Habitual Factors of Not Using Footwear and Washing Hands Affect the Prevalence of Worms in Elementary School-Age Children
DOI:
https://doi.org/10.36990/hijp.v15i1.785Keywords:
Footwear use, Hand washing, Worm infection prevention, Elementary school-age childrenAbstract
Worms are one of the infections that occur in children, and cause the risk of worsening health with causative factors associated with WASH (water, sanitation, hygiene). This study aims to determine the effect of the habit of not using footwear and washing hands on the prevalence of worms in elementary school-age children in the Doom Islands, Sorong, West Papua. The research design used was a quasi-experimental pretest-posstest comparison group design, namely the entire case sample and control carried out fecal examination as a whole (pretest), then observation samples for 2 months and given health education treatment in the case group, and then re-stool examination (posttest). Sampling was carried out by the total sampling method with a total sample of 68 people. The results of the study found that there was an influence of the habit of not using footwear (p = 0.000) and the habit of not washing hands (p = 0.000) on the prevalence of worms in school-age children. The habit of not using footwear and the habit of not washing hands affect the prevalence of worms, so it is recommended to school principals to provide education related to PHBS to students.
PENDAHULUAN
Infeksi cacing yang paling umum ditemukan di Indonesia disebabkan oleh nematoda usus, terutama soil-transmitted helminths (STH), yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang, termasuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale, yang ditularkan melalui tanah. Prevalensi infeksi ini signifikan, dengan penelitian menunjukkan tingkat prevalensi STH yang tinggi di berbagai wilayah Indonesia (Arta Suryantari, 2019; Saputri et al., 2020; Yuwono et al., 2019). Iklim tropis Indonesia sangat mendukung penyebaran STH yang berkontribusi pada persistensi infeksi (Rosa et al., 2018; Wibawa & Tunggul Satoto, 2016). Kejadian infeksi memberikan beban berat dan terutama di daerah pedesaan, dan kepulauan (Sungkar et al., 2015).
Persistensi infeksi STH berkorelasi dengan sanitasi lingkungan dan kebersihan pribadi. Berbagai penelitian menyatakan bahwa adanya pengendalian pada air, sanitasi, dan kebersihan (WASH) berhubungan dengan risiko yang lebih rendah terhadap infeksi STH (Strunz et al., 2014). Praktik kebersihan pribadi yang buruk dan akses terbatas ke fasilitas sanitasi telah diidentifikasi sebagai faktor kontribusi signifikan terhadap prevalensi tinggi infeksi parasit usus, khususnya pada anak-anak di Indonesia (Saputri et al., 2020). Tinjauan sistematis menyoroti intervensi yang bertujuan mengontrol faktor WASH dalam mencegah dan mengurangi prevalensi infeksi STH (Freeman et al., 2016).
Secara garis besar, infeksi STH pada anak meningkatkan perburukan kesehatan dan berimplikasi jangka panjang. Penelitian Djuardi et al. (2021) di Ende, Nusa Tenggara Timur menemukan adanya kejadian anemia dan malnutrisi pada anak usia prasekolah dengan infeksi cacing A. lumbricoides. Penelitian terdahulu dilakukan oleh Burdam et al. (2016) melalui survei pada komunitas di Papua, berkaitan dengan infeksi Plasmodium, faktor pembawa kecacingan, dan risiko anemia, dengan hasil bahwa infeksi cacing tanah P. vivax dan P. falciparum dapat terjadi secara asimtomatik dan meningkatkan risiko terjadinya anemia pada anak. Dari penelitian Novianty et al. (2018) bahwa selain kebersihan personal anak, faktor ibu/pengasuh (mencuci tangan, memotong kuku) juga meningkatkan risiko terhadap infeksi STH.
Pada survei awal yang dilakukan oleh peneliti di Kepulauan Doom, Sorong, Papua Barat, melalui observasi langsung, di mana anak-anak lebih sering tidak menggunakan alas kaki saat bermain di luar rumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kebiasaan tidak menggunakan alas kaki dan mencuci tangan terhadap prevalensi cacingan pada anak usia sekolah dasar di Kepulauan Doom, Sorong, Papua Barat.
