Analysis of Factors Related to the Preparedness of Puskesmas Nurses in Facing Haze Disasters

Authors

DOI:

https://doi.org/10.36990/hijp.v15i2.699

Keywords:

Preparedness of nurses, Puskesmas, Haze disaster

Abstract

The haze disaster that occurred due to forest and land fires in 2015 caused 43 million people to be exposed to smoke haze, 503,874 people suffered from ISPA, caused 26 deaths, and economic losses of 200 trillion rupiah. The purpose of this study was to analyze the factors of knowledge, skills, disaster management readiness, self-regulation, and the atmosphere of health services related to the preparedness of Puskesmas nurses in dealing with the haze disaster in Pontianak City. The design of this research is an analytic survey with a cross sectional approach. The number of respondents as many as 90 health center nurses by simple random sampling. This research was conducted in 23 health centers in the working area of ??Pontianak City. Spearman ranks test shows the relationship between skill factor (p= 0.000), disaster management readiness (p= 0.013), but not with the health service atmosphere (p= 0.558) and the preparedness of Puskesmas nurses in dealing with haze disaster. The logistic regression test explained that skills were the most related factor to the preparedness of Puskesmas nurses in dealing with the haze disaster with an Exp (B) value of 6,559. Skills cannot be achieved properly without good preparedness of disaster management. Therefore nurses can take part in simulations, seminars and training on disasters and play an active role in the disaster management process, both in the preparedness and response phases.

PENDAHULUAN

Bencana berskala besar dapat menghasilkan dampak besar pada individu, keluarga dan masyarakat sehingga menimbulkan ancaman pada kualitas kehidupan (World Health Organization & International Council of Nurses, 2009). Bencana memberikan dampak pengaruh pada manusia dan lingkungannya seperti kematian massal, kecacatan, kemiskinan, kelaparan dan rusaknya infrastruktur (Kurniyanti, 2012).

Bencana dapat terjadi ketika interaksi antara hazard dengan manusia, lingkungan dan kerusakan harta benda, baik kerusakan dalam skala kecil maupun besar maka disebut sebagai bencana. Tantangan terbesar dalam menghadapi bencana adalah menurunkan risiko bencana. Menurut data dari tahun 2015 -2017 telah terjadi 1.582, 2334 dan 2164 kali bencana. Artinya rerata bencana yang melanda Indonesia setiap harinya adalah sekitar lima kali, termasuk bencana kebakaran hutan dan lahan (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2018). Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap musim kemarau dari tahun 2015 sampai 2017 dengan jumlah 634 kali (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2018).

Bencana kabut asap yang terjadi pada tahun 2015 akibat hutan dan lahan terbakar merupakan bencana yang paling besar terjadi setelah tahun 1997 akibat fenomena El Nino (Arfan, 2016). Rentang kabut asap terjadi antara bulan Juli sampai Oktober di tahun 2015, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana ditemukan 503.884 penderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) tersebar berbagai provinsi seperti Sumatra selatan, Riau, Jambi, Kalimantan selatan, tengah dan barat, serta menimbulkan korban jiwa sebanyak 26 orang. Selain penderita infeksi saluran pernapasan akut, dampak kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan menimbulkan kerugian ekonomi sangat besar mencapai 200 triliun rupiah dan 43 juta penduduk terpapar kabut asap (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2018). Mengingat beratnya dampak akibat kabut asap yang terjadi, maka diperlukan manajemen penanggulangan bencana untuk menurunkan dampak bencana kabut asap.

Manajemen penanggulangan bencana merupakan kumpulan dari beberapa strategi, ketetapan administrasi dan semua kegiatan yang bersifat praktis serta saling berkaitan antara fase dalam penanggulangan bencana. Fase manajemen penanggulangan bencana yang memiliki perencanaan, kesiapan, dan prioritas utama dalam manajemen bencana adalah fase kesiapsiagaan (World Health Organization & International Council of Nurses, 2009).

Kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana adalah serangkaian perencanaan dan kesiapan perawat yang dilaksanakan dalam mencegah dan menurunkan efek bencana dengan mengelola dan membuat strategi yang efektif untuk disiapkan dalam keadaan darurat penanggulangan bencana (World Health Organization & International Council of Nurses, 2009). Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana terdiri dari pengetahuan, keterampilan, kesiapan manajemen bencana, regulasi diri, suasana pelayanan kesehatan, dan perbedaan individu (Baack, 2011; Sangkala & Gerdtz, 2018).

Salah satu masalah utama kesiapsiagaan perawat dalam fase penanggulangan bencana adalah kurangnya pengetahuan tentang manajemen bencana meliputi pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana, respons bencana, rehabilitasi dan pemulihan setelah bencana (Chapman & Arbon, 2008). Penelitian lain menunjukkan kesiapan bencana, tanggap bencana dan evaluasi bencana masih rendah (Öztekin et al., 2016). Hal ini menunjukkan masih rendahnya kesiapan perawat dalam manajemen penanggulangan bencana.

Berdasarkan hasil wawancara dengan sepuluh perawat Puskesmas wilayah kota Pontianak, mempunyai persepsi bahwa kabut asap bukan sebuah keadaan bencana tetapi kejadian rutin yang muncul selama musim kemarau. Selain itu kesiapan manajemen bencana yang dimiliki perawat masih dinilai kurang karena tidak memiliki dan menyiapkan rencana tanggap bencana sehingga menjadi aspek yang menghambat kesiapan perawat ketika merespons bencana, meskipun mereka telah mengikuti pelatihan dan dibekali keterampilan dalam penanganan gawat darurat.

METODE

Penelitian ini merupakan survei analitik dengan desain cross sectional yang dilakukan di 23 Puskesmas wilayah kerja Kota Pontianak pada bulan Januari-Februari 2019. Seluruh perawat Puskesmas di wilayah kerja Kota Pontianak masuk ke dalam populasi penelitian, dengan penentuan sampel menggunakan teknik simple random sampling sebanyak 90 perawat Puskesmas.

Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data

Pengumpulan data penelitian menggunakan kuesioner Emergency Preparedness Information Questionnaire (EPIQ) dengan penetapan skor ilmiah menggunakan likert. Pertanyaan pada kuesioner berupa pertanyaan positif/favorable dengan 4 pilihan jawaban yaitu setuju 4, kurang setuju 3, tidak setuju 2 dan sangat tidak setuju 1, Adapun untuk pertanyaan negatif/unfavorable dengan setuju 1, kurang setuju 2, tidak setuju 3 dan sangat tidak setuju 4. Pada tes validitas instrumen dapat menggunakan aplikasi SPSS dengan penggunaan metode uji Pearson Correlation Coefficient untuk mengetahui nilai korelasi antar masing-masing skor variabel dari hasil skornya penelitian dengan nilai tingkat kepercayaan 95% (signifikansi 5% = 0.05). Menurut derajat kemaknaan dari 0.05, jika r hitung > r tabel (0.6) berarti instrumen valid, tetapi jika r hitung < r tabel berarti instrumen tidak valid. Berdasarkan hasil uji validitas instrumen, didapatkan r hitung untuk semua item pertayaan lebih besar dari 0.6 sehingga dinyatakan valid. Adapun pertanyaan kuesioner keterampilan berjumlah 10 pertanyaan, kesiapan manajemen bencana berjumlah 19 pertanyaan, suasana pelayanan kesehatan berjumlah 4 pertanyaan dan kesiapsiagaan perawat berjumlah 25 pertanyaan. Pada tes reliabilitas berdasar pada akurasi hasil pengukuran ketika tes reliabilitas instrumen penelitian dengan skala likert menggunakan metode Alpha Cronbach, variabel memenuhi syarat tes reliabilitas bila mencapai nilai Cronbach's Alpha lebih dari 0,6. Hasil penelitian ini didapatkan nilai reliabilitas keterampilan 0.957, kesiapan manajemen bencana 0.978, suasana pelayanan kesehatan 0.859, dan kesiapsiagaan perawat 0.983.

