Skip to main content Skip to main navigation menu Skip to site footer
Articles
Published: 2022-05-31

Empowerment of Adolescents and Parents on Maturation of Marriage Age and the Impact of Early Marriage in Bungkutoko Village, Abeli District, Kendari City

Poltekkes Kemenkes Kendari
Poltekkes Kemenkes Kendari
Poltekkes Kemenkes Kendari
Poltekkes Kemenkes Kendari
Adolescent Parents Maturation Age of Marriage Early marriage

License

How to Cite

Wulandari, H., Nurmiaty, N., Aisa, S., & Halijah, H. (2022). Empowerment of Adolescents and Parents on Maturation of Marriage Age and the Impact of Early Marriage in Bungkutoko Village, Abeli District, Kendari City. Jurnal Inovasi, Pemberdayaan Dan Pengabdian Masyarakat, 2(1), 30–37. https://doi.org/10.36990/jippm.v2i1.493

Abstract

Maturation of the age of marriage (PUP) is very important to be encouraged because the landscape is very complex. Data from the Ministry of Women's Empowerment and Child Protection (KPPPA) shows that the number of child marriages increased during the Covid-19 pandemic. Recorded an increase of 24 thousand. Southeast Sulawesi is included in the top 5 provinces with the proportion of married women before the age of 18. Child/adolescent marriages have an impact on various demographic parameters that have become the center of attention of the current government such as infant mortality, maternal mortality, divorce, domestic violence and school dropout rates. This activity aims to increase public knowledge, especially teenagers and parents about the importance of early maturing of marriage. Implementation of activities in Bungkutoko Village, Nambo Subdistrict, Kendari City with the question and answer lecture method, providing educational comics, video screenings and interactive discussions. The results of the pretest and posttest evaluations showed an increase in knowledge before and before training, from 77.86 to 88.8. The outcome of this community service is an increase in the knowledge of adolescents and parents about maturing the age of marriage and the impact of early marriage.

PENDAHULUAN

Berdasarkan Survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, Sulawesi Tenggara termasuk dalam 5 besar Provinsi dengan proporsi perempuan berstatus kawin sebelum umur 18 tahun (BPS, 2018). Menurut data Child Marriage Report 2020, prevalensi perkawinan anak perempuan lebih tinggi di daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Hal ini terlihat pada kelompok perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun maupun sebelum usia 15 tahun. Sepanjang tahun 2018, prevalensi perempuan 20 – 24 tahun di pedesaan yang perkawinan pertamanya sebelum usia 18 tahun masih lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Persentase perkawinan anak di pedesaan adalah 16,87 persen sementara di perkotaan hanya 7,15 persen (Presler-Marshall et al., 2020).

Hasil survey Kamaruddin pada tahun 2017 menemukan bahwa terdapat 13 pasangan perkawinan di bawah umur mendaftarkan perkawinan di KUA se-Kota Kendari dan sebanyak 26 kasus perkawinan usia remaja/anak terjadi Kota Kendari (Kamaruddin, 2017). Pelaksana Tugas BKKBN SULTRA Mustakim (2019) mengungkapkan faktor ekonomi lemah dan rendahnya pendidikan bagi kalangan perempuan menjadi penyebab utama tingginya angka perkawinan usia muda di SULTRA.

Persalinan pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian neonatal, bayi, dan balita. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan bahwa angka kematian neonatal, postneonatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun (BPS, 2012). Pernikahan usia muda berisiko karena belum cukupnya kesiapan dari aspek kesehatan, mental emosional, pendidikan, sosial ekonomi, dan reproduksi. Pendewasaan usia juga berkaitan dengan pengendalian kelahiran karena lamanya masa subur perempuan terkait dengan banyaknya anak yang akan dilahirkan.

Pendewasaan Usia Perkawinan bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar di dalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, ditinjau dari aspek kesehatan, ekonomi, psikologi dan agama. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia perkawinan yang lebih dewasa sehingga berdampak pada penurunan Total Fertility Rate (TFR) (BKKBN, 2006).