METODE
Penelitian ini adalah kuasi eksperimen rancangan pretest-posstest comparison group design yaitu keseluruhan sampel kasus dan kontrol dilakukan pemeriksaan feses secara keseluruhan (prates), perlakuan pada kelompok kasus yaitu edukasi mencuci tangan , dan menggunakan alas kaki. Edukasi dilakukan selama 4 kali (2 kali dalam satu bulan), dan observasi selama 2 bulan. Pada akhir penelitian, dilakukan kembali pemeriksaan feses (pascates). Penelitian dilakukan pada bulan Agustus-Oktober tahun 2020.
Populasi dan Subjek
Populasi penelitian ini adalah murid sekolah dasar di SD Inpres 5 Doom, Distrik Sorong, Kepulauan Sorong, Papua Barat, pada kelas 1-6. Kriteria inklusi penelitian adalah 1) siswa SD Inpres 5 Doom, 2) bersedia menjadi responden, 3) dalam Keadaan Sehat, dan 4) berdomisili di Doom). Sedangkan kriteria eksklusi yaitu 1) tidak berdomisili di Doom, 2) tidak bersedia menjadi responden, dan 3) lingkungan yang terdapat kasus COVID-19. Total subjek penelitian adalah 68 anak dan dikelompokkan masing-masing 34 anak pada kelompok kasus, dan 34 anak pada kelompok kontrol.
Pengambilan Data dan Pemeriksaan Sampel Feses
Sampel feses terlebih dahulu diambil oleh keluarga subjek penelitian. Sebanyak ± 10ml feses disimpan pada pot feses dan dikumpulkan oleh tim peneliti pada hari prates dan pascates. Metode pemeriksaan feses dengan menggunakan microscopy-based techniques (Khurana & Sethi, 2017). Hasil pemeriksaan dievaluasi berdasarkan intensitas cacing.
Kelompok kasus diberikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya mencuci tangan dan menggunakan alas kaki. Pengumpulan data demografi, kebiasaan mencuci tangan dan kebiasaan menggunakan alas kaki dilakukan oleh tim peneliti.
Analisis Data
Data hasil penelitian terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-smirnov, data tidak terdistribusi normal dan uji menggunakan uji Wilcoxon dengan taraf signifikan (?) 0,05% atau tingkat kepercayaan 95%.
HASIL
Tabel 1 menunjukkan dari 34 siswa kelompok kasus yang menderita cacingan pada saat pretest sebanyak (76.5%) siswa dan tidak cacingan sebanyak (23.5%), sedangkan pada saat post test siswa yang cacingan sebanyak (2.9%%) dan tidak cacingan sebanyak (97.1%). Serta kelompok kontrol pada saat pretest siswa yang menderita cacingan sebanyak (73.5%) dan yang tidak cacingan sebanyak (26.5%) sedangkan pada saat post test siswa yang cacingan sebesar (67.6%) dan yang tidak cacingan sebesar (32.4%). Berdasarkan uji statistik wilcoxon diperoleh nilai p=0.000, dimana nilai p <? (0.05). hal ini berarti ada pengaruh kebiasaan tidak menggunakan alas kaki terhadap prevalensi cacingan pada siswa SD Inpres 5 Doom.
Tabel 2 menunjukkan dari 34 siswa kelompok case yang menderita cacingan pada saat pretest sebanyak (76.5%) siswa yang cacingan dan tidak cacingan sebanyak (23.5%), sedangkan pada saat post test siswa yang cacingan sebanyak (2.9%) dan tidak cacingan sebanyak (97,1%). Serta kelompok kontrol pada saat pretest siswa yang menderita cacingan sebanyak (73.5%) dan yang tidak cacingan sebanyak (26.5%) sedangkan pada saat post test siswa yang cacingan sebesar (67.6%) dan yang tidak cacingan sebesar (32.4%). Berdasarkan uji statistik wilcoxon diperoleh nilai p= 0.000, berarti nilai p <? (0.05). hal ini berarti ada pengaruh kebiasaan tidak mencuci tangan terhadap prevalensi cacingan pada siswa SD Inpres 5 Doom.
PEMBAHASAN
Kebiasaan tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas di luar rumah berisiko terhadap terjadinya infeksi cacing. Menggunakan alas kaki berupa sandal atau sepatu pada saat beraktivitas di luar rumah dapat mengurangi kontak kulit kaki dengan tanah, tanah merupakan media mutlak yang diperlukan oleh beberapa jenis cacing seperti cacing gelang, cacing cambuk dan cacing tambang. Namun, cacing yang dapat menginfeksi manusia melalui pori-pori kulit adalah jenis cacing tambang. Meta analisis yang dilakukan oleh Tomczyk et al. (2014) bahwa penggunaan alas kaki berhubungan dengan penyakit tropis infeksi cacing tambang, dan termasuk infeksi STH lainnya.
