Age, Education, and Use of Health Applications Are Associated with Acceptance of Use of Chronic Disease Detection Applications

Authors

  • Evina Widianawati Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
  • Nugraheni Kusumawati Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
  • Widya Ratna Wulan Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia
  • Ika Pantiawati Universitas Dian Nuswantoro, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.1181

Keywords:

Characteristics, Age, Educational level, Disease detection application

Abstract

The results of the examination of patients who take part in the Prolanis program are only recorded at health care facilities, while the patients themselves do not know the results of the examination. To bridge this, chronic disease detection applications are designed. There are several factors that can affect a user's willingness to use the application, one of which is the user's characteristics. This study aims to examine the relationship between respondent characteristics and acceptance of chronic disease detection applications. The type of research used is quantitative research with the location of the study, namely in health service facilities in Semarang Regency, namely Lerep Health Center, Ungaran Health Center and Niki Helti Clinic. Data were obtained through questionnaires with a linkert scale filled out by patients in health care facilities as system users as many as 131 respondents. The study will be conducted in June-August 2023. Data analysis techniques using Chi square test and Spearman Rank test. The results showed that there was a relationship between age (p value 0.001), education (p value 0.000), length of use of mobile phones (p value 0.001) and use of health applications (p value 0.012) on the acceptance of chronic disease detection applications. Gender (p value 0.051), occupation (p value 0.626) and length of work (p value 0.293) were not associated with acceptance of chronic disease detection applications. In further research, it is recommended to conduct a mix method study, apply a qualitative approach, and add variables such as digital literacy.

PENDAHULUAN

Pemerintah memiliki kebijakan terbaru terkait penggunaan sistem Rekam Medis Elektronik yaitu seluruh fasilitas kesehatan wajib menggunakan Rekam Medis Elektronik (RME) berdasarkan Peraturan PMK No. 24 Tahun 2022. Dengan adanya RME dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan melalui pemanfaatan teknologi informasi (Alfian & Basra, 2020; Wibowo & Chuvita, 2023). Kebijakan ini memudahkan petugas kesehatan dalam mendapatkan riwayat kesehatan pasien dalam membantu diagnosa pasien (Priambodo, 2019). Namun belum ada kebijakan terkait personal health record (PHR) agar pasien mengetahui riwayat kesehatannya (Heart et al., 2017) dan sebagai sarana deteksi awal penyakit. PHR merupakan rekam kesehatan yang dikelola individu yang berisi kumpulan informasi kesehatan seseorang (Mandels, 2021). Dengan mengetahui riwayat kesehatannya, pasien menjadi waspada akan gejala atau penyebab awal suatu penyakit. Deteksi awal penyakit turut membantu pasien dalam mengetahui risiko kesehatan, pencegahan penyakit dan penanganan yang lebih cepat (Muliasari et al., 2019).

Penyakit kronis adalah gangguan kesehatan yang berlangsung lama (Nugroho et al., 2023), biasanya lebih dari 1 tahun. Beberapa penyakit yang termasuk penyakit kronis yaitu hipertensi, diabetes melitus, jantung, kanker dan stroke (Amila et al., 2021; Widakdo & Besral, 2013). Pemerintah memiliki program pengelolaan penyakit kronis (Prolanis) (Rosdiana et al., 2017) yang dijalankan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di seluruh Indonesia. Hasil pemeriksaan pasien yang mengikuti program Prolanis hanya tercatat di fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan pasien sendiri tidak memiliki PHR untuk mengetahui hasil pemeriksaan setiap bulannya. Untuk menjembatani hal tersebut dirancang aplikasi deteksi penyakit kronis yang dapat berfungsi sebagai alat pencatatan riwayat kesehatan dan deteksi dini penyakit kronis.