Salah satu faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap keputusan perkawinan anak perempuan adalah orangtua. Peran orangtua pun sangat dibutuhkan dalam pemantauan perkembangan remaja. Orang tua memainkan peran penting dalam kesehatan anak-anak mereka, termasuk keputusan yang terkait dengan perilaku seksual yang berdampak pada pergaulan bebas yang menyebabkan terjadinya kehamilan tidak diinginkan dan bermuara pada perkawinan usia dini pada anak perempuan. Perkawinan di usia dini bagi perempuan banyak terjadi di wilayah pedesaan lantaran tidak memiliki pekerjaan dan putus sekolah (Mustakim, 2019). Bungkutoko merupakan wilayah desa pesisir di Kecamatan Nambo Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara yang penduduknya mayoritas memiliki perekonomian menengah ke bawah dan berpendidikan rendah. Hal itu merupakan faktor pencetus terjadinya perkawinan usia dini.

METODE

Pengabdian kepada masyarakat diberikan dengan metode ceramah tanya jawab interaktif menggunakan slide presentasi, refleksi kasus perkawinan anak/remaja dan penayangan video tentang dampak perkawinan anak / remaja. Peserta diberikan buku saku tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan dan dampak perkawinan usia dini, selain itu peserta remaja diberikan komik edukasi yang berjudul Sekolah Yes! Nikah Muda No Way.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Grafik 1. Karakteristik peserta berdasarkan usia

Berdasarkan hasil pengukuran usia ibu diperoleh gambaran bahwa usia peserta dengan kategori remaja yaitu sebanyak 10 orang (40%), dan yang berusia dewasa (> 18 tahun) sebanyak 15 orang (60%). Peserta yang berusia > 18 tahun ini merupakan orang tua dari remaja (Grafik 1), sehingga hal ini menggambarkan peran serta orang tua dalam pendidikan kesehatan remaja di Desa Bungkutoko sudah cukup baik.

Grafik 2. Karakteristik peserta berdasarkan status perkawinan

Karakteristik status perkawinan peserta pelatihan didapatkan dari 10 peserta remaja, terdapat 2 orang yang berstatus sudah kawin yaitu usia 16 dan 15 tahun (Grafik 2). Hal ini menunjukkan masih adanya praktek perkawinan usia anak/remaja di Desa Bungkutoko Kecamatan Nambo Kota Kendari.

Grafik 3. Karakteristik peserta berdasarkan tingkat pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan (Grafik 3) diperoleh informasi bahwa peserta yang mengikuti kegiatan pelatihan ini sebagian besar berpendidikan SMA (68%) dan yang terendah berpendidikan SD (4%).

Hasil pengukuran pengetahuan peserta sebelum dan sesudah kegiatan pelatihan menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan, yaitu dari 77,86 menjadi 88,8. Hal ini bisa terlihat pada gambar di bawah ini (Grafik 4).

Grafik 4. Rerata skor hasil kuesioner pengetahuan pre dan posttes

Grafik 6. Sebaran nilai isian kuesioner pengetahuan pra dan postes seluruh peserta

Pendewasaan usia perkawinan (PUP) di Indonesia menjadi sangat penting digalakkan mengingat dampaknya yang sangat kompleks, karena pernikahan anak / remaja berdampak pada berbagai parameter kependudukan yang telah menjadi pusat perhatian pemerintah saat ini seperti kematian bayi, kematian ibu, perceraian, KDRT dan angka putus sekolah (Droup Out). Sebagaimana telah disepakati oleh dunia soal usia perkawinan anak, Indonesia juga menegaskan dalam beberapa undang-undang terkait perkawinan anak. Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19 tahun tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun”. Selanjutnya UU No.23 tahun 2002 menyatakan usia dibawah 18 tahun dikategorikan sebagai anak. Pasal 26 menyatakan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, menjadi salah satu pemicu tingginya angka pernikahan anak di Indonesia dilihat dari batasan umur yang telah disepakati oleh UNICEF (Sunaryanto, 2019). Perkawinan anak didefinisikan oleh UNICEF sebagai perkawinan formal atau persatuan informal sebelum usia 18 tahun (USAID, 2012).

