Risiko Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol

Authors

  • Sri Sudaryani Sy. Abd. Azis Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
  • Herlina Jusuf Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
  • Laksmyn Kadir Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia

Keywords:

Gender, Knowledge, Nutritional status, ARI, Toddlers

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara jenis kelamin, pengetahuan ibu dan status gizi balita dengan kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol. Jenis penelitian kuantitatif melalui pendekatan survey analitik dengan desain Cross Sectional Study. Populasi ada balita yang datang berkunjung di Puskesmas Momunu pada saat penelitian dilakukan. Jumlah Sampel sebanyak 155 balita yang dihitung dengan rumus slovin. Data yang didapatkan kemudian dianalisis secara univariat dan bivariat. Uji yang digunakan yaitu chi square dengan nilai ? = 0,05. Berdasarkan hasil temuan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan jenis kelamin balita (? value 0,000), pengetahuan ibu (? value 0,000), status gizi balita (? value 0,000) dengan kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol.

PENDAHULUAN

Usia balita sangat penting untuk pematangan manusia. Keberhasilanpertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan sangat bergantung padaperkembangan dan pertumbuhan mereka selama masa bayi. Karena sistemkekebalan tubuhnya masih berkembang, balita sangat rentan terhadappenyakit. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (juga dikenal sebagai ISPA)adalah penyebab umum rawat inap dan penyakit di antara pasien. ISPAadalah infeksi saluran pernapasan atas atau bawah yang dapat menyebabkanberbagai gejala dan penyakit. Kemenkes (2017) menyatakan bahwa ISPAmerupakan Airborne Bone Disease yang dapat disebarkan melalui pernapasanudara yang terkontaminasi.

Bahkan sekarang, ISPA tetap menjadi salah satu pembunuh penyakitmenular terkemuka di dunia. Angka kematian tahunan akibat ISPA adalah4,25 juta. Pada tahun 2019, harapan hidup rata-rata seseorang denganinfeksi saluran pernapasan bawah adalah 2,9 tahun lebih pendek daripadatanpa penyakit (WHO, 2019). Balita paling berbahaya. Sekitar 1,6 jutaanak di bawah usia lima tahun meninggal setiap tahun akibat pneumonia,menjadikan ISPA sebagai penyebab utama rawat inap anak. Jumlah kematianorang dewasa (usia 25 hingga 59) adalah 1,65 juta (Aryani, 2018).

Di daerah berpenghasilan rendah, ISPA merupakan penyebab utamakematian bayi (terutama pada bayi berusia kurang dari dua bulan). Dinegara berkembang, Indonesia memiliki salah satu tingkat ISPA tertinggi.Di Indonesia, ISPA secara konsisten menjadi penyebab utama kematian bayidan balita. Di rumah sakit dan klinik, ISPA sering menempati urutan 10besar penyakit yang paling banyak diobati. Karena ISPA memiliki dampakyang sangat besar bagi penderitanya—tidak hanya bayi dan balita, tetapijuga orang dewasa—dan karena dapat berfungsi sebagai pemicu penyakitlain, penyakit ini terus menjadi masalah kesehatan di Indonesia(Kemenkes RI, 2017). Sedangkan pada tahun 2019, angka kejadian (per 1000anak di bawah usia lima tahun) di Indonesia sebesar 20,56 persen,menurut statistik dari subdirektorat ISPA Kementerian Kesehatan. Angkakejadian ISPA diprediksi mencapai 3,55 persen secara nasional pada tahun2019 (Kemenkes RI).

Cakupan ISPA balita di Sulawesi Tengah tahun 2019 sebesar 52,3%,tahun 2020 sebesar 60%, dan tahun 2021 target cakupan ISPA balitasebesar 65%; namun hanya 3 kabupaten (dari total 13) yang dapat mencapaitarget nasional ISPA balita (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah,2021). Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Buol, ISPA merupakan salah satudari 10 besar penyakit yang paling umum di daerah tersebut. DinasKesehatan Kabupaten Buol melaporkan antara tahun 2019 sampai dengantahun 2021 terdapat total 7198 kasus ISPA pada balita (44,3%), 7460kasus (45,7%), dan 5839 kasus (34,8%) ISPA pada balita (Dikes,Pengendalian Kependudukan dan KB, 2021).