Pengelolaan dan analisa data bergantung dari jenis data yang tersedia. Data kategori dianalisis atas dasar jumlah frekuensi dan persentase dari tiap-tiap kelompok. Bentuk data numerik menggunakan nilai mean, median, standar deviasi, minimum, maximum. Untuk analisis korelasi menggunakan uji spearman ranks dan analisis multivariat menggunakan Uji Regresi Logistik Berganda. Selanjutnya, penyajian data kebentuk tabel dan terus menginterpretasikan menurut hasilnya.

HASIL

Tabel 1. Karakteristik Demografi Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan, Pengetahuan, Keterampilan, Kesiapan Manajemen Bencana, Regulasi Diri, Suasana Pelayanan Kesehatan dan Kesiapsiagaan Perawat

Jenis kelamin responden yang paling dominan yaitu perempuan berjumlah 78 orang. Tingkat pendidikan responden yang paling dominan yaitu D-III berjumlah 53 orang. Kesiapan manajemen bencana yang paling dominan yaitu kesiapan manajemen bencana baik berjumlah 48 orang. Keterampilan yang paling dominan yaitu keterampilan baik berjumlah 51 orang. Suasana pelayanan kesehatan yang paling dominan yaitu suasana pelayanan kesehatan baik berjumlah 74 orang. Kesiapsiagaan perawat tinggi berjumlah 51 orang adalah yang paling dominan (Tabel 1).

Tabel 2. Uji Statistik Hubungan Variabel Kesiapan Manajemen Bencana, Keterampilan, dan Suasana Pelayanan Kesehatan dengan Kesiapsiagaan Perawat Puskesmas dalam Menghadapi Bencana Kabut Asap

Hasil analisa uji statistik kesiapan manajemen bencana dengan nilai p = 0.013, dan korelasi adalah arah positif dengan makna kekuatan hubungan lemah (r = 0.261), variable keterampilan dengan nilai p = 0.000, hasil interpretasi korelasi arah positif yang bermakna kekuatan hubungan sedang ditunjukkan dengan nilai r = 0.412. Sedangkan variable suasana pelayanan Kesehatan dengan nilai p = 0.074, dan korelasi arah negatif yang bermakna kekuatan hubungan sangat lemah ditunjukkan dengan nilai r = -0.189 (Tabel 2).

Tabel 3. Hasil Analisis Hubungan antara Keterampilan, Kesiapan Manajemen Bencana dan Suasana Pelayanan Kesehatan dengan Kesiapsiagaan Perawat Puskesmas dalam Menghadapi Bencana Kabut Asap

Uji regresi logistik menjelaskan nilai hitung Exp(B) variabel keterampilan sebesar 6.556 nilai dan Exp(B) variabel kesiapan manajemen bencana sebesar 3.463. Berdasarkan hasil analisa tersebut, maka variabel keterampilan menjadi variabel bebas yang mempunyai hubungan paling dominan terhadap kesiapsiagaan dengan nilai Exp(B) 6.556 yang berarti keterampilan baik berpeluang 6 kali lebih tinggi mempunyai kesiapsiagaan yang tinggi dibandingkan dengan keterampilan yang rendah setelah dikontrol oleh variabel kesiapan manajemen bencana (Tabel 3).

Tabel 4. Area Under Curve

Grafik 1. Kurva ROC

Persamaan model untuk hasil uji regresi logistik berganda diperoleh probabilitas kesiapsiagaan bencana sebesar 83.6% dengan terdapat faktor keterampilan, kesiapan manajemen bencana menjelaskan bahwa masih terdapat 17.4% beberapa faktor lain yang berhubungan dengan kesiapsiagaan bencana. Nilai diskriminasi yang didapatkan dari nilai area under curve (AUC) sebesar 0.769 (76.9%) di mana nilai ini menunjukkan diskriminasi sedang, kemudian nilai kalibrasi yang didapatkan dari hosmer and lameshow test sebesar 0.974 di mana nilai ini menunjukkan kalibrasi yang baik (Tabel 4; Grafik 1).