Masa pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia memaksa berbagai kegiatan termasuk kegiatan sekolah beralih menjadi dalam jaringan online (daring) di rumah, hal tersebut menimbulkan dampak bagi kondisi psikologis anak sebagai peserta didik maupun orang tuanya yang harus berperan sebagai guru. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebut angka perkawinan anak meningkat pada masa pandemi Corona. Tercatat kenaikannya mencapai 24 ribu (Luxiana, 2020). Berdasarkan data Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama sebanyak 34.000 permohonan pengajuan dispensasi perkawinan dari Januari-Juni 2020, jumlah permohonan dispensasi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu sebanyak 23.700 permohonan. Permohonan dispensasi kawin dilakukan karena salah satu atau kedua calon mempelai belum masuk usia menikah berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Ekonomi yang memburuk selama pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor pendorong pernikahan dini. Menurut prediksi United Nations Population Fund (UNFA) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) empat juta pernikahan anak akan terjadi pada dua tahun kedepan karena krisis ekonomi, dan sekitar 13 juta pernikahan dini akan terjadi di dunia selama rentang waktu 2020-2030 (Nursaadah, 2021).

Berdasarkan hasil pengukuran usia diperoleh gambaran bahwa usia peserta dengan kategori remaja yaitu sebanyak 10 orang (40%), dan yang berusia dewasa (> 18 tahun) sebanyak 15 orang (60%) (Grafik 1). Peserta yang berusia > 18 tahun ini merupakan orang tua dari remaja, sehingga hal ini menggambarkan peran serta orang tua dalam pendidikan kesehatan remaja di Desa Bungkutoko sudah cukup baik. Taufik et al (2018) menemukan bahwa ada hubungan antara pengetahuan tentang pendewasaan usia perkawinan (p value = 0,003), peran orang tua (p value =0,002) dan persepsi tentang pernikahan usia dini (p value = 0,037). Orang tua yang kurang berperan memiliki peluang lebih besar untuk melaksanakan pernikahan dini pada anaknya dibandingkan dengan orang tua yang memiliki peran baik. Besarnya peran orang tua yang ditinjau dari segi perspektif komunikasi keluarga merupakan salah satu penentu keputusan seorang remaja untuk menikah pada usia muda. Keluarga yang tidak harmonis akan berdampak pada perilaku seks bebas anak dan dapat berujung pada pernikahan usia ini (Desiyanti & Irne, 2015).

Perkawinan remaja/anak tidak hanya terjadi karena keinginan orang tua tapi juga atas inisiatif anak. Pada bulan Agustus tahun 2020, di Provinsi NTB ada satu kasus yang sampai masuk media tentang seorang siswi SMP (14 tahun) mengancam orang tuanya agar dinikahkan dengan seorang laki-laki yang empat tahun lebih tua atau ia akan berbuat hal yang memalukan keluarga, setelah pernikahan dilaksanakan, menjelang dua minggu anak tersebut meminta pulang karena suaminya melakukan KDRT memukul dan mencakarnya (Rachmawati, 2020). Hal tersebut adalah satu dari banyak kasus perkawinan anak di masyarakat yang perlu menjadi perhatian bersama. Perkawinan anak / remaja bukan memiliki banyak dampak yang sangat serius, khususnya pada berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan dan peningkatan risiko KDRT (Sari et al., 2020). Berbagai dampak negatif dapat terjadi akibat keluarga dibangun dengan pasangan yang menikah pada usia anak antara lain secara psikologis anak belum siap menjadi orang tua karena masih anak-anak dan menyebabkan rentan terjadinya pertengkaran, kekerasan dalam rumah tangga, hingga terjadinya perceraian. Selanjutnya, dari sisi pendidikan, banyak yang putus sekolah sehingga memengaruhi kualitas sumberdaya manusia Indonesia dan daya kompetisi bangsa pada umumnya. Selain itu, juga berdampak terhadap semakin tingginya angka kemiskinan karena anak yang menikah diusia anak tidakmemiliki sumberdaya ekonomi dan akses yang memadai. Dari sisi kesehatan, organ reproduksi perempuan yang masih dalam usia anak belum siap untuk hamil dan melahirkan sehingga seringkali membahayakan si ibu dan bayinya dan menyebabkan meningkatnya angka kematian ibu dan bayi (Djaja et al., 2016).

Pengambilan keputusan perkawinan pada remaja menimbulkan dampak dari berbagai aspek seperti kesehatan, psikologi, dan ekonomi (Maudina, 2019). Banyak kasus perkawinan anak terjadi karena pergaulan bebas sang anak sehingga menyebabkan anak hamil sebelum menikah. Terbukanya akses internet di kalangan remaja pedesaan maupun perkotaan, kurangnya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi serta minimnya pendidikan moral agama, diperburuk dengan lemahnya kontrol orangtua dan masyarakat menjadi penyebab anak-anak menjadi cepat dewasa dan terperangkap hubungan di luar nikah (Sunaryanto, 2019).