Menurut data tahun 2019, Puskesmas Momunu mengalami peningkatan kasusISPA terbanyak di Kabupaten Buol. Kasus ISPA pada balita pada tahun 2019sebanyak 1.082 kasus, terhitung 68,8 persen; pada tahun 2020, terdapat690 kasus, terhitung 43,8 persen; dan pada tahun 2021, terdapat 695kasus, terhitung 44,2 persen. Menurut profil Puskesmas Momunu tahun2021, kasus ISPA merupakan yang terbanyak di antara 10 gangguan yangpaling banyak dirawat di sana.

Dua dari sebelas anak dalam studi pendahuluan mengalami gizi buruk,dan sembilan ibu mengatakan bahwa pemberian ASI eksklusif juga sangatberpengaruh; Namun, tiga orang ibu mengatakan bahwa pengetahuan ibu jugasangat berpengaruh karena masih ada ibu dengan balita yangpengetahuannya masih rendah sehingga kurang memahami pentingnyapemberian gizi yang cukup. Meskipun ISPA paling umum terjadi pada anakkecil, penyakit ini tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat diwilayah tangkapan Puskesmas Momunu pada tahun 2021 karena dampaknya yangluas terhadap korbannya.

Petugas program ISPA Puskesmas Momunu menemukan bahwa ibu denganijazah SMA atau kurang memiliki kejadian ISPA yang lebih tinggi padaanak balita mereka dibandingkan dengan mereka yang bergelar sarjana.Berdasarkan pendataan kesehatan balita di Puskesmas Momunu, 21 pasienbalita tersebut mengalami gizi kurang. Ini karena kombinasi asupanmakanan yang tidak mencukupi dan fakta bahwa mereka tidak disusui secaraeksklusif.

Fakta yang ada dan tingginya kejadian ISPA paida balita di wilayahpelayanan Puskesmas Momunu Kabupaten Buol menunjukkan perlunyapenelitian lebih lanjut., menarik peneliti untuk mengetahui “RisikoKejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita diPuskesmas Momunu Kabupaten Buol”.

METODE

Jenis penelitian kuantitatif melalui pendekatan survey analitikdengan desain Cross Sectional Study. Penelitian telahdilakukan di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol pada bulan Februari-Maret2023. Populasi balita yang datang berkunjung di Puskesmas Momunu padasaat penelitian dilakukan. Jumlah Sampel sebanyak 155 balita yangdihitung dengan rumus slovin.

Pengumpulan Data

Metode utama pengumpulan informasi untuk penelitian ini adalahmelalui informasi dengan ibu dari anak yang didiagnosis ISPA. Datasekunder mengacu pada informasi yang diperoleh dari sumber yang sudahada sebelumnya seperti publikasi ilmiah, situs web perusahaan, dansejenisnya. Kuesioner, wawancara dengan responden, dan dokumen pendukungmembentuk instrumen.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengeditan, pengkodean, tabulasi, dan pembersihan adalah semualangkah yang terjadi setelah pengumpulan datia. Analisis data dilakiukanseciara univariat dain bivariat. Anialisis univariat dengan memberikanpenjelasan rinci tentang frekuensi dan distribusi masing-masingvariabel, dan uji chi-square untuk analisis bivariat.

HASIL

Jenis Kelamin Balita

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Laki-Laki 115 74,2
Perempuan 40 25,8
Jumilah 155 100,0
Table 1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin Balita

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini sebagian besar balita berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 115 orang (74,2%), sedangkan balita berjenis kelamin perempuan sebanyak 40 orang (25,8%).

Pengetahuan Ibu

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

Baik 56 36,1
Cukup 70 45,2
Kurang 29 18,7
Jumlah 155 100,0
Table 2. Tingkat Pengetahuan Ibu Balita

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini sebagian besar ibu balita berpengetahuan cukup mengenai penyakit ISPA pada balita yaitu sebanyak 70 orang (45,2%), sedangkan ibu yang berpengetahuan baik sebanyak 56 orang (36,1%) dan berpengetahuan kurang sebanyak 29 orang (18,7%).

Status Gizi Balita

Frekuensi

(n)

Persentase

(%)

BB Normal 105 67,7
BB Kurang 36 23,2
Risiko BB Lebih 14 9,0
Jumlah 155 100,0
Table 3. Status Gizi Balita

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada penelitian ini sebagian besar balita berat badan normal yaitu sebanyak 105 orang (67,7%), sedangkan balita dengan berat badan kurang sebanyak 36 orang (23,2%) dan balita dengan risiko berat badan lebih sebanyak 14 orang (9,0%).