Siklus hidup gabungan cacing usus (STH), termasuk cacing kait, Trichuris trichiura, dan Ascaris lumbricoides, dimulai dengan telur yang tidak terembriogenik yang diekskresikan melalui tinja. Telur-telur ini berkembang menjadi larva di tanah. Telur infektif A. lumbricoides dan T. trichiura memasuki usus kecil setelah tertelan, sedangkan telur cacing kait menetas di lingkungan dan berkembang menjadi larva infektif. Setelah kontak dengan manusia, larva cacing kait menembus kulit, mencapai jantung, paru-paru, dan kembali ke saluran pencernaan. Larva Ascaris juga mengalami migrasi melalui hati dan paru-paru sebelum kembali ke usus kecil. Di usus, larva berkembang menjadi cacing dewasa yang menghasilkan telur yang diekskresikan bersama feses. Cacing dewasa Ascaris hidup di lumen usus kecil, sementara cacing kait melekat pada dinding usus. Larva Trichuris berkembang menjadi dewasa di kolon dan menembus mukosa. Ke tiga STH menghasilkan telur di usus, yang diekskresikan bersama feses (Centers for Disease Control and Prevention, 2022).
Hasil penelitian ini didapatkan dari 34 siswa kelompok case yang menderita cacingan pada saat pretest sebanyak (76.5%) siswa yang cacingan dan tidak cacingan sebanyak (23.5%), sedangkan pada saat post test siswa yang cacingan sebanyak (2.9%%) dan tidak cacingan sebanyak (97.1%). Serta kelompok kontrol pada saat pretest siswa yang menderita cacingan sebanyak (73.5%) dan yang tidak cacingan sebanyak (26.5%) sedangkan pada saat post test siswa yang cacingan sebesar (67.6%) dan yang tidak cacingan sebesar (32.4%). Berdasarkan uji statistik wilcoxon diperoleh nilai p=0.000, dimana nilai p <? (0.05) hal ini berarti ada pengaruh kebiasaan tidak menggunakan alas kaki terhadap prevalensi cacingan pada siswa SD Inpres 5 Doom.
Keadaan ini menggambarkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat masih kurang baik. Hasil pengaruh kebiasaan tidak menggunakan alas kaki didapat prevalensi cacingan dalam kategori tinggi yaitu angka kecacingan pada kelompok case dan control > 50 %. Sejalan dengan penelitian Bria et al. (2022) menunjukkan infeksi STH pada anak usia sekolah di desa Oemasi dari jenis A. lumbricoides, dan infeksi tersebut bersifat asimptomatik. Kebiasaan tidak memakai alas kaki di luar rumah, terutama bila menginjak tanah, meningkatkan risiko kontak langsung dengan telur cacing yang kemudian dapat berakibat masuknya telur cacing ke dalam pori-pori kulit (Centers for Disease Control and Prevention, 2022).
Faktor WASH selain penggunaan alas kaki adalah kebiasaan mencuci tangan sebelum makan. Karena anak-anak bermain dengan kontak langsung pada tanah, telur cacing berisiko masuk pada ke dalam tubuh. Penelitian Novianty et al. (2018) menunjukkan bahwa kebersihan tangan dan termasuk kuku anak dan ibu/pengasuh menjadi faktor risiko terjadinya infeksi STH. Hasil penelitian ini didapatkan dari 34 siswa kelompok kasus yang menderita cacingan pada saat pretest sebanyak (76.5%) siswa yang cacingan dan tidak cacingan sebanyak (23.5%), sedangkan pada saat post test siswa yang cacingan sebanyak (2.9%) dan tidak cacingan sebanyak (97,1%). Serta kelompok kontrol pada saat pretest siswa yang menderita cacingan sebanyak (73.5%) dan yang tidak cacingan sebanyak (26.5%) sedangkan pada saat post test siswa yang cacingan sebesar (67.6%) dan yang tidak cacingan sebesar (32.4%). Berdasarkan uji statistik wilcoxon diperoleh nilai p= 0.000, berarti nilai p <? (0.05) hal ini berarti ada pengaruh kebiasaan tidak mencuci tangan terhadap prevalensi cacingan pada siswa SD Inpres 5 Doom.
