Phenomenological Study of Patient and Family Perceptions of Diabetic Foot Wounds
DOI:
https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.970Keywords:
Amputation, Diabetes mellitus, Diabetic foot ulcers, Perseption, Wound careAbstract
The condition of diabetic foot ulcers has various accompanying problems such as wounds that don't heal, wound odor, and lots of wound exudate, even the threat of amputation and disability. Patient and family responses vary greatly to the diabetic foot ulcers they experience. This study aims to explore patient and family perceptions of diabetic foot ulcers. This research is a type of qualitative research using a phenomenological approach. In-depth interviews were conducted with 12 participants who were family and patients with chronic diabetic foot ulcers. Data that has been analyzed verbatim with the Colaizi stage. The results of this study formulated 4 themes, namely (1) the predispose of diabetic foot ulcers is simple but complex, (2) all people with DM are at risk of developing diabetic foot ulcers, (3) people with foot injuries diabetes threaten the threat of disability and amputation, (4) diabetic foot ulcers cause a lot of burden. People with diabetic foot ulcers have positive and negative perceptions of their wounds. The impact of the perceptions that are believed to the wound healing process needs to be further identified.
PENDAHULUAN
Penyandang diabetes melitus selain berisiko mengalami komplikasi neuropati perifer dan penyakit arteri perifer, juga berisiko mengalami luka pada kaki atau dikenal dengan istilah diabetic foot ulcers (DFU) (Crowley et al., 2023). Luka kaki diabetes dikategorikan sebagai peradangan kronis yang dapat menyebabkan amputasi bahkan kematian (Moravej et al., 2023). Dikatagorikan lukai kaki diabetesi jika terjadi kerusakan kulit pada kaki minimal pada lapisan epidermis dan dermis (van Netten et al., 2020). Sebagian besar 50,4% penyandang diabetes melitus (DM) dapat mengalami satu jenis luka, dan 61,5% masuk dalam katagori yang parah, serta 76,9% memiliki gula darah yang tidak stabil (Vahwere et al., 2023).
Luka kaki diabetes berhubungan dengan peningkatan mortalitas, morbiditas (Vahwere et al., 2023). International Diabetes Federation (IDF) melaporkan bahwa prevalensi DFU di Afrika antara 10,0% dan 30,0%, dengan angka amputasi sebesar 3,0%-35,0%,. Proporsi DFU di Asia kurang dari 15,0%, di Eropa cukup bervariasi, yaitu 1,0% (Denmark) hingga 17,0% (Belgia). Prevalensi amputasi di Arab berkisar 0,2% (Arab Saudi) hingga 60,0% (Yordania) sedangkan di Brazil prevalensi DFU adalah 21,0%,11 dan prevalensi amputasi antara 10,0% sampai 13,0% (IDF, 2022). Tingkat kematian yang terkait dengan perkembangan DFU diperkirakan 5% dalam 12 bulan pertama, dan tingkat mortalitas terjadi pada 5 tahun diperkirakan sebesar 42% (Everett & Mathioudakis, 2018).
Luka kaki diabetes dapat mengakibatkan penderitaan yang cukup besar, sering kambuh, dan berhubungan dengan kematian yang tinggi, serta biaya perawatan kesehatan yang cukup besar (Jeffcoate et al., 2018), angka amputasi, dan beban ekonomi pada penyandang DM (Vahwere et al., 2023). Selain permasalahan yang sering ditemui pada luka kaki diabetes yaitu luka yang tidak kunjung sembuh, penyembuhan yang lambat, tingkat kekambuhan yang tinggi dan berhubungan dengan infeksi, bau, dan eksudat yang banyak (Jeffcoate et al., 2018).
Luka kaki diabetes dapat dicegah dan dirawat agar tidak semakin memburuk bahkan dapat sembuh dengan optimal. Keterlibatan aktif dalam perilaku terkait perawatan kaki yang tepat sangat diperlukan, namun banyak penyandang diabetes yang tidak mematuhi rekomendasi perawatan kaki tersebut (Coffey et al., 2019). Kondisi ini terjadi karena persepsi masyarakat yang bervariasi.
Secara psikologis, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama. Sehingga setiap manusia memiliki perbedaan sudut pandang atau persepsi, tanggapan, dan respon terhadap stimulus yang mereka terima melalui panca inderanya. Masyarakat memiliki persepsi yang beragam tentang efek DFU dari menggangap sebagai masalah kecil bahkan mempersepsikan sebagai hal yang membahayakan (Crowley et al., 2023).
Pasien dan anggota keluarga penyandang luka kaki diabetes mempunyai kecenderungan untuk melihat kondisi luka yang dialami dengan cara yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya.