Jenis Kelamin Kejadian ISPA Total ? value
Tidak ISPA ISPA
n % n % N %
Laki-laki 59 38,1 56 36,1 115 74,2 0,000
Perempuan 38 24,5 2 1,3 40 25,8
Jumlah 97 62,6 58 37,4 155 100,0
Table 4. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada 115 orang balita (74,2%) yangberjenis kelamin laki-laki, yang mengalami ISPA sebanyak 56 orang(36,1%) dan yang tidak mengalami ISPA sebanyak 59 orang (38,1%). Pada 40orang balita (25,8%) yang berjenis kelamin perempuan, yang mengalamiISPA sebanyak 2 orang (1,3%) dan yang tidak mengalami ISPA sebanyak 38orang (24,5%).

Hasil uji chi square mendapatkan ? value sebesar 0,000. Pemenuhanhipotesis yaitu ? value (0,000) < ? (0,05). Diinterpretasikan bahwaada hubungan jenis kelamin dengan kejadian Penyakit ISPA pada Balita diPuskesmas Momunu Kabupaten Buol.

Pengetahuan Ibu Kejadian ISPA Total ? value
Tidak ISPA ISPA
n % n % N %
Baik 43 27,7 13 8,4 56 36,1 0,000
Cukup 47 30,3 23 14,8 70 45,2
Kurang 7 4,5 22 14,2 29 18,7
Jumlah 97 62,6 58 37,4 155 100,0
Table 5. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada 56 orang ibu balita (36,1%) berpengetahuan baik, yang mengalami ISPA sebanyak 13 orang (8,4%) dan yang tidak mengalami ISPA sebanyak 43 orang (27,7%). Pada 70 orang ibu balita (45,2%) yang berpengetahuan cukup, yang mengalami ISPA sebanyak 23 orang (14,8%) dan yang tidak mengalami ISPA sebanyak 47 orang (30,3%). Pada 29 orang ibu balita (18,7%) yang berpengetahuan kurang, yang mengalami ISPA sebanyak 22 orang (14,2%) dan yang tidak mengalami ISPA sebanyak 7 orang (4,5%).

Hasil uji chi square mendapatkan ? value sebesar 0,000. Pemenuhan hipotesis yaitu ? value (0,000) < ? (0,05). Diinterpretasikan bahwa ada hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol.

Status Giizi Kejadian ISPA Total ? value
Tidak ISPA ISPA
n % n % N %
BB Normal 78 50,3 27 17,4 105 67,7 0,000
BB Kurang 6 3,9 30 19,4 36 23,3
Risiko BB Lebih 13 8,4 1 0,6 14 9,0
Jumlah 97 62,6 58 37,4 155 100,0
Table 6. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada 105 orang balita (67,7%) beratbadan normal, yang mengalami ISPiA sebanyak 27 orang (19,4%) dan yangtidak mengalami ISPA sebanyak 78 orang (50,3%). Pada 36 orang balita(23,3%) berat badan kurang, yang mengalami ISPA sebanyak 30 orang(19,4%) dan yang tidak mengalami ISPiA sebanyak 6 orang (3,9%). Pada 14orang balita (9,0%) dengan risiko berat badan lebih, yang mengalami ISPAsebanyak 1 orang (0,6%) dan yang tidak mengalami ISPA sebanyak 13 orang(8,4%).

Hasil uji chi square mendapatkan ? value sebesar 0,000. Pemenuhanhipotesis yaitu ? value (0,000) < ? (0,05). Diinterpretasikan bahwaada hubungan status gizi dengan kejadian Penyakit ISPA pada Balita diPuskesmas Momunu Kabupaten Buol.

PEMBAHASAN

Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Penyakit ISPApada Balita di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol

Temuan menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih mungkin terkena ISPAdibandingkan anak perempuan di Puskesmas Momunu di Kabupaten Buol. Nilai0,000 untuk memungkinkan kita menyimpulkan ini. Menurut penelitian,lebih banyak laki-laki daripada perempuan yang dilaporkan mengalamiISPA, sedangkan perempuan lebih banyak daripada laki-laki yangmelaporkan tidak pernah mengalami ISPA.

Para peneliti telah menyimpulkan bahwa tidak ada variasi biologisyang jelas antara usia anak balita yang menyebabkan perbedaan yangdiamati dalam prevalensi ISPA antara jenis kelamin. ISPA lebih seringterjadi pada balita laki-laki dibandingkan balita perempuan. Bayilaki-laki mungkin berisiko lebih besar terkena ISPA daripada bayiperempuan. Ini mungkin karena variasi hormonal dan sistem kekebalanantara jenis kelamin. Karena laki-laki seringkali lebih aktif daripadaperempuan, mereka juga lebih mungkin terpapar bahan kimia penyebabISPA.