Keadaan ini menggambarkan bahwa perilaku hidup bersih dan sehat masih kurang baik. Dilihat pada hasil pengaruh kebiasaan tidak mencuci tangan didapat prevalensi cacingan dalam kategori tinggi yaitu angka kecacingan pada kelompok kasus dan kontrol > 50 %. Penelitian yang dilakukan oleh Umar (2008) menunjukkan hubungan signifikan antara perilaku mencuci tangan dan kejadian helmintiasis. Kebersihan tangan yang buruk, khususnya kurangnya mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum makan, merupakan faktor kontribusi terhadap tingginya prevalensi infeksi parasit, seperti helmintiasis. Hanif et al. (2017) menyoroti faktor risiko yang berkontribusi terhadap tingginya prevalensi helmintiasis, termasuk kebersihan perorangan yang buruk dan praktik higienitas yang kurang baik. Kebiasaan siswa SD 5 Inpres Doom yang berkaitan dengan kebiasaan tidak mencuci tangan terhadap prevalensi cacingan, sebagian besar masuk dalam kategori tidak mencuci tangan. Hal ini terlihat pada persentase kebiasaan tidak mencuci tangan yang berpotensi terhadap terjadinya cacingan sebanyak >70 %. Cuci tangan berperan dalam mencegah kesakitan dan penularan berbagai macam penyakit diantaranya kecacingan, dengan catatan bahwa dilakukan dengan teknik dan sumber air yang tepat (Kementerian Kesehatan, 2020).
KESIMPULAN DAN SARAN
Ada pengaruh kebiasaan tidak menggunakan alas kaki terhadap prevalensi cacingan pada anak SD INPRES 5 Doom Distrik Sorong Kepulauan Sorong Papua Barat. Berdasarkan temuan penelitian disarankan kepada pihak sekolah memberikan edukasi kepada seluruh siswanya agar selalu menggunakan alas kaki dan mencuci tangan sebelum makan dan melakukan aktivitas lainnya.
Kekurangan Penelitian
Peneliti tidak mengkaji faktor latar belakang sosiodemografi secara mendalam yang dapat mempengaruhi faktor prevalensi kecacingan.
References
Arta Suryantari, S. A. (2019). Prevalence, Intensity and Risk Factors of Soil Transmitted Helminths Infections Among Elementary School Students in Ngis Village, Karangasem District, Bali. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. https://doi.org/10.20473/ijtid.v7i6.9952
Bria, M., Yudhaswara, N. A., & Susilawati, N. M. (2022). Prevalence And Intensity Of Ascaris lumbricoides Infection In Children Of Oemasi Village, Kupang District, East Nusa Tenggara Province, Indonesia. Science Midwifery, 10(4), Article 4. https://doi.org/10.35335/midwifery.v10i4.749
Burdam, F. H., Hakimi, M., Thio, F., Kenangalem, E., Indrawanti, R., Noviyanti, R., Trianty, L., Marfurt, J., Handayuni, I., Soenarto, Y., Douglas, N. M., Anstey, N. M., Price, R. N., & Poespoprodjo, J. R. (2016). Asymptomatic Vivax and Falciparum Parasitaemia with Helminth Co-Infection: Major Risk Factors for Anaemia in Early Life. PLOS ONE, 11(8), e0160917. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0160917
Centers for Disease Control and Prevention. (2022, January 31). CDC - Soil-Transmitted Helminths. https://www.cdc.gov/parasites/sth/index.html
Djuardi, Y., Lazarus, G., Stefanie, D., Fahmida, U., Ariawan, I., & Supali, T. (2021). Soil-transmitted helminth infection, anemia, and malnutrition among preschool-age children in Nangapanda subdistrict, Indonesia. PLOS Neglected Tropical Diseases, 15(6), e0009506. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0009506
Freeman, M. C., Strunz, E., Utzinger, J., & Addiss, D. G. (2016). Interventions to Improve Water, Sanitation, and Hygiene for Preventing Soil-Transmitted Helminth Infection. Cochrane Database of Systematic Reviews. https://doi.org/10.1002/14651858.cd012199
Hanif, D. I., Yunus, M., & Gayatri, R. W. (2017). GAMBARAN PENGETAHUAN PENYAKIT CACINGAN (HELMINTHIASIS) PADA WALI MURID SDN 1, 2, 3, DAN 4 MULYOAGUNG, KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR. Preventia?: The Indonesian Journal of Public Health, 2(2), 76. https://doi.org/10.17977/um044v2i2p76-84
Kementerian Kesehatan. (2020). Panduan Cuci Tangan Pakai Sabun. Kementerian Kesehatan.