PEMBAHASAN

Kesiapan Manajemen Bencana

Hasil penelitian pada kesiapan manajemen bencana oleh perawat sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sejalan dengan hasil penelitian Labrague et al. (2016) dengan jumlah responden responden sebanyak 200 perawat yang menjelaskan bahwa kesiapan manajemen bencana berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana. Selain itu, menurut Sangkala & Gertdz (2018) menjelaskan bahwa kesiapan manajemen bencana dapat meningkatkan kemampuan dan kesiapan perawat pada fase kesiapsiagaan bencana.

Perawat sebagai first responder memainkan peranan yang penting dalam sistem pelayanan kesehatan dan harus disiapkan untuk respons yang tepat dalam bencana. Meskipun perawat terkadang tidak terlibat dalam proses pengembangan rencana manajemen bencana berbagai negara (Powers & Daily, 2010). Kurangnya keterlibatan ini dapat berpengaruh terhadap implementasi rencana manajemen bencana yang telah dipersiapkan, karena perawat mungkin tidak sepenuhnya memahami rencana respons bencana yang kemudian menyebabkan pengiriman perawat sebagai first responder menjadi tidak efektif dalam perawatan kesehatan selama dan setelah bencana. Akibatnya proses tidak berjalan secara efektif dan efisien saat penanggulangan bencana. Guha-Sapir et al. (2015) menjelaskan bahwa frekuensi terjadinya bencana dan efek yang ditimbulkannya terus meningkat, kesiapsiagaan perawat untuk merespons peristiwa sangat penting dalam mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan pada populasi yang mengalami bencana.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa mayoritas perawat (46,7%) memiliki kesiapan manajemen bencana yang masuk kategori kurang. Perawat akan kesulitan untuk memberikan perawatan disertai dengan dukungan di pelayanan kesehatan yang memadai kepada korban bencana dan keluarga apabila tidak mempunyai kesiapan yang baik (Ben Natan et al., 2014). Penelitian lainnya (Labrague et al., 2016) bahwa perawat yang kesiapan manajemen bencananya rendah serta tidak mengetahui tentang protokol manajemen bencana di tempat kerja.

Penguatan kesiapan manajemen bencana perawat yang dilakukan secara berkelanjutan dengan mengikuti berbagai kegiatan kebencanaan dapat meningkatkan self efficacy perawat dalam proses menolong dan menangani korban bencana (Öztekin et al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan perawat dalam manajemen bencana adalah faktor penting dalam kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana.

Keterampilan Perawat

Hasil penelitian pada variable keterampilan perawat yang secara statisti berhubungan dengan kesiapsiagaan bencana oleh perawat. Sejalan dengan penelitian Anam et al. (2015) memaparkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara keterampilan sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Pentingnya keterampilan untuk dimiliki perawat dalam hal meningkatkan kesiapsiagaan mereka saat menghadapi situasi atau kondisi bencana. Hasil penelitian Husna et al. (2011) yang mengukur tingkat keterampilan 78 perawat rumah sakit Banda Aceh dalam menghadapi bencana dengan hasil terdapat hubungan keterampilan dengan kesiapsiagaan perawat dalam fase penanggulangan bencana.

Keterampilan merupakan hasil dari proses pemahaman pembelajaran kognitif (memahami sesuatu) dan afektif (sikap terhadap sesuatu), dan hal ini dibutuhkan para perawat untuk menangani bencana khususnya dalam kesiapsiagaan bencana (Polivka et al., 2008). Selain faktor pengetahuan, sarana prasarana juga mempengaruhi keterampilan kesiapsiagaan perawat dalam melakukan pertolongan dan penanganan korban pada situasi bencana (Jakeway et al., 2008). Penelitian lainnya (Alamsyah, 2017) mengkonfirmasi bahwa kurangnya fasilitas dan infrastruktur akan mempengaruhi upaya persiapan diri untuk meningkatkan keterampilan menghadapi bencana. Hal tersebut juga dapat menjadi hambatan dalam proses penanggulangan bencana yaitu tidak adekuatnya pemenuhan kebutuhan para korban serta proses evakuasi bencana menjadi terlambat.