Dalam menggunakan aplikasi penyakit kronis, tidak semua responden dapat menerima dan menggunakan aplikasi dengan baik. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesediaan pengguna untuk menggunakan aplikasi salah satunya yaitu karakteristik pengguna (Fathonah & Hartijasti, 2014). Karakteristik pengguna pada aplikasi deteksi penyakit kronis terbagi menjadi beberapa karakteristik yaitu pengguna ditinjau dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, lama bekerja, lama menggunakan perangkat seluler dan pernah menggunakan aplikasi kesehatan. Dari karakteristik tersebut diteliti bagaimana hubungannya dengan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis. Oleh karena itu diteliti terkait karakteristik responden pada aplikasi deteksi penyakit kronis.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan desain potong lintang. Penelitian ini berlokasi di fasilitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Semarang yaitu Puskesmas Lerep, Puskesas Ungaran dan Klinik Niki Helti pada bulan Juni-Agustus 2023.

Populasi penelitian adalah seluruh pasien di fasilitas pelayanan kesehatan di kabupaten semarang dan dengan menggunakan metode accidental sampling, sampel pada penelitian ini adalah 131 pasien di fasilitas pelayanan kesehatan.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada karakteristik responden berupa pada karakteristik responden berupa usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, lama bekerja, lama menggunakan perangkat seluler dan pernah menggunakan aplikasi kesehatan (Rachmani et al., 2019).

Pengolahan dan Analisis Data

Data dianalisis distribusi frekuensi dan analisis biavriat. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square untuk variabel usia, pekerjaan, jenis kelamin, penggunaan aplikasi kesehatan serta uji Rank Spearman untuk variabel pendidikan, lama bekerja, lama menggunakan mobile phone dengan derajat kemaknaan 95%.

HASIL

Tabel 1. Hubungan Usia dan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis

Usia dewasa sebanyak 35% menerima, 61% cukup menerima dan 4% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada usia pra lansia sebanyak 27% menerima, 61% cukup menerima dan 12% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada usia lansia sebanyak 15% menerima, 48% cukup menerima dan 36% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Kelompok usia lansia merupakan kelompok usia yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi deteksi penyakit kronis, sedangkan usia dewasa dan pra lansia cukup menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Nilai p-value sebesar 0,001 < 0,05 (Tabel 1).

Tabel 2. Hubungan Pekerjaan dan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis

Tabel 2 diketahui bahwa pada pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 23% menerima, 63% cukup menerima dan 14% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pekerjaan karyawan sebanyak 18% menerima, 59% cukup menerima dan 23% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pekerjaan PNS sebanyak 43% menerima, 50% cukup menerima dan 7% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pekerjaan wiraswasta sebanyak 31% menerima, 54% cukup menerima dan 15% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pekerjaan karyawan merupakan kelompok pekerja yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan ibu rumah tangga dan wiraswasta cukup menerima aplikasi serta PNS paling mudah menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,626 > 0,05.

Tabel 3. Hubungan Lama Bekerja dan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis

Tabel 3 diketahui bahwa lama bekerja < 5 tahun sebanyak 30% menerima, 57% cukup menerima dan 13% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama bekerja 6-15 tahun sebanyak 19% menerima, 63% cukup menerima dan 19% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama bekerja >15 tahun sebanyak 24% menerima, 58% cukup menerima dan 18% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Lama bekerja < 5 tahun merupakan yang paling mudah menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan lama bekerja 6- 15 tahun dan > 15 tahun cukup menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,293 > 0,05 sehingga tidak terdapat hubungan antara lama bekerja dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Tabel 4. Hubungan Jenis Kelamin dan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis

Tabel 4 diketahui bahwa pada perempuan sebanyak 25% menerima, 55% cukup menerima dan 20% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada laki-laki sebanyak 31% menerima, 67% cukup menerima dan 3% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Jenis kelamin perempuan merupakan yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan laki-laki cukup menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,051 > 0,05 sehingga tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Tabel 5. Hubungan Pendidikan dan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis

Tabel 5 diketahui bahwa pada pendidikan tidak sekolah sebanyak 17% menerima, 33% cukup menerima dan 50% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pendidikan SD-SMP sebanyak 5-14% menerima, 71-77% cukup menerima dan 14-18% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pendidikan SMA- Sarjana sebanyak 33-38% menerima, 52-63% cukup menerima dan 0-16% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada pendidikan magister sebanyak 100% menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Status pendidikan tidak sekolah merupakan kelompok pekerja yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan pendidikan SMP-Sarjana cukup menerima aplikasi serta pendidikan magister paling mudah menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,000 < 0,05 sehingga terdapat hubungan antara pendidikan dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Tabel 6. Hubungan Penggunaan Perangkat Seluler dan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis

Tabel 6 diketahui bahwa pada tidak memiliki mobile phone 30% menerima, 37% cukup menerima dan 33% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama penggunaan mobile phone 1-5 tahun sebanyak 10% menerima, 71% cukup menerima dan 20% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama penggunaan mobile phone 6-10 tahun sebanyak 29% menerima, 65% cukup menerima dan 6% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada lama penggunaan mobile phone >10 tahun sebanyak 45% menerima, 52% cukup menerima dan 3% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Lama penggunaan mobile phone < 5 tahun merupakan yang paling sulit menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan lama penggunaan mobile phone 6- 10 tahun dan > 10 tahun cukup menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,001 < 0,05 sehingga terdapat hubungan antara lama penggunaan mobile phone dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Tabel 7. Hubungan Penggunaan Aplikasi Kesehatan dan Penerimaan Aplikasi Deteksi Penyakit Kronis

Tabel 7 diketahui bahwa status tidak pernah menggunakan aplikasi kesehatan sebanyak 18% menerima, 63% cukup menerima dan 19% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pada status pernah menggunakan aplikasi kesehatan sebanyak 40% menerima, 50% cukup menerima dan 10% tidak menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Pernah menggunakan aplikasi kesehatan merupakan yang paling mudah menerima atau menggunakan aplikasi, sedangkan tidak pernah menggunakan aplikasi kesehatan cukup menerima aplikasi. Nilai p-value sebesar 0,012 > 0,05 sehingga terdapat hubungan antara penggunaan aplikasi kesehatan dan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor usia, riwayat pendidikan formal, lama menggunakan perangkat seluler, dan kepemilikan apllikasi kesehatan berhubungan dengan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis. Hal ini berdasarkan kepada karakteristik dari kelompok pada berbagai tingkatan usia yang cenderung memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah terhadap teknologi kesehatan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor fisik dan kognitif yang berkaitan dengan penuaan, seperti penurunan penglihatan atau pemahaman teknologi yang terbatas, dapat mempengaruhi kesiapan lansia dalam mengadopsi inovasi teknologi kesehatan (Czaja et al., 2006), lebih lanjut hal ini berkaitan berkaitan pada kemampuan kognitif terhadap ketertarikan dan penggunaan teknologi kesehatan. Sejalan dengan hal tersebut, kemampuan kognitif dapat dihubungkan dengan riwayat pendidikan, dan pengalamannya terhadap aplikasi kesehatan.

Kemampuan kognitif individu memberikan kontribusi signifikan terhadap ketertarikan dan adopsi teknologi kesehatan, dan merupakan fenomena yang menjadi fokus penelitian multidisipliner (Czaja et al., 2006; Thomas et al., 2010; Wilmer et al., 2017). Dalam konteks ini, tingkat kemampuan kognitif mempengaruhi pemahaman dan interpretasi informasi kompleks yang disampaikan melalui aplikasi kesehatan, termasuk petunjuk penggunaan dan panduan perawatan pada aplikasi penyakit kroniks. Selain itu, kemampuan kognitif yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan ketertarikan dan motivasi individu untuk mengadopsi teknologi kesehatan, karena pemahaman yang lebih baik terhadap manfaatnya. Selain itu, aspek kemampuan memori juga memainkan peran penting dalam keberhasilan penggunaan teknologi kesehatan, di mana individu yang mampu menyimpan informasi terkait perawatan dan pengobatan dapat lebih efektif mengelola penggunaan aplikasi kesehatan (Thomas et al., 2010).