Berdasarkan karakteristik status perkawinan peserta pelatihan didapatkan dari 10 peserta remaja, terdapat 2 orang yang berstatus sudah kawin yaitu usia 16 dan 15 tahun (Grafik 2). Hal ini menunjukkan masih adanya praktek perkawinan usia anak/remaja di Desa Bungkutoko Kecamatan Nambo Kota Kendari. Hal ini sejalan dengan temuan Kamaruddin pada tahun 2017 yang menemukan 26 kasus perkawinan usia remaja/anak di Kota Kendari (Kamaruddin, 2017). Susmaryanah et al (2018) menemukan ada hubungan kehamilan usia dini dengan kejadian anemia dalam kehamilan di Puskesmas Nambo Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara. Ibu hamil dengan usia dini berisiko mengalami anemia dalam kehamilannya sebesar 4,28 kali dibandingkan ibu hamil dengan usia reproduksi sehat (OR= 4,282; CI95%= 1,85-9,94).

Perkawinan anak dapat memiliki efek negatif yang serius dan bertahan lama. Ketika seorang remaja perempuan hamil, hal ini dapat berdampak signifikan pada pendidikan, kesehatan (akibat komplikasi dari persalinan), dan kesempatan kerja, yang memengaruhi kehidupan dan pendapatannya di masa depan. Anak yang dilahirkannya juga berisiko kematian pada saat bayi, stunting, dan rendahnya berat badan lahir (Buentjen & Walton, 2019). Dampak lain yang ditimbulkan seperti cemas, stress, depresi saat menghadapi masalah yang timbul dalam keluarga yang dapat berakibat pisah rumah bahkan perceraian karena emosi remaja yang masih labil (Minarni, Andayani, & Haryani, 2014). Depresi dan kecemasan merupakan suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang secara afektif, fisiologis, kognitif dan perilaku sehingga mengubah pola dan respon yang biasa dilakukan (Rosyanti, Usman, Hadi, & Syahrianti, 2017).

Permasalahan lain yang dialami pasangan suami istri belia adalah rentannya praktik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena belum mampu mengelola emosi. Perkawinan anak menimbulkan masalah baru pada keluarga besar karena banyak orang tua yang terpaksa membantu mengurusi cucu. Pada kasus perkawinan anak dengan pasangan yang belum siap secara finansial, maka akan menggantungkan beban pada keluarga besarnya (Andina, 2021).

Kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan memberikan pelatihan pada remaja dan orangtua tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan memberikan hasil peningkatan pengetahuan peserta sebelum dan sesudah kegiatan pelatihan (Grafik 5). Pengetahuan menjadi hal yang sangat penting untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendewasaan usia perkawinan. Hubungan yang bermakna antara pengetahuan remaja tentang pendewasaan usia perkawinan dengan preferensi usia ideal menikah (Taufik et al., 2018).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pretest dan posttest, terdapat peningkatan pengetahuan tentang pentingnya pendewasaan usia perkawinan untuk mencegah kehamilan remaja di Kelurahan Bungkutoko Kecamatan Nambo Kota Kendari dari 77,86 sebelum diberikan pelatihan menjadi 88,8 setelah diberikan pelatihan. Pendewasaan usia perkawinan dan pencegahan kehamilan remaja sebaiknya disosialisasikan kepada masyarakat secara lebih luas oleh tokoh masyarakat dan pemerintah setempat agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendewasaan usia perkawinan sehingga angka kejadian perkawinan di bawah umur menurun yang dapat berpengaruh besar terhadap aspek kesehatan khususnya kesehatan reproduksi remaja, ibu dan anak, menurunkan angka kematian ibu, dan bayi, kejadian stunting, hingga mampu menurunkan angka kemiskinan di masyarakat.

UN/PBB SDGs

This output contributes to the following UN Sustainable Development Goals (SDGs)/Artikel ini berkontribusi pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB berikut

SDG 3 good-health-and-well-being

Endorse

Usage Statistics Information

Abstract viewed = 300 times

Funding data