Faktor lainnya adalah peningkatan keterampilan perawat melalui Pelatihan secara berkala (Veenema et al., 2016). Pelatihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan tingkat kesiapan dan keterampilan mereka melakukan pertolongan dalam situasi bencana (Jiang et al., 2015).

Suasana Pelayanan Kesehatan

Berkaitan dengan suasana pelayanan Kesehatan, penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan suasana pelayanan kesehatan dengan kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana kabut asap. Penelitian lainnya berbeda dengan hasil ini, bahwa menjelaskan terdapat hubungan suasana pelayanan kesehatan dengan kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana (Wahidah et al., 2016). Berbeda dengan Wahida et al, Baack (2011) menemukan bahwa suasana pelayanan Kesehatan yang berlaku sehari-hari tidak selalu berkaitan dengan kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana.

Data karakteristik penelitian dengan mayoritas perawat memiliki kesiapsiagaan rendah. Suasana pelayanan kesehatan di tempat kerja perawat diukur dengan menggunakan skala kepuasan kerja. Suasana pelayanan kesehatan di Puskesmas dengan tingkat kepuasan yang baik, tidak dapat memberikan jaminan persepsi yang baik bagi perawat terkait kesiapsiagaan dalam bencana serta tidak berpengaruh terhadap kepuasan perawat dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang menjadi tanggung jawab mereka sebagai tenaga kesehatan.

Menurut Baack (2011) faktor suasana pelayanan kesehatan meliputi kondisi sosial-lingkungan yang mencakup kepuasan dari tiga kebutuhan psikologis dasar yaitu: relasi yang baik dengan individu yang lain, kompetensi, dan otonomi. Secara konsep dijelaskan bahwa ketika bencana terjadi, perawat harus dapat memiliki hubungan baik dengan petugas yang lain (kolaborasi) maupun lingkungannya yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dalam kondisi bencana (Jakeway et al., 2008). Perawat adalah petugas kesehatan yang memiliki kompetensi dalam melakukan penanggulangan bencana dalam keperawatan bencana (Veenema et al., 2016), dan hal ini didukung oleh Konsil Perawat Internasional dengan penyediaan kompetensi perawat dalam keperawatan bencana yang bertujuan untuk memberi pelayanan keperawatan pada individu, keluarga dan masyarakat pada seluruh tingkatan fase bencana (World Health Organization & International Council of Nurses, 2009).

Kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana tidak hanya dipengaruhi oleh suasana pelayanan kesehatan, namun dapat dipengaruhi oleh faktor lain seperti fasilitas infrastruktur dan persepsi perawat tentang kebijakan pemerintah. Phetricco & Loerzus (2016) menyatakan bahwa fasilitas infrastruktur memiliki hubungan dengan tingkat kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana. Veenema et al. (2016) melalui hasil penelitian juga menegaskan bahwa fasilitas infrastruktur adalah faktor yang berkontribusi sebagai penentuan kurangnya tingkat kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana. Komponen fasilitas infrastruktur sebagai pendukung kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana terdiri dari 4 hal, yaitu ketersediaan fasilitas infrastruktur yang memadai, mekanisme pengajuan fasilitas infrastruktur, kelayakan fasilitas infrastruktur, dan kepatuhan fasilitas infrastruktur (The United National Office for Disaster Risk Reduction, 2015).

Faktor Penguat Hubungan Kesiapsiagaan Perawat dalam Menghadapi Bencana Kabut Asap

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor keterampilan adalah yang paling berhubungan dengan kesiapsiagaan perawat Puskesmas dalam menghadapi bencana kabut asap. Hal ini ditunjukkan melalui nilai hitung Exp(B) sebesar 6.559 pada variabel keterampilan. Hal ini menunjukkan bahwa perawat yang memiliki keterampilan baik berpeluang 6 kali lebih tinggi mempunyai kesiapsiagaan yang tinggi dibandingkan dengan keterampilan yang rendah setelah dikontrol oleh variabel kesiapan manajemen bencana. Keterampilan yang dimiliki oleh perawat sebagai first responder dalam memberikan layanan kesehatan pada saat siaga dan tanggap bencana merupakan faktor yang utama dan substansial untuk melakukan tindakan pencegahan kecacatan, dan meminimalkan kesakitan, mereduksi prevalensi penyakit, serta menurunkan angka kematian akibat dampak bencana kabut asap.