Tingkat kemampuan terhadap perencanaan dan pengorganisasian yang utamanya jika dikaitkan dengan kesehatan, juga memiliki implikasi yang signifikan terhadap efektivitas individu untuk menerima dan menggunakan aplikasi kesehatan (Czaja et al., 2006). Individu dengan pengalaman pemanfaatan aplikasi kesehatan sebelumnya yang tinggi cenderung mampu mengelola penggunaan aplikasi kesehatan secara lebih terstruktur, dan toleransi terhadap teknologi baru, memerlukan kecakapan dan keterbukaan. Karenanya, adopsi inovasi yang dihadirkan pada aplikasi kesehatan, memerlukan eksplorasi dan adopsi teknologi kesehatan baru (Louart et al., 2023; Perski & Short, 2021).

Hasil penelitian ini menekankan kepada perlunya eksplorasi mendalam terhadap kompleksitas aspek psiko-sosio-demografis untuk menghadirkan teknologi sebagai salah satu media promosi kesehatan dalam langkah promotif, dan preventif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa usia lansia, pekerjaan karyawan, jenis kelamin perempuan, pendidikan tidak sekolah, dan lama penggunaan mobile phone < 5 tahun menunjukkan kesulitan dalam menerima aplikasi deteksi penyakit kronis. Sebaliknya, lama bekerja < 5 tahun, pekerjaan PNS, dan penggunaan aplikasi kesehatan sebelumnya menandakan kemudahan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis. Terdapat hubungan positif antara usia, pendidikan, lama menggunakan mobile phone, dan penggunaan aplikasi kesehatan dengan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis. Sementara itu, jenis kelamin, pekerjaan, dan lama bekerja tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan penerimaan aplikasi deteksi penyakit kronis.

Kekurangan Penelitian

Penelitian ini memiliki kekurangan dalam metode pengumpulan data yang kurang mendalam, dan keterbatasan variabel sosiodemografis. Untuk penelitian berikutnya, disarankan melakukan studi mix method, menerapkan pendekatan kualitatif, dan menambah variabel seperti literasi digital.

References

Alfian, A. R., & Basra, M. U. (2020). Analisis Pelaksanaan E-Puskesmas di Puskesmas Ikur Koto Padang. Jurnal Endurance?: Kajian Ilmiah Problema Kesehatan, 5(2), 495–402. https://doi.org/10.22216/jen.v5i2.5043

Amila, A., Sembiring, E., & Aryani, N. (2021). Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Degeneratif Pada Masyarakat Wilayah Mutiara Home Care. Jurnal Kreativitas Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM), 4(1), Article 1. https://doi.org/10.33024/jkpm.v4i1.3441

Czaja, S. J., Charness, N., Fisk, A. D., Hertzog, C., Nair, S. N., Rogers, W. A., & Sharit, J. (2006). Factors Predicting the Use of Technology: Findings From the Center for Research and Education on Aging and Technology Enhancement (CREATE). Psychology and Aging, 21(2), 333–352. https://doi.org/10.1037/0882-7974.21.2.333

Fathonah, N., & Hartijasti, Y. (2014). The Influence of Perceived Organizational Injustice towards Workplace Personal Web Usage and Work Productivity in Indonesia. The South East Asian Journal of Management, 8(2). https://doi.org/10.21002/seam.v8i2.3931

Heart, T., Ben-Assuli, O., & Shabtai, I. (2017). A review of PHR, EMR and EHR integration: A more personalized healthcare and public health policy. Health Policy and Technology, 6(1), 20–25. https://doi.org/10.1016/j.hlpt.2016.08.002