Temuan penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yangdilakukan di sekitar Puskesmas Kota Timur yang sama di Kota Gorontalooleh Dengo et al. (2023) yang menemukan p-value = 0,039 (0,05) antarajenis kelamin dengan kejadian ISPA pada balita usia 24-59 bulan. Enampuluh lima balita laki-laki (34,9%) dan enam puluh tiga balita perempuan(34,8%) lebih sering mengalami ISPA dibandingkan kelompok jenis kelaminlainnya.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sari (2018) di Wilayah KerjaPuskesmas Ratu Agung Kota Bengkulu, hubungan antara jenis kelamin denganprevalensi ISPA pada balita signifikan pada p = 0,006. Risiko ISPA padabalita laki-laki 3.750 kali lebih tinggi dibandingkan balitaperempuan.

Sukamawa mengklaim bahwa ISPA dapat menyerang siapa saja tanpamemandang ras, agama, usia, maupun tingkat sosial ekonomi. Insiden ISPAagak lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutama padabalita; perbedaan ini kemungkinan besar disebabkan oleh fungsi parubalita laki-laki yang belum berkembang (Firza et al., 2020).

Genetika memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk sistemkekebalan, terutama pada usia muda, yang dapat menjelaskan mengapa jeniskelamin dapat memengaruhi terjadinya ISPA. Identitas seks ditentukanoleh ada tidaknya sejumlah kromosom X; perempuan memiliki kromosom XX,sedangkan laki-laki memiliki kromosom XY. Penelitian yang diterbitkandalam bioessay mengungkapkan bahwa microRNAs pada kromosom X terlibatdalam imunitas dan keganasan. MicroRNA adalah sejenis RNA yang memainkanperan penting dalam biosintesis makromolekul yang lebih besar sepertiDNA dan protein. MicroRNA lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkanpria karena peningkatan jumlah kromosom X pada wanita (Utami et al.,2018).

Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol

Korelasi antara pendidikan dengan angka kejadian penyakit saluran pernapasan akut (ISPA) pada balita ditemukan dalam penelitian yang dilakukan di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol ini. Ini adalah hasil dari memasukkan 23,749 untuk 2 dan 0,000 untuk. Analisis data menunjukkan bahwa dibandingkan ibu dengan tingkat pengetahuan tinggi yang tidak mengalami ISPA, ibu dengan tingkat pengetahuan rendah mengalami ISPA.

Telah dikemukakan oleh para peneliti bahwa keakraban seorang ibu dengan ISPA memengaruhi kemampuannya untuk melihat gejala peringatan, mengambil tindakan pencegahan, dan merawat anaknya secara efektif jika dia tertular penyakit tersebut. Jika ibu mengetahui apa yang harus dicari pada anak dengan ISPA, kemungkinan diagnosisnya lebih cepat daripada nanti. Mendapatkan perhatian medis untuk ISPA sesegera mungkin dapat mengurangi kemungkinan komplikasi dan mempercepat pemulihan pasien. Melindungi bayi dari paparan virus atau bakteri penyebab ISPA menuntut ibu untuk menguasai strategi pencegahan. Ibu yang mendapat informasi lebih mungkin melakukan tindakan pencegahan, seperti sering mencuci tangan, vaksinasi, dan lingkungan rumah yang bersih.

Pemahaman orang tua tentang ISPA adalah sumber penting untuk membantu anak mengembangkan rutinitas yang sehat. Pengetahuan atau kognisi adalah area krusial di mana tindakan (perilaku) seseorang terbentuk. Kemungkinan kejadian ISPA pada anak dapat diminimalkan seminimal mungkin jika ibu memiliki pemahaman yang kuat tentang kondisi tersebut, dan hal ini kemungkinan besar akan berdampak baik pada kesehatan anaknya (Notoatmodjo, 2017).