Khurana, S., & Sethi, S. (2017). Laboratory diagnosis of soil transmitted helminthiasis. Tropical Parasitology, 7(2), 86–91. https://doi.org/10.4103/tp.TP_29_17
Novianty, S., Dimyati, Y., Pasaribu, S., & Pasaribu, A. P. (2018). Risk Factors for Soil-Transmitted Helminthiasis in Preschool Children Living in Farmland, North Sumatera, Indonesia. Journal of Tropical Medicine, 2018, 6706413. https://doi.org/10.1155/2018/6706413
Rosa, B. A., Supali, T., Gankpala, L., Djuardi, Y., Sartono, E., Zhou, Y., Fischer, K., Martin, J., Tyagi, R., Bolay, F. K., Fischer, P. U., Yazdanbakhsh, M., & Mitreva, M. (2018). Differential Human Gut Microbiome Assemblages During Soil-Transmitted Helminth Infections in Indonesia and Liberia. Microbiome. https://doi.org/10.1186/s40168-018-0416-5
Saputri, D., Andriyani, Y., & Ginting, A. (2020). Comparison of Hepcidin Levels in Children With and Without Soil-Transmitted Helminths Infection. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. https://doi.org/10.24293/ijcpml.v26i2.1471
Strunz, E., Addiss, D. G., Stocks, M., Ogden, S., Utzinger, J., & Freeman, M. C. (2014). Water, Sanitation, Hygiene, and Soil-Transmitted Helminth Infection: A Systematic Review and Meta-Analysis. Plos Medicine. https://doi.org/10.1371/journal.pmed.1001620
Sungkar, S., N. Pohan, A. P., Ramadani, A., Albar, N., Azizah, F., A. Nugraha, A. R., & Wiria, A. E. (2015). Heavy Burden of Intestinal Parasite Infections in Kalena Rongo Village, a Rural Area in South West Sumba, Eastern Part of Indonesia: A Cross Sectional Study. BMC Public Health. https://doi.org/10.1186/s12889-015-2619-z
Tomczyk, S., Deribe, K., Brooker, S. J., Clark, H., Rafique, K., Knopp, S., Utzinger, J., & Davey, G. (2014). Association between Footwear Use and Neglected Tropical Diseases: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLOS Neglected Tropical Diseases, 8(11), e3285. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0003285
Umar, Z. (2008). Perilaku Cuci Tangan Sebelum Makan dan Kecacingan pada Murid SD di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Kesmas: National Public Health Journal, 2(6), 249. https://doi.org/10.21109/kesmas.v2i6.244
Wibawa, T., & Tunggul Satoto, T. B. (2016). Magnitude of Neglected Tropical Diseases in Indonesia at Postmillennium Development Goals Era. Journal of Tropical Medicine. https://doi.org/10.1155/2016/5716785
Yuwono, N., Husada, D., & Basuki, S. (2019). Prevalence of Soil-Transmitted Helminthiasis Among Elementary Children in Sorong District, West Papua. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease. https://doi.org/10.20473/ijtid.v7i4.7362
Downloads
Additional Files
Published
Versions
- 2023-04-11 (2)
- 2023-01-26 (1)
How to Cite
Issue
Section
Categories
Citation Check
License
Copyright (c) 2023 Reni Permata, Junaiddin, Untari (Author)
![Creative Commons License](http://i.creativecommons.org/l/by-sa/4.0/88x31.png)
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
Authors retain copyright and grant the journal right of first publication with the work simultaneously licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License that allows others to share the work with an acknowledgment of the works authorship and initial publication in this journal and able to enter into separate, additional contractual arrangements for the non-exclusive distribution of the journals published version of the work (e.g., post it to an institutional repository or publish it in a book).
Funding data
-
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Grant numbers B/87/E3/RA.00/2020