Keterampilan menjadi hal penting diperlukan oleh perawat dalam meningkatkan kesiapsiagaan ketika menghadapi kondisi bencana dimana terdapat perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan kepada perawat (Anam et al., 2015; Husna et al., 2011).

Keterampilan merupakan hasil dari proses pemahaman pembelajaran kognitif (memahami sesuatu) dan afektif (sikap terhadap sesuatu), maka dari itu untuk meningkatkan kesiapsiagaan perawat diperlukan persiapan kombinasi antara ilmu, keterampilan, kemampuan dan tindakan dalam menghadapi bencana baik alam ataupun non alam dapat (Usher et al., 2015). Perawat yang berpartisipasi dalam penanggulangan bencana harus memenuhi persyaratan baik berupa pengetahuan (kognitif) dan intelektual, sikap, keterampilan dan pendidikan (Nekooei Moghaddam et al., 2014). Menurut Luo et al. (2013), perawat yang memiliki dasar keterampilan dalam penanggulangan bencana dapat menjadi strategi yang baik ketika bencana terjadi. Namun, rendahnya keterampilan dan pengetahuan perawat dalam kesiapsiagaan bencana dapat mengakibatkan adanya kesalahan dalam proses manajemen bencana. Perawat yang berpartisipasi ketika bencana terjadi harus didukung oleh pengetahuan dan keterampilan yang professional untuk meningkatkan kesiapsiagaan pada fase manajemen bencana (Alzahrani & Kyratsis, 2017).

Perawat mempunyai peran penting dan efektif untuk mengatasi penanganan bencana dalam hal ini melatih keterampilan dalam penanganan situasi bencana. Selain itu menurut Jiang et al. (2015) dalam meningkatkan tingkat kesiapan dan keterampilan perawat dalam situasi bencana, perawat juga membutuhkan tambahan pelatihan terkait kebencanaan. Perawat yang ikut serta dalam menanggulangi bencana (tahap siaga dan tahap bencana) dapat mempersiapkan strategi yang sistematis dan terpadu dengan tujuan untuk mengurangi dampak bencana (penetapan kebijakan dalam bencana, pengelolaan risiko berupa usaha pencegahan bencana, mitigasi, dan kesiapsiagaan serta upaya pemulihan berupa rehabilitasi dan rekonstruksi) serta dapat mengelola bencana dengan baik. Sehingga diharapkan peningkatan pemahaman perawat bersama keterampilan yang dimiliki dalam memberikan pertolongan dan menangani korban di situasi bencana. Perawat juga menjadi first responder dan garda terdepan dalam merespons sebuah bencana.

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat hubungan keterampilan dan kesiapan manajemen bencana dengan kesiapsiagaan perawat Puskesmas dalam menghadapi bencana kabut asap. Sedangkan faktor yang paling kuat hubungannya dengan kesiapsiagaan perawat Puskesmas dalam menghadapi bencana kabut asap di Kota Pontianak adalah keterampilan. Kemudian keterampilan perawat menjadi subtansi penting untuk ikut serta berperan aktif menjadi first responder dan garda terdepan dalam merespons bencana khususnya bencana kabut asap.

Kekurangan Penelitian

Penelitian ini mempunyai kekurangan, diantaranya adalah penelitian yang telah dilaksanakan di 23 Puskesmas hanya mengambil sampel sebanyak 90 responden, hal ini disebabkan oleh kurangnya jumlah populasi perawat yang bertugas di Puskesmas sekota Pontianak, sehingga penelitian ini belum bisa menjangkau dan mempresentasikan seluruh kesiapsiagaan perawat Puskesmas dalam menghadapi bencana kabut asap di Kota Pontianak. Penelitian ini tidak menjangkau perawat Puskesmas di Kota dan Kabupaten lain yang terkena dampak kabut asap selain kota Pontianak, dikarenakan keterbatasan tenaga, waktu, dan biaya penelitian. Penelitian ini masih memiliki kekurangan tentang pemilihan instrumen penelitian (kuesioner) yang sesuai untuk digunakan mengukur variabel regulasi diri dan suasana pelayanan kesehatan sehingga diperkirakan dapat mempengaruhi hasil penelitian yang terkait kesiapsiagaan perawat Puskesmas dalam menghadapi bencana kabut asap di Kota Pontianak.

