sedang. Empat lingkungan dengan tingkat stunting tertinggi di Cirebon, seperti Pekalipan, Pegambiran, Kebonbaru, dan Drajat, memiliki cakupan pemberian ASI eksklusif yang lebih rendah (<60%) dibandingkan dengan lingkungan lainnya. Ketika melihat peta stunting berdasarkan klasifikasi otomatis dalam QGIS, empat lingkungan ini diwarnai merah, sementara cakupan pemberian ASI eksklusif diwakili oleh warna kuning.

Hasil penelitian lainnya bahwa dari 31 kecamatan di Jember, tiga kecamatan memiliki cakupan pemberian ASI eksklusif yang sangat rendah (9,6%) dan tiga kecamatan memiliki cakupan rendah (9,6%). Studi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar area dengan tingkat stunting tinggi dan sangat tinggi memiliki cakupan pemberian ASI eksklusif yang rendah (Gustin et al., 2023). Penelitian pendukung lainnya oleh menemukan hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif dan stunting pada anak-anak (Fitri, 2018).

Cakupan pemberian ASI eksklusif di Cirebon masih belum optimal, seperti yang ditunjukkan oleh dominasi warna kuning dalam hasil pemetaan di seluruh area. Praktik pemberian ASI eksklusif yang suboptimal disebabkan oleh beberapa faktor. Sebuah studi tentang faktor penentu pemberian ASI eksklusif menemukan bahwa faktor yang paling memengaruhi praktik pemberian ASI eksklusif adalah pengetahuan ibu tentang pentingnya pemberian ASI, serta dukungan dari anggota keluarga, termasuk suami dan orang tua (Safitri & Puspitasari, 2019). Temuan serupa dilaporkan dalam penelitian yang menyatakan bahwa pengetahuan ibu, dukungan dari suami, faktor budaya, dan dukungan dari tenaga kesehatan adalah faktor penentu yang signifikan yang secara signifikan memengaruhi praktik pemberian ASI eksklusif (Safitri & Puspitasari, 2019).

Berdasarkan hasil pemetaan, lima lingkungan, yaitu Pekalipan, Argasunya, Pekalangan, Kebonbaru, Kejaksan, dan Pekalipan, memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap yang rendah (<80%) dan prevalensi stunting yang tinggi (>9%) dibandingkan dengan lingkungan lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Juwita et al. (2019) dan Noorhasanah et al. (2020), yang menemukan hubungan yang signifikan antara imunisasi dasar lengkap dan stunting pada anak-anak. Penelitian pendukung lainnya mengungkapkan bahwa imunisasi yang tidak lengkap meningkatkan risiko stunting sebesar 3,5 kali dibandingkan dengan imunisasi yang lengkap (Nursyamsiah et al., 2021).

Sebaliknya, ada satu lingkungan, yaitu Sunyaragi, yang meskipun memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap di bawah 80%, memiliki prevalensi stunting terendah sebesar 2,80%. Hal ini juga dijelaskan dalam penelitian lainnya yang menemukan bahwa variasi stunting dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Faktor-faktor lain yang ditemukan dalam penelitian tersebut meliputi lingkungan dan geografi, kepadatan populasi, faktor individu (usia, jenis kelamin, status imunisasi, riwayat anemia, pemberian ASI eksklusif), dan faktor rumah tangga (Putra & Suariyani, 2021).

Berdasarkan hasil pemetaan, hanya sembilan lingkungan di Cirebon yang masuk dalam kategori sedang. Lingkungan ini adalah Sukapura, Argasunya, Kebonbaru, Drajat, Pekiringan, Pulasaren, Panjunan, Kecapi, dan Kesenden. Kecuali Drajat, delapan lingkungan lainnya memiliki cakupan sanitasi dan kebersihan di bawah 70% dan prevalensi stunting di atas 12%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Apriani (2018) dan Aprizah (2021), yang menemukan hubungan antara implementasi praktik sanitasi dan kebersihan dengan stunting pada anak-anak.

Sebaliknya, lingkungan Drajat memiliki cakupan sanitasi dan kebersihan di bawah 70% tetapi prevalensi stunting hanya sebesar 4%, yang merupakan salah satu yang terendah. Hal ini juga dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan oleh Putra & Suariyani (2021), yang menemukan bahwa variasi stunting dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, termasuk lingkungan dan geografi, kepadatan populasi, faktor individu (usia, jenis kelamin, status imunisasi, riwayat anemia, pemberian ASI eksklusif), dan faktor rumah tangga.

Distribusi stunting di semua lingkungan di kota Cirebon masuk dalam kategori baik, dengan prevalensi stunting di bawah 20% untuk setiap lingkungan, yang menghasilkan peta berwarna hijau secara keseluruhan. Distribusi tertinggi dari berat badan lahir rendah (LBW) sebagai faktor risiko ditemukan di lingkungan Pekalangan dengan nilai 12,70%, sedangkan yang terendah adalah lingkungan Sunyaragi dengan nilai 1,23%. Peta yang dihasilkan secara dominan berwarna hijau. Faktor risiko cakupan pemberian ASI eksklusif menunjukkan bahwa cakupan tertinggi terdapat di lingkungan Kecapi dengan persentase 91,15%, sedangkan yang terendah adalah lingkungan Pekalipan dengan persentase 48,28%. Peta yang dihasilkan secara dominan berwarna kuning. Faktor risiko cakupan imunisasi dasar lengkap menunjukkan bahwa cakupan tertinggi terdapat di lingkungan Larangan dengan persentase 104,58%, sedangkan yang terendah adalah lingkungan Pekalipan dengan persentase 51,04%. Peta yang dihasilkan secara dominan berwarna hijau. Faktor risiko implementasi praktik sanitasi dan kebersihan menunjukkan bahwa cakupan tertinggi terdapat di lingkungan Sunyaragi dengan persentase 100%, sedangkan yang terendah adalah lingkungan Sukapura dengan persentase 51,20%. Peta yang dihasilkan secara dominan berwarna hijau.