Louart, S., Hedible, G. B., & Ridde, V. (2023). Assessing the acceptability of technological health innovations in sub-Saharan Africa: A scoping review and a best fit framework synthesis. BMC Health Services Research, 23(1), 930. https://doi.org/10.1186/s12913-023-09897-4

Mandels, R. J. (2021). Meningkatkan literasi kesehatan melalui inovasi personal health record. Jurnal Cakrawala Ilmiah, 1(4), Article 4. https://doi.org/10.53625/jcijurnalcakrawalailmiah.v1i4.855

Muliasari, H., Hamdin, C. D., Ananto, A. D., & Ihsan, M. (2019). Edukasi dan deteksi dini diabetes mellitus sebagai upaya mengurangi prevalensi dan resiko penyakit degeneratif. Jurnal Pendidikan Dan Pengabdian Masyarakat, 2(1), Article 1. https://doi.org/10.29303/jppm.v2i1.1018

Nugroho, M. A., Kumboyono, K., & Setyoadi, S. (2023). Analisa Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberculosis: Perbandingan Penggunaan Layanan Pesan Singkat dengan Pengawas Minum Obat. Jurnal Akademika Baiturrahim Jambi, 12(1), Article 1. https://doi.org/10.36565/jab.v12i1.588

Perski, O., & Short, C. E. (2021). Acceptability of digital health interventions: Embracing the complexity. Translational Behavioral Medicine, 11(7), 1473–1480. https://doi.org/10.1093/tbm/ibab048

Priambodo, R. (2019). Rekam Medis Elektronik Menggunakan Sistem Penyimpanan Foto Intraoral Gigi untuk Aplikasi Teledentistry berbasis Internet of Things. Jurnal Inovtek Polbeng Seri Informatika, 4(2), Article 2. https://doi.org/10.35314/isi.v4i2.1035

Rachmani, E., Hsu, C.-Y., Nurjanah, N., Chang, P. W., Shidik, G. F., Noersasongko, E., Jumanto, J., Fuad, A., Ningrum, D. N. A., Kurniadi, A., & Lin, M.-C. (2019). Developing an Indonesia’s health literacy short-form survey questionnaire (HLS-EU-SQ10-IDN) using the feature selection and genetic algorithm. Computer Methods and Programs in Biomedicine, 182, 105047. https://doi.org/10.1016/j.cmpb.2019.105047

Rosdiana, A. I., Raharjo, B. B., & Indarjo, S. (2017). Implementasi Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis). HIGEIA (Journal of Public Health Research and Development), 1(3), Article 3.

Thomas, S., Benke, G., Dimitriadis, C., Inyang, I., Sim, M., Wolfe, R., Croft, R., & Abramson, M. (2010). Use of mobile phones and changes in cognitive function in adolescents. Occupational and Environmental Medicine, 67, 861–866. https://doi.org/10.1136/oem.2009.054080

Wibowo, S. S., & Chuvita, L. (2023). Perancangan rekam kesehatan personal (rkp) untuk deteksi dini cegah stunting pada balita di posyandu. Jurnal Endurance, 8(1), 1–8. https://doi.org/10.22216/jen.v8i1.1786

Widakdo, G., & Besral, B. (2013). Efek Penyakit Kronis terhadap Gangguan Mental Emosional. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional (National Public Health Journal), 7(7), Article 7. https://doi.org/10.21109/kesmas.v7i7.29

Wilmer, H. H., Sherman, L. E., & Chein, J. M. (2017). Smartphones and Cognition: A Review of Research Exploring the Links between Mobile Technology Habits and Cognitive Functioning. Frontiers in Psychology, 8, 605. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00605

Published

2023-12-31 — Updated on 2023-12-31

Versions

How to Cite

Widianawati, E., Kusumawati, N., Wulan, W. R., & Pantiawati, I. (2023). Age, Education, and Use of Health Applications Are Associated with Acceptance of Use of Chronic Disease Detection Applications. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(3), e1181. https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.1181

Issue

Section

Original Research

Citation Check