References

Alamsyah. (2017). Pengaruh Sumber Daya Organisasi Terhadap Kesiapsiagaan Petugas BPBD Kabupaten Jeneponto [Master’s Thesis]. Universitas Hasanuddin.

Alzahrani, F., & Kyratsis, Y. (2017). Emergency nurse disaster preparedness during mass gatherings: A cross-sectional survey of emergency nurses’ perceptions in hospitals in Mecca, Saudi Arabia. BMJ Open, 7(4), e013563. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2016-013563

Anam, A. K., Winarni, S., & Susatya, B. (2015). Effektivitas Disaster Training terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Perawat dalam Kesiapsiagaan Penanggulangan Bencana Letusan Gunung Kelud di Kota Blitar. Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 2(2), 108–114. https://doi.org/10.26699/jnk.v2i2.ART.p108-114

Arfan, A. (2016). Managing the Impact of Smoke Haze Disaster: Response of Civil Society Groups Towards Jambi Provincial Government Performance. Jurnal Bina Praja: Journal of Home Affairs Governance, 8(1), Article 1. https://doi.org/10.21787/jbp.08.2016.59-68

Baack, S. (2011). Analysis of Texas Nurses’ Preparedness and Perceived Competence in Managing Disasters [Doctoral dissertation]. The University of Texax at Tyler.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2018). Data dan Informasi Bencana Indonesia [Data set]. http://bnpb.cloud/dibi/tabel1

Ben Natan, M., Nigel, S., Yevdayev, I., Qadan, M., & Dudkiewicz, M. (2014). Nurse willingness to report for work in the event of an earthquake in Israel. Journal of Nursing Management, 22(7), 931–939. https://doi.org/10.1111/jonm.12058

Chapman, K., & Arbon, P. (2008). Are nurses ready?: Disaster preparedness in the acute setting. Australasian Emergency Nursing Journal, 11(3), 135–144. https://doi.org/10.1016/j.aenj.2008.04.002

Guha-Sapir, D., Hoyois, P., & Below, R. (2015). Annual Disaster Statistical Review 2014: The numbers and trends (UCL-Université Catholique de Louvain). UCL - SSS/IRSS - Institut de recherche santé et société. https://dial.uclouvain.be/pr/boreal/object/boreal:171092

Husna, C., Hatthakit, U., & Chaowalit, A. (2011). Do knowledge and clinical experience have specific roles in perceived clinical skills for tsunami care among nurses in Banda Aceh, Indonesia? Australasian Emergency Nursing Journal, 14(2), 95–102. https://doi.org/10.1016/j.aenj.2010.12.001

Jakeway, C. C., LaRosa, G., Cary, A., Schoenfisch, S., & Association of State and Territorial Directors of Nursing. (2008). The role of public health nurses in emergency preparedness and response: A position paper of the Association of State and Territorial Directors of Nursing. Public Health Nursing (Boston, Mass.), 25(4), 353–361. https://doi.org/10.1111/j.1525-1446.2008.00716.x

Jiang, L., He, H.-G., Zhou, W.-G., Shi, S.-H., Yin, T.-T., & Kong, Y. (2015). Knowledge, attitudes and competence in nursing practice of typhoon disaster relief work among Chinese nurses: A questionnaire survey. International Journal of Nursing Practice, 21(1), 60–69. https://doi.org/10.1111/ijn.12214

Kurniyanti, M. A. (2012). Peran Tenaga Kesehatan Dalam Penanganan Manajemen Bencana ( Disaster Management). Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada, 1(1), Article 1. https://doi.org/10.33475/jikmh.v1i1.87

Labrague, L. J., Yboa, B. C., McEnroe-Petitte, D. M., Lobrino, L. R., & Brennan, M. G. B. (2016). Disaster Preparedness in Philippine Nurses: Disaster Preparedness in Nurses. Journal of Nursing Scholarship, 48(1), 98–105. https://doi.org/10.1111/jnu.12186

Luo, Y., Liu, L., Huang, W.-Q., Yang, Y.-N., Deng, J., Yin, C.-H., Ren, H., & Wang, X.-Y. (2013). A Disaster Response and Management Competency Mapping of Community Nurses in China. Iranian Journal of Public Health, 42(9), 941–949.