Penerapan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam menyajikan laporan atau data terkait stunting dan faktor risikonya dilakukan karena membantu dalam menggambarkan distribusi masalah berdasarkan lokasi dan tingkat kejadian sebagai dukungan bagi upaya pencegahan dan intervensi untuk mendukung program Zero Stunting.

Kekurangan Penelitian

Berdasarkan studi analisis SIG tentang faktor risiko berat badan lahir rendah (LBW), diharapkan akan ada penelitian lebih lanjut atau studi konfirmasi di masa depan mengenai distribusi berkelompok LBW di Kota Cirebon.

References

Ambarwati, R., & Hastono, S. P. (2020). Pemodelan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Balita Gizi Buruk di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 dengan Pendekatan Spatial Autoregressive Model (SAR). Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(02), 121– 128. https://doi.org/10.33221/jikm.v9i02.507

Apriani, L. (2018). Hubungan Karakteristik Ibu, Pelaksanaan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dengan Kejadian Stunting (Studi kasus pada baduta 6—23 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Pucang Sawit Kota Surakarta). Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6.

Aprizah, A. (2021). Hubungan karakteristik Ibu dan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS)Tatanan Rumah Tangga dengan kejadian Stunting Correlation of Characteristics Mother and Healthy Living Behavior (PHBS) in ?e Household with Incidence of Stunting. JKSP, 4(1), 2021.

Fitri, L. (2018). Hubungan BBLR dan Asi Ekslusif dengan Kejadian Stunting di Puskesmas Lima Puluh Pekanbaru. Jurnal Endurance, 3(1), 131. https://doi.org /10.22216/jen.v3i1.1767

Gustin, R. K., Ramadanti, T., Ediana, D., & Putra, A. S. (2023). Analisis Pemetaan Faktor Resiko Kejadian Stunting Menggunakan Aplikasi Gis Di Kabupaten Pasaman. Human Care Journal, 8(1), 36. https://doi.org/10.32883/hcj.v8i1.230 2

Halimah, N., & Suntin, S. (2020). Proyeksi dan Pemetaan Wilayah Sebaran Balita Stunting Di Kota Makassar Berbasis Sistem Informasi Geografi (SIG). Promotif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2), 173–184.

Izah, N., Zulfiana, Ev., & Rahmanindar, N. (2020). Analisis Sebaran Dan Determinan Stunting Pada Balita Berdasarkan Pola Asuh (Status Imunisasi Dan Pemberian Asi Eksklusif). Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 11(1), 27. https://doi.

org/10.26751/jikk.v11i1.764

Juwita, S., Andayani, H., Bakhtiar, B., Sofia, S., & Anidar, A. (2019). Hubungan Jumlah Pendapatan Keluarga dan Kelengkapan Imunisasi Dasar dengan Kejadian Stunting pada Balita di Kabupaten Pidie. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika, 2(4), 1–10.

Murti, F. C., Suryati, S., & Oktavianto, E. (2020). Hubungan Berat Badan Lahir Rendah (Bblr)Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Desa Umbulrejo Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 16(2), 52. https://doi.org/10.26753/jikk.v16i2.419

Noorhasanah, E., Tauhidah, N. I., & Putri, M. C. (2020). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tatah Makmur Kabupaten Banjar. Journal of Midwifery and Reproduction, 4(1), 13. https://doi.org/10.35747/jmr.v4i1.559

Nursyamsiah, Sobrie, Y., & Sakti, B. (2021). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 4(3), 611–622.

Purwadi, H. N., Oktaviani, D., & Latief, K. (2022). Determinan Faktor Risiko Kejadian Stunting Berdasarkan Pemetaan Kasus Stunting pada Balita dengan Geographic Information System (GIS). Faletehan Health Journal, 9(3), 320–326. https://do i.org/10.33746/fhj.v9i3.221

Putra, P. A. B., & Suariyani, N. (2021). Pemetaan distribusi kejadian dan faktor risiko stunting di Kabupaten Bangli tahun 2019 dengan menggunakan sistem informasi geografis. Arc COm Heal, 8(1), 72–90.

Safitri, A., & Puspitasari, D. A. (2019). Upaya Peningkatan Pemberian Asi Eksklusif Dan Kebijakannya Di Indonesia. Penelitian Gizi dan Makanan. The Journal of Nutrition and Food Research, 41(1), 13–20. https://doi.org/10.22435/pgm.v41 i1.1856

Tahangnacca, M., & Muntahaya, F. (2022). Spatial Pattern of Stunting on Children 2019. Jurnal Kesehatan Reproduksi, 13(1), 47–55. https://doi.org/10.58185/jkr.v13i1.36

Published

2023-12-28 — Updated on 2023-12-31

Versions

How to Cite

Mohammad, M. I., Hermanda, A. M., Karmanto, B., & Khasanah, L. (2023). Mapping the Distribution of Prevalence and Risk Factors for Stunting using the Cirebon City Geographic Information System: Data Report. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(3), e925. https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.925 (Original work published December 28, 2023)

Citation Check