Penilaian terhadap persepsi pasien menjadi hal penting untuk pengembangan layanan kesehatan, karena pasien dan keluarga adalah pengguna utama dari layanan kesehatan yang diberikan (Crowley et al., 2023). Keyakinan pasien adalah penentu penting praktik perawatan kaki yang sangat berpengaruh dalam menentukan hasil ulkus (Vedhara et al., 2014).
Sehingga penting untuk memahami kebutuhan mereka dari persepsi yang mereka ungkapkan. Data dan infromasi yang telah diuraikan tersebut menjadi fenomena dan jendela dari masalah sebenarnya yang dialami penderita DM dan keluarganya yang mengalami komplikasi luka kaki diabetes. Kekayaan dari informasi serta data-data tersebut perlu digali lebih lanjut guna menjadi dasar dalam menghadapi tantangan pemberian asuhan keperawatan pada penyandang luka kaki diabetes. Oleh karena itu peneliti ini bertujuan untuk mengeksplorasi fenomena persepsi pasien dan keluarga tentang komplikasi luka kaki diabetes (diabetic foot ulcer).
METODE
Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan deskriptif fenomenologi. Kegiatan yang dilakukan dalam pendekatan deskriptif fenomenologi meliputi empat tahap yaitu bracketing, intuiting, analyzing, dan describing. Penelitian ini dilakukan di Kota Bengkulu.
Populasi penelitian ini yaitu penyandang luka kaki diabetes selama tahun 2022 terdapat 253 orang. Partisipan dipilih dengan teknik purposive sampling. Kriteria Inklusi partisipan dalam penelitian ini yaitu keluarga dan pasien penyandang diebetes melitus yang mengalami luka kronis pada kaki dan sedang menjalani perawatan luka, partisipan berusia diatas 30 tahun, memiliki riwayat diabetes tipe I atau tipe II, serta mampu berkomunikasi dengan baik. Kriteria eklusi yaitu partisipan yang mengalami perburukan kondisi selama penelitian berlangsung seperti meninggal dunia, mengalami penurunan kesadaran, mengalami komplikasi yang mengindikasikan harus dirawat di RS. Jumlah partisipan yang terlibat dalam studi kualitatif ini sebanyak 12 orang yang memenuhi kriteria inklusi yang terdiri dari 6 orang anggota keluarga terdekat dan 6 orang penyandang luka kaki diabetes di Kota Bengkulu.
Pengumpulan dan Analisa Data
Partisipan direkrut secara sukarela dan bersedia mengikuti wawancarai dengan waktu yang disepakati antara peneliti dengan partisipan. Semua partisipan telah mendapatkan penjelasani tentang penelitiani dan telah menandatangani lembari persetujuan menjadi partisipan.
Data pada penelitian ini telah dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam disertai catatan lapangan, dan observasi partisipan dengan alat bantu perekam. Wawancara dilakukan selama 30-60 menit dengan 2-3 kali pertemuan mulai dari menggali informasi hingga konfirmasi data verbatim. Topik wawancara yang diajukan yaitu: “Bagaimana pandangan Anda dan keluarga tentang luka kaki diabetes yang dialami?“ dan “Bagaimana penilaian Anda dan keluarga tentang dampak dari luka kaki diabetes?“. Pertanyaan selanjutnya dikembangkan berdasarkan jawaban partisipan, dengan fokus pertanyaan pada aspek perpsepsi. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan tahap analisis data Colaizzi.
HASIL
Karakteristik partisipani keluarga pasien secara demografii terdistribusi tinggal di Kota Bengkulu dengan jenis kelamin 4 perempuan dan 2 lelaki. Usia partisipan antara 33 hingga 50 tahun. Latar belakang pendidikan partisipan yaitu ada SMA, Sarjana (S1), dan Magister (S2). Agama partisipan yaitu Islam, Kristen, Protestan. Suku bangsa yang diungkapkan partisipan cukup bervariasi yaitu, Jawa, Padang, Rejang, dan Cina, serta Lembak. Partisipan menceritakan bahwa hubungan mereka dengan pasien yaitu sebagai suami, anak, dan istri.
Informasi dalam penelitian ini juga berasal dari 6 partisipan yang sedang menjalani perawatan luka terhadap luka kaki diabetes. Semua pasien mengalami luka kronis karena tidak sesuai dengan fase fisiologis penyembuhan luka. Partisipan mengalami luka pada jari kaki, punggung kaki, dan telapak kaki. Stadium luka yang dialami pasien yaitu stadium IV dimana sudah terlihat otot, tulang, dan tendon.