Nekooei Moghaddam, M., Saeed, S., Khanjani, N., & Arab, M. (2014). Nurses’ requirements for relief and casualty support in disasters: A qualitative study. Nursing and Midwifery Studies, 3(1), e9939. https://doi.org/10.17795/nmsjournal9939

Öztekin, S. D., Larson, E. E., Akahoshi, M., & Öztekin, ?. (2016). Japanese nurses’ perception of their preparedness for disasters: Quantitative survey research on one prefecture in Japan: Nurses’ perceptions on disasters. Japan Journal of Nursing Science, 13(3), 391–401. https://doi.org/10.1111/jjns.12121

Phetricco, L. G., & Loerzus, B. (2016). Government policies and infrastructure facilities on nurse preparedness for disaster. Journal of Disaster Management, 12(1), 9–21.

Polivka, B. J., Stanley, S. A. R., Gordon, D., Taulbee, K., Kieffer, G., & McCorkle, S. M. (2008). Public health nursing competencies for public health surge events. Public Health Nursing (Boston, Mass.), 25(2), 159–165. https://doi.org/10.1111/j.1525-1446.2008.00692.x

Powers, & Daily, E. (Eds.). (2010). International Disaster Nursing. The World Association for Disaster and Emergency Medicine (WADEM).

Sangkala, Moh. S., & Gerdtz, M. F. (2018). Disaster preparedness and learning needs among community health nurse coordinators in South Sulawesi Indonesia. Australasian Emergency Care, 21(1), 23–30. https://doi.org/10.1016/j.auec.2017.11.002

The United National Office for Disaster Risk Reduction. (2015). Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. United Nations.

Usher, K., Mills, J., West, C., Casella, E., Dorji, P., Guo, A., Koy, V., Pego, G., Phanpaseuth, S., Phouthavong, O., Sayami, J., Lak, M. S., Sio, A., Ullah, M. M., Sheng, Y., Zang, Y., Buettner, P., & Woods, C. (2015). Cross-sectional survey of the disaster preparedness of nurses across the Asia-Pacific region. Nursing & Health Sciences, 17(4), 434–443. https://doi.org/10.1111/nhs.12211

Veenema, T. G., Griffin, A., Gable, A. R., MacIntyre, L., Simons, R. N., Couig, M. P., Walsh, J. J., Lavin, R. P., Dobalian, A., & Larson, E. (2016). Nurses as Leaders in Disaster Preparedness and Response-A Call to Action: A Call to Action. Journal of Nursing Scholarship, 48(2), 187–200. https://doi.org/10.1111/jnu.12198

Wahidah, D. A., Rondhianto, R., & Hakam, M. (2016). Faktor—Faktor yang Mempengaruhi Kesiapsiagaan Perawat dalam Menghadapi Bencana Banjir di Kecamatan Gumukmas Kabupaten Jember (Factors Influencing Nurse Preparedness in the Face of Flooding in Gumukmas District in Jember). Pustaka Kesehatan, 4(3), 568–574.

World Health Organization & International Council of Nurses. (2009). ICN Framework of Disaster Nursing Competencies. International Council of Nurses (ICN).

Published

2023-06-15 — Updated on 2023-06-19

Versions

How to Cite

Nurdin, N., & Amandaty, S. P. (2023). Analysis of Factors Related to the Preparedness of Puskesmas Nurses in Facing Haze Disasters. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(2), 151–163. https://doi.org/10.36990/hijp.v15i2.699 (Original work published June 15, 2023)

Issue

Section

Original Research

Citation Check