Ada unsur baik dan buruk yang ibu ketahui tentang ISPA. Caraseseorang merasakan sesuatu didasarkan pada persepsi mereka tentangnilai dan daya tarik estetisnya. Pandangan yang lebih optimis berkembangsebagai respons terhadap peningkatan keakraban dengan fitur yang disukaiobjek. Jika Anda tahu sedikit tentang suatu topik dan memutuskan inginmempelajarinya lebih lanjut, Anda mungkin lebih termotivasi untukmelakukannya. Para ibu, sebagai pengasuh utama, bertanggung jawab untukmenyadari kebutuhan dan kekurangan mereka yang tidak terpenuhi.Mengetahui bahwa anak-anak mereka memiliki hak, termasuk hak atasperawatan medis, dapat membantu para ibu membentuk keyakinan yangmemotivasi mereka untuk menjaga kesehatan anak mereka sendiri. Semakinberpengetahuan seseorang, semakin jelas jalan mereka. Sehingga para ibuyang berpendidikan dapat mendekati pengobatan balitanya yang kurangsehat dengan objektivitas dan keterbukaan yang lebih besar, khususnyadalam kasus sindrom paru menular pada bayi dan anak kecil (ISPA)(Syamsi, 2018).

Temuan penelitian ini sejalan dengan Wulaningsih dan Hastuti (2018)yang menemukan adanya hubungan bermakna (=0,031) antara pengetahuan ISPAorang tua dengan prevalensi ISPA pada balita di Desa DawungsariKecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. Dua puluh responden (60,6%) yangmenjawab survei dan memahami ISPA secara menyeluruh tidak pernahmengalami kondisi tersebut. Lima belas (75%) responden yang mengalamikejadian ISPA juga memiliki pemahaman yang sesuai tentang ISPA. Namun,sebelas orang (57,9%) mengatakan bahwa pengetahuan mereka tentang ISPAkurang dari rata-rata. Orang mungkin berasumsi bahwa lebih sedikit kasusISPA akan terjadi jika orang tua mengetahui lebih banyak tentang kondisitersebut.

Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Bali tadi Puskesmas Momunu Kabupaten Buol

Di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol kejadian ISPA berhubungan dengan keadaan gizi balita. Nilai 0,000 untuk menghasilkan hasil ini. Menurut penelitian, anak di bawah 5 tahun dengan indeks massa tubuh lebih rendah lebih mungkin terkena ISPA daripada rekan mereka yang berbobot normal. Ketika balita kekurangan berat badan, itu menunjukkan mereka tidak cukup makan.

Lingkaran setan dapat berkembang antara malnutrisi dan ISPA. Balita yang sudah kekurangan gizi berisiko lebih besar terkena ISPA, dan penyakit itu sendiri dapat berdampak negatif pada status gizi mereka karena berkurangnya asupan makanan dan meningkatnya kebutuhan gizi selama proses penyembuhan. Nafsu makan berkurang, mual, muntah, dan masalah makan dan minum adalah kemungkinan efek samping infeksi saluran pernapasan akut pada balita. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya perkembangan dan unsur penunjang kesehatan dalam makanan. ISPA jangka panjang atau berat dapat berdampak pada kondisi pola makan atau berat badan seseorang.

Status gizi merupakan faktor risiko Penyakit Pernafasan Akut pada balita karena dapat menyebabkan terganggunya sistem hormonal dan pertahanan tubuh balita yang keduanya dapat menyebabkan penyakit ISPA. Daya tahan tubuh yang lemah membuat balita gizi buruk lebih rentan terhadap infeksi ISPA dan memperlama timbulnya gejala dibandingkan dengan balita dengan keadaan gizi sehat. Oleh karena itu, daya tahan tubuh yang sehat dan terhindar dari ISPA membutuhkan pola makan yang tepat dan seimbang. Karena bayi dan balita terbukti lebih rentan terhadap ISPA (Darmawan et al., 2016).

Respon imunologi tubuh dan daya tahan tubuh terhadap infeksi sangatdipengaruhi oleh nutrisi yang dikonsumsi. Salah satu variabel utamadalam menjaga keseimbangan ini adalah status gizi, dan malnutrisi energiprotein (PEM) dapat menurunkan daya tahan tubuh dan meningkatkanvirulensi patogen, mengganggu keseimbangan dan menyebabkan infeksi.penyakit, terutama penyakit menular, lebih sering terjadi pada balitapenderita ISPA karena keadaan gizi anak yang rendah. Balita yang kuranggizi lebih mungkin tertular dan menderita infeksi infeksi untuk jangkawaktu yang lebih lama daripada balita yang gizinya baik (Prasiwi et al.,2021).

Temuan penelitian ini menguatkan orang-orang dari Giroth et al.(2022), yang menggunakan uji Mann-Whitney untuk menentukan persyaratanchi-square tidak terpenuhi (pvalue = 0,003 = 0,05) dan menyimpulkanbahwa ada korelasi antara status gizi balita dengan prevalensi ISPA.Respons imun yang sehat memungkinkan tubuh menangkis penyakit menular,tetapi karena nutrisi memburuk, pertahanan tubuh melemah, menyebabkanmasalah seperti pertumbuhan terhambat, kekebalan terganggu, dankerusakan mukosa (termasuk di saluran pernapasan).