Hasil analisis data pada penelitian ini merumuskan 4 tema yaitu (1) pencetus luka kaki diabetes sederhana namun akibatnya kompleks, (2) semua penyandang DM Berisiko mengalami luka kaki diabetes, (3) penyandang luka kaki diabetes menghadapai ancaman kecacatan dan amputasi, (4) luka kaki diabetes menimbulkan banyak beban.
Tema 1: Pencetus luka kaki diabetes sederhana namun akibatnya kompleks
Persepsi partisipan dalam penelitian ini dirumuskan dalam tema pertama yaitu persepsi bahwa pencetus luka kaki diabetes sederhana namun akibatnya kompleks. Terdapat 5 sub tema pendukung tema perspesi tersebut yaitu: Alas kaki tidak tepat bisa menyebabkan luka, trauma benda tajam kecil akhirnya luka menjadi besar, kelainan bentuk kaki berakhir luka, kulit kering akhirnya jadi luka yang banyak cairannya, penurunan sensasi pada kaki.
Alas kaki tidak tepat bisa menyebabkan luka
Luka kaki diabetes yang dialami pasien banyak diakui oleh para partisipan karena alas kaki yang mereka gunakan tidak tepat. Katagori ini terlihat dari beberapa pernyataan partisipan berikut:
“Padahal cuma lecet bae (saja) di pinggir jari jempol itu, sepatu kesempitan, laju (selanjutnya) kami kasih (beri) betadine (Iodine Povidone) tapi makin hari makin merah dan membusuk” (P2) “Lecet awalnya, pake (memakai) sepatu baru” …”Mungkin kekecilan” (P4) “Iya gara-gara bersepatu, lecet awalnya, lalu meradang” (P4) “Jari telunjuk kaki kanan ini awalnya tergesek sandal, tidak diprediksi bisa menjadi separah ini” (P5)
Trauma benda tajam kecil akhirnya luka menjadi besar
Trauma benda tajam bisa menyebabkan rusaknya integritas kulit. Namun yang dipersepsikan partisipan yaitu trauma benda tajam kecil saja bisa menyebabkan luka yang dialaminya menjadi besar dan membusuk apalagi jika luka itu akibat benda tajam yang besar. Berikut ungkapan partispian yang mendukung katagori tesebut:
“Penyebab lukanya ini, awalnya tertusuk duri sawit ” … ”dalam 2 minggu luka makin merah dan membengkak” P3 “Waktu memotong kuku, terpotong daging pinggirnya” P6 “Kalo yang kaki kiri gara-gara potong kuku” P5a “… lalu saya kikis pakai carter (pisau tajam)” P2.
Kelainan bentuk kaki berakhir luka
Kelainan bentuk kaki akibat komplikasi neuropati motorik pada kaki dipersepsikan oleh partisipan menjadi penyebab luka kaki diabetes yang mereka alami. Berikut ungkapan partisipan sebagai persepsi katagori tersebut:
“Telapak kaki bagian tengah, jadi karena tertekan terus, akhirnya merah dan panas” P1 “… Jari telunjuk kaki saya yang ini (jari kaki kanan) agak naik ke atas, dulu tidak seperti itu bentuknya”… “2 tahun terakhir saya perhatikan bentuknya berubah” P5 “… Ujung-ujung tumit saya menebal dan pecah pecah, lalu saya kikis pakai carter (pisau tajam). Tahu-tahunya meradang dan merah” P2 "Kulit kering akhirnya jadi luka yang banyak cairannya"
Gangguan neuropati otonom pada penderita DM yang mengakibatkan kulit menjadi kering dipersepsikan oleh partisipan sebagai satu penyebab yang sepele namun dapat menyebabkan komplikasi luka kaki diabetes. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung katagori persepsi tersebut:
“… Kulit kaki saya kering lalu menebal, mengeras…tahu-tahunya nyeri, saat diperiksa bengkak dan memerah” “… Kulit kering sering gatal…. saya garut lalu lecet…” “Kulit kering dari betis sampai ujung kaki, pecah-pecah… tahu-tahunya membusuk di dalamnya…”
Penurunan sensasi pada kaki
Penurunan sensasi pada kaki dipersepsikan oleh partisipan sebagai penyebab sepela yang mengakibatkan tejadinya komplikasi kaki diabetes. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung katagori persepsi tersebut:
“Saya ngga terasa apapun kalau tertusuk duri sawit awalnya” “Lecetnya dak beraso (tidak terasa), pas (saat) di rumah, baru sadar” “Waktu dikikis dengan carter ngga (tidak) ada sakit-sakinya, ngga terasa”
Tema 2: Semua penyandang DM Berisiko mengalami luka kaki diabetes
Pada hasil penelitian ini dirumuskan tema kedua yaitu semua penyandang DM berisiko mengalami luka kaki diabetes. Terdapat 3 sub tema yaitu: semua jenis DM bisa mengalami luka diabetes, usia muda bisa terkena luka kaki diabetes, DM tidak terkontrol lebih berisiko, berikut uraiannya:
Semua jenis DM bisa mengalami luka diabetes
Partispian mempersepsikan bahwa semua jenis DM bisa mengalami komplikasi luka kaki diabetes. Meskipun partisipan masih mengenal istilah diabetes basah dan diabetes kering. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung katagori persepsi tersebut:
“… Katanya, saya diabetes kering tapi nyatanya saya kena luka juga” “… Bapak saya dulu sakit gula (DM) juga, tapi tidak ada luka. Saya baru 5 tahun kena DM sekarang kaki saya sudah membusuk …” “Kata orang kalau DM badan kurus tidak kena luka karena diabetes kering, tapi saya kurus tetap kena luka juga dan membusuk”.
Usia masih muda bisa terkena luka kaki diabetes
Partisipan mempersepsikan bahwa meski usia masih muda dan baru menderita DM, namun tetap berisiko mengalami komplikasi luka kaki diabetes. Selama DM tidak terkontrol dan kaki tidak dirawat, maka komplikasi dapat dialami. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung katagori persepsi tersebut:
”… Saya pikir, saya yang masih baru sebagai penderita DM ngga terkena luka, tapi tahunya sudah kena komplikasi ini. Teman yang lain juga heran…” “Tua muda sama saja, kalo ngga terontrol ya luka susah sembuh” “Kalo ngga terkontrol yang kena komplikasi, mau baru ataupun lama…”
DM tidak terkontrol lebih berisiko
Partisipan mempersepsikan bahwa DM yang tidak terkontrol lebih berisiko mengalami komplikasi luka kaki diabetes. Selama DM tidak terkontrol dan kaki tidak dirawat, maka komplikasi dapat dialami. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung katagori persepsi tersebut:
“… Kalo ngga terkontrol ya luka susah sembuh…” “Dulu juga sudah pernah seperti ini, dan sekarang kena luka lagi bahkan lebih parah dari sebelumnya… sedih campur nyesal kenapa sampai luka” (ekspresi berkaca-kaca) “Saya merasa sedih, kenapa orang lain DM tapi tidak kena luka, sedih juga kenapa tidak bisa ngontrol gula”.
Tema 3: Penyandang Luka Kaki Diabetes Menghadapai Ancaman Kecacatan dan amputasi
Berbagai pengalaman dan peristiwa yang didengar, dilihat, bahkan dialami akan menimbulkan berbagai persepsi. Tema ketiga yang dirumuskan yaitu penyandang luka kaki diabetes menghadapai ancaman kecacatan dan amputasi. Pada tema ini terdapa tiga sub tema yaitu: luka lama sembuh, luka membusuk dan bau, luka bisa berulang. Berikut penjelasan dari masing-masing katagori tema tersebut.
Luka lama sembuh
Partisipan mempersepsikan bahwa luka yang lama sembuh berisiko menyebabkan kecacatan dan amputasi. Berikut ungkapan partisipan mendukung katagori persepsi tersebut:
“Katanya lama sembuhnya, kalau tidak sembuh-sembuh bisa diamputasi ya Pak?… itu menakutkan Pak” “Ibu ko lah (Sudah) disuruh dokter amputasi malahan, dak berani eh... keluargo jugo dak setuju” “Tetanggo kami dulu lamo sembuhnyo ujung-ujungnyo dipotong (Amputasi)...”
Luka membusuk dan bau
Ancaman kecacatan dan amputasi yang dipersepsikan partisipan bisa diakibatkan jika luka terus membusuk dan bau. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung katagori tersebut:
“Luka di jari kaki yang dulu, seperti itulah membusuk bau dan akhirnya jari dipotong…” “Mudah-mudahanlah cepat sembuh idak membusuk dan bau, jika terusan membusuk saya takut lepas nanti ujung jari yang itu….” “sebelum dirawat disiko, bau dulu luka Ibu, cak membusuk…”
Luka bisa berulang
Luka yang terjadi berulang atau kambuhan dipersepsikan menjadi ancaman kecacatan dan amputasi. Berikut ungkapan partiisipan yang mendukung katagori persepsi tersebut:
“Luka di jari kaki yang dulu, seperti itulah membusuk baud an akhirnya jari dipotong… ini ngulang lagi lukanya” “Ini yang kedua kali, yang dulu sudah sembuh, itu bekasnya..”