Malnutrisi dan gizi buruk terbukti memiliki korelasi yang signifikandengan prevalensi ISPA dalam penelitian yang dilakukan di Surakarta olehWidyawati et al. (2020), dengan nilai p kurang dari 0,05 untuk keduavariabel. ISPA terjadi 8,63 kali lebih sering pada balita dengan statusgizi rendah dibandingkan pada balita dengan gizi cukup.

KESIMPULAN DAN SARAN

Ada hubungan jenis kelamin balita (? value 0,000), pengetahuan ibu (? value 0,000), status gizi balita (? value 0,000) dengan kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol. Oleh karena itu disarankan kepada Puskesmas menyebarkan informasi akurat tentang penularan, gejala, dan tindakan pencegahan ISPA kepada masyarakat luas. Kemampuan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menghindari bahaya ISPA dapat ditingkatkan dengan pendidikan yang memadai..

DAFTAR PUSTAKA

Aryani, N. & Syapitri, H. 2018. Hubungan Kebiasaan Merokok Anggota Keluarga Di Dalam Rumah Dengan ISPA Pada Balita Di Puskesmas Helvetia Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan Hidup, 3(1): 1–9.

Darmawan, M., Kumala, D. & Arsesiana, A. 2016. Hubungan Tingkat Pengetahan dan Sikap Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Bayi Usia 1-12 Bulan di Puskesmas Pahandut Palangka Raya. Dinamika Kesehatan, 7(2): 98–109.

Dengo, S.W., Kadir, L. & Amalia, L. 2023. Factors Associated With The Incidence Of Acute Respiratory Tract Infection (ARI) In Children Aged 24-59 Months In The East City Puskesmas Region. Gorontalo Journal and Science Community, 7(3): 272–280.

Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana 2021. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Buol. Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah 2021. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Profil kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 1–377.

Firza, D., Haratah, D.R., Wardah, R., Alviani, S. & Rahmayani, T.U. 2020. Angka Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan dengan Jenis Kelamind an Usia di UPT Puskesmas Dolok Merawan. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.

Giroth, T.M., Manoppo, J.I.C. & Bidjuni, H.J. 2022. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Puskesmas Tompaso Kabupaten Minahasa. Jurnal Keperawatan, 10(1): 79.

Kemenkes 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kemenkes RI 2019. Health Statistics (Health Information System). Short Textbook of Preventive and Social Medicine.

Notoatmodjo 2017a. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. In Applied Nursing Research.

Notoatmodjo, S. 2017b. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Prasiwi, N.W., Ristanti, I.K., D, T.Y.F. & Salamah, K. 2021. Hubungan Antara Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita. Cerdika Jurnal Ilmiah Indonesia, 1(5): 560–566. Tersedia di https://cerdika.publikasiindonesia.id/ index.php/cerdika/article/view/81.

Sari, N.N. 2018. Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ratu Agung Kota Bengkulu Tahun 2018. Poltekkes Kemenkes Bengkullu.

Syamsi, N. 2018. Hubungan Tingkat Pendidikan Dan Pengetahuan Ibu Balita Tentang Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 6(1): 49–57.

Utami, P.M.N., Purniti, P.S. & Arimbawa, I.M. 2018. Hubungan Jenis Kelamin, Status Gizi Dan Berat Badan Lahir Dengan Angka Kejadian ISPA Pada Balita Di Puskesmas Banjarangkan II Tahun 2016. Intisari Sains Medis, 9(3): 135–139.

WHO 2019. Pusat Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berat. WHO.

Widyawati, W., Hidayah, D. & Andarini, I. 2020. Hubungan Status Gizi dengan Angka Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita Usia 1-5 Tahun di Surakarta. Smart Medical Journal, 3(2): 59.

Wulaningsih, I. & Hastuti, W. 2018. Hubungan Pengetahuan Orang Tua tentang ISPA dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Dawungsari Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. Jurnal Smart Keperawatan, 5(1): 90.

Published

2023-08-31

How to Cite

Azis, S. S. S. A., Jusuf, H., & Kadir, L. (2023). Risiko Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita di Puskesmas Momunu Kabupaten Buol. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(2), e1055. Retrieved from https://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/hijp/article/view/1055

Issue

Section

Original Research

Citation Check