Tema 4: Luka kaki diabetes menimbulkan banyak beban
Persepsi partisipan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam tema keempat ayitu luka kaki menimbulkan banyak beban. Tema persepsi ini dikukung oleh sub tema yaitu beban ekonomi keluarga meningkat, produktivitas bekerja menurun, sulit untuk beraktivitas di luar rumah, tingkat ketergantungan meningkat. Berikut sub tema pendukung tema persepsi tersebut:
Beban ekonomi keluarga meningkat
Partispan mempersepsikan bahwa komplikasi luka kaki diabetes menyebabkan bertambahnya biaya perawatan. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung katagori persepsi tersebut:
“Jelaslah biaya meningkat, kami berobat butuh ongkos, biaya beli obat, beli bahan balutannyo belum lagi biaya lainnyo” “Semenjak luka terjadi, ya… pengeluaran bertambah” “Walaupun sudah pake BPJS, tapi tetap saja banyak biaya lain yang dibutuhkan” “Selama 3 bulan terakhir biaya yang dibutuhkan bertambah, namanya juga berobat”. “Kami bergantian ngantar ibu, karena masing-masing punya kesibukan…” “… Biaya ditanggung bersama semua adik beradik…” ”… Mau tidak mau ya harus diusahakan keluarga…” “Kami terpaksa minta bantuan biaya ke anak yang di Palembang…” “… he..he … Ada lah dikit-dikit yang harus dijual …”
Produktivitas bekerja menurun
Partisipan mempersepsikan bahwa komplikasi luka kaki diabetes menyebabkan penurunan produktivitas dalam bekerja. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung persepsi tersebut:
“… Sudah 2 bulan ini, tidak ngantor …” “… Istirahat ajolah (sajalah) lagi, cakmano nak kerjo (Bagaimana mau kerja), jalan be (saja) susah” “… Ya jadinya ngga kerja…” “.. Di rumah saja, ngga (tidak) bisa nyari (mencari) duit (uang) dulu sementara”… “… Tiduran dan nonton Tv saja di rumah sekarang”
Sulit untuk beraktivitas di luar rumah
Partisipan mempersepsikan bahwa komplikasi luka kaki diabetes menyebabkan aktivitas sosial menurun karena hambatan mobilitas dan perasaan malu yang dialami partisipan. Berikut ungkapan partisipan yang mendukung katagori persepsi tersebut:
“Jalan susah, jadi susah mau ke masjid… sholat di rumah saja” “… Ngga (tidak) bisa bekerja, kaki masih terbungkus…” “… Sudah ngga (tidak) pernah ikut pengajian…jalan aja oleng (posisi tidak tegak sempurna) he..he…” “… Arisan nitip bae jadinya… Susah kek (dan ) malu, lagian orang maklum pulo (juga). “… Biasa sore ngumpul main gaple, sekarang tidak bisa kemana-mana”.
Lebih banyak tergantung pada orang lain
Partisipan mempersepsikan bahwa komplikasi kaki diabetes berdampak pada penurunan aktivitas sosial yang mereka jalani. Penurunan aktivitas sosial terjadi karena perasaan lebih tergantung pada orang lain untuk menemani aktivitasnya. Berikut ungkapan pasien untuk mendukung persepsi tentang lebih banyak tergantung pada orang lain:
“… Sekarang tidak bisa banyak aktivitas, semua banyak dibantu, sampai-sampai saya minta anak saya berhenti bekerja di Jakarta untuk bisa menjaga saya…” “Lebih baik di rumah saja, mau kemana-mana harus dikawani, jalan ni susah. Mudah-mudahan kalu lah sembuh kelak (nanti) bisa pergi-pergi lagi” “… aktivitas ibu banyak dibantu suami ibu… makanya jadi malas kemana-mana… biar di rumah saja… nanti ngerepotin orang lain” “Kalau kini, mau ke WC saja dipegangi, oleng jalannya, takut balutan kaki basah juga….”
PEMBAHASAN
Luka kaki diabetes merupakan hal yang paling banyak ditakutkan dan dikeluhkan oleh para penyandang diabetes melitus. Penyandang DM dan keluarga mengungkapkan bahwa telah berusaha menjaga agar tidak terjadi luka namun kenyataannya penyebab luka yang meraka alami justru disebabkan oleh hal-hal yang sepele.
Partisipan mempunyai persepsi bahwa penyebab luka kaki diabetes sepele namun akibatnya menakutkan. Penyebab yang dipersepsikan sebagai suatu hal yang sepele atau sederhana tersebut diantaranya, penggunaan alas kaki yang tidak tepat, trauma oleh benda tajam yang kecil seperti tertusuk duri, kelainan bentuk kaki akibat DM yang sudah lama, kulit kering dan pecah-pecah, serta penurunan sensasi pada kaki.
Kompleksitas patogenesis luka kaki diabetes disebabkan oleh banyak faktor, termasuk faktor predisposisi terjadinya ulserasi, faktor yang memicunya, dan faktor yang mencegah penyembuhan setelah terjadi ulserasi (Jeffcoate et al., 2018). Secara umum faktor pemicu terjadinya luka kaki diabetes bisa disebabkan oleh hal sederhana seperti penggunaan alas kaki yang tidak sesuai atau berjalan tanpa alas kaki (Schaper et al., 2020).
Hal sepele penyebab luka kaki diabetes yang dikeluhkan seperti luka awalnya kecil karena terbentur pintu, luka kecil karena tertusuk duri, luka karena lecet sepatu. Persepsi yang dirumuskan pada penelitian ini bisa menjadi positif, karena jika masyarakat menyadari bahwa penyebab sederhana bisa menyebabkan luka yang kompleks, maka diharapkan timbulnya kesadaran pada masyarakat untuk lebih fokus pada perawatan kaki guna mencegah terjadinya luka kaki diabates.
Persepsi partisipan terhadap pentingnya penggunaan alas kaki yang sesuai pada penyandang DM. Penggunaan alas kaki yang memiliki offloading dianggap sangat penting untuk mencegah komplikasi kaki diabetes. Meskipun penggunaan alas kaki offloading masih rendah rendah karena terkait pembiayaan, kenyamanan, penampilan, dan akses ke alas kaki (Crowley et al., 2023). Akibatnya banyak penyandang DM menggunakan alas kaki namun jenis alas kaki yang digunakan tidak tepat. Alas kaki yang mempunyai fungsi offloading realtif lebih mahal disbanding alas kaki jenis lainnya.
Penggunaan alas kaki yang sesuai sangat penting terutama pada penyandang DM yang telah mengalami komplikasi neuropati motorik. Penyandang DM yang mengalami neuropati motorik terlihat pada manifestasi terjadinya kelainan bentuk kaki seperti hammer toes, claw toes, bunioan dan lain sebagainya. Pada penelitian ini, partisipan mempunyai persepsi bahwa kelainan bentuk kaki dianggap sebaga pencetus sederhana terjadinya luka kaki diabetes. Oleh karena itu penyandang diabetes yang telah memiliki kelainan bentuk kaki disarankan untuk menggunakan alas kaki yang sesuai setiap saat, baik di dalam maupun di luar ruangan (Schaper et al., 2020).
Penggunaan alas kaki yang tidak tepat pada pasien yang mengalami neuropati motorik dengan kelainan bentuk jari kaki sangat berisiko tinggi mengalami luka akibat penekanan alas kaki terhadap area kaki yang bentuknya tidak sesuai lagi dengan anatomi normal.
Persepsi yang terungkap pada penelitian ini yaitu penyebab terjadinya luka sangat sederhana yaitu karena kulit yang kering dan penurunan sensasi pada kaki. Sehingga tanpa disadari dapat terjadi perlukaan atau trauma pada kaki akibat benda tajam ataupun tumpul. Jeffcoate et al. (2018), mengungkapkan bahwa faktor predisposisi luka kaki diabetes adalah neuropati dan peripheral artery disease, namun trauma adalah pemicu utama terjadinya luka kaki diabetes (Hinchliffe et al., 2020).
Persepsi tentang hal-hal sederhana sebagai pencetus terjadinya luka yang berakibat besar pada kaki penyandang DM diharapkan menjadi pengalaman bagi penyandang DM untuk bisa lebih mematuhi program perawatan dan pencegahan komplikasi kaki diabetes. Peran persepsi penyakit, yaitu evaluasi kognitif pasien dan pemahaman individu tentang kondisi medisnya telah ditekankan dalam literatur sebagai aspek penting dalam pengelolaan penyakit kronis seperti DM yang berhubungan positif dengan kepatuhan terhadap pengobatan dan perilaku kesehatan (Graça Pereira et al., 2023).
Pada hasil penelitian ini dirumuskan tema kedua yaitu semua penyandang DM berisiko mengalami luka kaki diabetes. Hal ini didukung dari informasi yang disimpulkan bahwa. semua jenis penyandang DM, meski usia masih muda bisa terkena luka kaki diabetes, apalagi jika DM tidak terkontrol. Persepsi tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya benar karena pasien yang paling berisiko tinggi mengalami DFU adalah pasien DM dengan glukosa darah yang tidak terkontrol (Jeffcoate et al., 2018). Pasien DM yang mampu mengontrol kestabilan glukoa darah relatif lebih berisiko rendah mengalami DFU (Vahwere et al., 2023).
Persepsi yang disimpulkan dari para partisipan dalam tema ketiga yaitu penyandang luka kaki diabetes menghadapai ancaman kecacatan dan amputasi. Tema terhadap persepsi tersebut berasal dari berbagai pengalaman dan peristiwa yang didengar, dilihat, bahkan dialami atau berdasarkan pengalaman orang terdekatnya. Luka kaki diabetes yang tidak tertangani dengan baik berisiko untuk terjadinya amputasi bahkan kematian (Jeffcoate et al., 2018).
Luka kaki diabetes dianggap menakutkan. Partisipan mempersepsikan bahwa luka lama sembuh, luka membusuk dan luka yang menimbulkan bau tidak sedap, luka bisa berulang. Persepsi negativ ini dapat menyebabkan keputusasaan pada penyandang DFU dan keluarga (Vahwere et al., 2023). Padahal luka kaki diabetes dapt disembuhkan dengan perawatan dengan benar.
Secara umum luka kaki diabetes yang datang ke pelayanan kesehatan dalam kondisi kronis. Kondisi luka telah disertai dengan infeksi, cairan luka (eksudat) yang banyak, bahkan menimbulkan bau menyengat (Probst et al., 2019). Bedasarkan pengalaman partisipan tersebut, maka intervensi komprehensif harus dilaksanakan pada tahap awal pengobatan luka kaki diabetes, untuk mengubah persepsi luka diabetes itu menakutkan (Crowley et al., 2023). Jika luka sejak awal dirawat dengan tepat maka masalah lanjut dari luka tesebut kemungkinan bisa dieliminasi (Vahwere et al., 2023).
Sebagai tenaga kesehatan harus bisa memastikan bahwa pasien dilengkapi dengan informasi yang akurat atau informasi apa saja yang salah dan pemahaman yang kurang tepat (Vedhara et al., 2014).
Ketika pasien mendasari keyakinan tentang kondisi dan/atau perawatannya tidak sesuai dengan bukti klinis, maka partisipan cenderung tidak patuh atau tidak terlibat secara optimal dalam praktik perawatan diri yang tepat (Vedhara et al., 2014). Dengan kata lain, jika ada ketidaksesuaian antara apa yang diyakini pasien penting, dan apa yang diminta untuk mereka lakukan, kemungkinan besar akan mereka miliki keyakinan negatif tentang pengobatan dan akan lebih kecil kemungkinannya mengikuti saran perawatan kesehatan (Vedhara et al., 2014).
Tema persepsi partisipan berikutnya yaitu luka kaki menimbulkan banyak beban. Beban tersebut meliputi beban sosial, beban psikologis, dan beban ekonomi. Luka kaki diabetes memang membutuhkan perawatan dengan biaya yang bertambah dibanding perawatan penaydang DM tanpa luka. Tingkat ketergantungan pasien pun tentu akan tinggi karena pasien mengalami gangguan mobilitas fisik. Ganggun fisik penyandang DFU pun juga menambah beban psikologis pasien dan keluarga (Vahwere et al., 2023).
KESIMPULAN DAN SARAN
Keluarga dan penyandang luka kaki diabetes memiliki persepsi bervariasi terhadap luka diantaranya yaitu pencetus luka kaki diabetes sederhana namun akibatnya kompleks, semua penyandang DM Berisiko mengalami luka kaki diabetes, penyandang luka kaki diabetes menghadapai ancaman kecacatan dan amputasi, luka kaki diabetes menimbulkan banyak beban. Perlu dikembangkan penelitian untuk mengetahui dampak negatif dan positif dari persepsi yang diyakini tersebut terhadap kualitas hidup dan proses kesembuhan luka yang dialami.
Kekurangan Penelitian
Hasil penelitian ini tentu belum sempurna karena terdapat kelemahan dan keterbatasan. Salah satu keterbatasannya yaitu masih minimnya eksplorasi terhadap teori yang mendukung hasil penelitian ini. Eksplorasi teori terkait persepsi partisipan perlu dikembangkan untuk memperkaya khasanah keilmaun. Penelitian ini hanya difokuskan pada persepsi sehingga pendapat yang disampaikan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan pengalaman partisipan sebelumnya. Maka diharapkan adanya penelitian dengan metode berbeda dan sampel atau partisipan yang lebih luas dengan penggunaan instrumen yang berbeda.
References
Coffey, L., Mahon, C., & Gallagher, P. (2019). Perceptions and experiences of diabetic foot ulceration and foot care in people with diabetes: A qualitative meta-synthesis. International Wound Journal, 16(1), 183–210. https://doi.org/10.1111/iwj.13010
Crowley, B., Drovandi, A., Seng, L., Fernando, M. E., Ross, D., & Golledge, J. (2023). Patient Perspectives on the Burden and Prevention of Diabetes-Related Foot Disease. Science of Diabetes Self-Management and Care. https://doi.org/10.1177/26350106231170531
Everett, E., & Mathioudakis, N. (2018). Update on management of diabetic foot ulcers. Annals of the New York Academy of Sciences, 1411(1), 153–165. https://doi.org/10.1111/nyas.13569
Graça Pereira, M., Vilaça, M., Pedras, S., Couto de Carvalho, A., Vedhara, K., Jesus Dantas, M., & Machado, L. (2023). Wound Healing and Healing Process in Patients with Diabetic Foot Ulcers: A Survival Analysis Study. Diabetes Research and Clinical Practice, 198(December 2022), 110623. https://doi.org/10.1016/j.diabres.2023.110623
Hinchliffe, R. J., Forsythe, R. O., Apelqvist, J., Boyko, E. J., Fitridge, R., Hong, J. P., Katsanos, K., Mills, J. L., Nikol, S., Reekers, J., Venermo, M., Zierler, R. E., & Schaper, N. C. (2020). Guidelines on diagnosis, prognosis, and management of peripheral artery disease in patients with foot ulcers and diabetes (IWGDF 2019 update). Diabetes/Metabolism Research and Reviews, 36(S1), 1–12. https://doi.org/10.1002/dmrr.3276
IDF. (2022). Idf Atlas Reports. Idf.
Jeffcoate, W. J., Vileikyte, L., Boyko, E. J., Armstrong, D. G., & Boulton, A. J. M. (2018). Current challenges and opportunities in the prevention and management of diabetic foot ulcers. Diabetes Care, 41(4), 645–652. https://doi.org/10.2337/dc17-1836
Moravej, F. G., Amini, A., Masteri Farahani, R., Mohammadi-Yeganeh, S., Mostafavinia, A., Ahmadi, H., Omidi, H., Rezaei, F., Gachkar, L., Hamblin, M. R., Chien, S., & Bayat, M. (2023). Photobiomodulation, alone or combined with adipose-derived stem cells, reduces inflammation by modulation of microRNA-146a and interleukin-1ß in a delayed-healing infected wound in diabetic rats. Lasers in Medical Science, 38(1), 1–14. https://doi.org/10.1007/s10103-023-03786-2
Probst, S., Saini, C., & Skinner, M. B. (2019). Comparison of sterile polyacrylate wound dressing with activated carbon cloth and a standard non-adhesive hydrocellular foam dressing with silver: A randomised controlled trial protocol. Journal of Wound Care, 28(11), 722–728. https://doi.org/10.12968/jowc.2019.28.11.722
Schaper, N. C., van Netten, J. J., Apelqvist, J., Bus, S. A., Hinchliffe, R. J., & Lipsky, B. A. (2020). Practical Guidelines on the prevention and management of diabetic foot disease (IWGDF 2019 update). Diabetes/Metabolism Research and Reviews, 36(S1), 1–10. https://doi.org/10.1002/dmrr.3266
Vahwere, B. M., Ssebuufu, R., Namatovu, A., Kyamanywa, P., Ntulume, I., Mugwano, I., Pius, T., Sikakulya, F. K., Xaviour, O. F., Mulumba, Y., Jorge, S., Agaba, G., & Nasinyama, G. W. (2023). Factors associated with severity and anatomical distribution of diabetic foot ulcer in Uganda: a multicenter cross-sectional study. BMC Public Health, 23(1), 1–14. https://doi.org/10.1186/s12889-023-15383-7
van Netten, J. J., Bus, S. A., Apelqvist, J., Lipsky, B. A., Hinchliffe, R. J., Game, F., Rayman, G., Lazzarini, P. A., Forsythe, R. O., Peters, E. J. G., Senneville, É., Vas, P., Monteiro-Soares, M., & Schaper, N. C. (2020). Definitions and criteria for diabetic foot disease. Diabetes/Metabolism Research and Reviews, 36(S1), 1–6. https://doi.org/10.1002/dmrr.3268
Vedhara, K., Dawe, K., Wetherell, M. A., Miles, J. N. V., Cullum, N., Dayan, C., Drake, N., Price, P., Tarlton, J., Weinman, J., Day, A., & Campbell, R. (2014). Illness beliefs predict self-care behaviours in patients with diabetic foot ulcers: A prospective study. Diabetes Research and Clinical Practice, 106(1), 67–72. https://doi.org/10.1016/j.diabres.2014.07.018
Downloads
Published
Versions
- 2023-12-31 (2)
- 2023-12-28 (1)
How to Cite
Issue
Section
Citation Check
License
Copyright (c) 2023 Indramsyah, Daisy Novira (Author)

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License that allows others to share the work with an acknowledgment of the works authorship and initial publication in this journal and able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journals published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book).









