Analisis Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo

Authors

  • Rahmawati Abd Gani Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
  • Lintje Boekoesoe Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
  • Laksmyn Kadir Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia

Keywords:

Self efficacy, Hypertension, Gender, Education, Lifestyle, Smoking

Abstract

The researchers aimed to assess the self-perceived abilities of local residents within the service area of Sipatana Health Center in Gorontalo City concerning their impact on combating hypertension. This study utilized a cross-sectional methodology with correlational analysis. A total of seventy-two participants were purposively sampled using the Slovin method. Chi-square and linear regression analyses were employed. The results revealed a significant association between self-efficacy and hypertension rates in the catchment area of Sipatana Public Health Center in Gorontalo City (p=0.004).

Furthermore, factors such as gender (p=0.005), higher educational attainment (p=0.014), adopting a healthy lifestyle (p=0.005), maintaining high medication adherence (p=0.022), engaging in moderate physical activity (p=0.003), refraining from smoking (p=0.045), having a normal weight (p=0.000), and having mild obesity (p=0.041) were found to influence the relationship between self-efficacy and the prevalence of hypertension.

When controlling for medication adherence, physical activity, and obesity, the study showed that self-efficacy has a positive correlation with hypertension prevalence (F count 10.844, p value 0.000, R 0.569, R Squared 0.324). In summary, medication adherence, physical activity, and obesity collectively contribute to the 32.4% positive correlation observed between self-efficacy and hypertension within the Sipatana Health Center's catchment area in Gorontalo City.

PENDAHULUAN

Prevalensi penyakit tidak menular (PTM) telah muncul sebagai ancamanutama bagi kesehatan masyarakat pada semua skala. WHO (2017)memperkirakan bahwa dua pertiga populasi penderita hipertensi duniaberada di negara-negara miskin. Diperkirakan sekitar 1,5 juta orang diAsia Tenggara meninggal setiap tahun karena penyebab terkait hipertensi(Hasnawati, 2021).

Kementerian Kesehatan (2014) melaporkan bahwa 90-95% kasus hipertensi tidak diketahui penyebabnya, padahal American Heart Association (AHA) memperkirakan terdapat 74,5 juta orang Amerika berusia di atas 20 tahun yang menderita hipertensi. Menurut perkiraan dari Lancet, akan ada 107,3 ??juta orang di India dengan hipertensi pada tahun 2025, meningkat 56 persen dari 60,4 juta pada tahun 2020. Pada tahun 2020, 98,5% penduduk China menderita hipertensi. Diperkirakan akan mencapai 151,7 juta pada tahun 2025, meningkat 65% dari level saat ini. Kasus hipertensi diproyeksikan akan tumbuh dari tingkat saat ini 38,4 juta pada tahun 2000 menjadi 67,3 juta pada tahun 2025, meningkat 57%. Informasi ini menunjukkan bahwa hipertensi menimbulkan risiko bagi umat manusia secara keseluruhan.

Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo mendata 23.684 penderita hipertensi pada tahun 2018, dengan konsentrasi tertinggi di Kota Gorontalo (12.263), diikuti Kabupaten Gorontalo (4.225), Gorontalo Utara (2.808), Bone Bolango (2.186), Boalemo (1.362). ), dan Pohuwato (840). Penderita hipertensi banyak terdapat di Puskesmas Sipatana yang merupakan salah satu Puskesmas di Kota Gorontalo (6.284 kasus pada tahun 2018). Kajian awal yang dilakukan pada tahun 2020 di Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo didapatkan penderita hipertensi pada bulan Januari sebanyak 141 orang, pada bulan Februari sebanyak 265 orang, dan bulan Maret sebanyak 167 orang.

Usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik (faktor risiko yang tidak dapat diubah/dikendalikan), dan faktor gaya hidup seperti merokok, konsumsi garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan minyak jelantah, kebiasaan konsumsi minum minuman beralkohol, obesitas, kekurangan fisik aktivitas, stres, dan penggunaan estrogen semuanya berperan dalam perkembangan hipertensi.

Karena hipertensi adalah kondisi sistemik, kondisi ini dapat memburuk seiring berjalannya waktu. Efikasi diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seberapa baik pasien hipertensi merawat dirinya. Mengelola hipertensi sangat bergantung pada rasa efektivitas diri sendiri. Jika seseorang memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi, ia lebih cenderung merawat dirinya dengan baik. Dunia nyata menunjukkan bahwa penderita hipertensi berbeda dengan penderita PTM lainnya. Pasien terus melakukan rutinitas sehari-hari, terkadang sampai lupa bahwa mereka tidak sehat (Wardhani dan Murdiany, 2019).

Jenis kelamin, pendidikan, gaya hidup, kepatuhan minum obat, dan aktivitas fisik merupakan determinan Self Efficacy terhadap prevalensi hipertensi. Kemanjuran diri seseorang mengacu pada keyakinan mereka pada kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas, bahkan ketika menghadapi tantangan. Studi lain menemukan bahwa wanita gemuk kurang percaya diri dalam kemampuan mereka untuk melakukan latihan fisik dibandingkan dengan rekan mereka dengan berat badan normal.

METODE

Penelitian ini merupakan studi kuantitatif yang menggunakan pendekatan cross-sectional dengan desain analisis korelasional. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Sipatana, Kota Gorontalo, selama bulan November hingga Desember 2022. Populasi penelitian terdiri dari semua individu yang telah terdaftar sebagai penderita hipertensi mulai dari Januari hingga Oktober 2022, dengan total populasi sebanyak 251 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode Purposive Sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 72 orang yang dihitung berdasarkan rumus Slovin.

Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui pengisian lembar observasi dan kuesioner penelitian yang mencakup aspek self efficacy, tekanan darah, jenis kelamin, tingkat pendidikan, gaya hidup, kepatuhan minum obat, aktivitas fisik, perilaku merokok, dan obesitas. Sementara itu, data sekunder merupakan informasi yang diperoleh dari Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo dan sumber pustaka lain yang relevan, seperti buku teks, skripsi, tulisan ilmiah, jurnal, artikel, dan lain sebagainya. Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah pengolahan data yang melibatkan proses editing, coding, tabulasi, dan pembersihan data. Analisis data dilakukan dalam tiga tahap, yaitu analisis univariat, analisis bivariat, dan analisis multivariat. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi dan frekuensi setiap variabel. Analisis bivariat melibatkan penggunaan uji chi-square, sementara analisis multivariat menggunakan metode analisis regresi linear.

HASIL

Self Efficacy Kejadian Hipertensi Total ? value
Hipertensi Tidak Hipertensi
n % n % N %
Tinggi 16 22,2 20 27,8 36 50,0 0,004
Rendah 28 38,9 8 11,1 36 50,0
Jumlah 44 61,1 28 38,9 72 100,0
Table 1. Analisis Hubungan Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa dari total 72 responden, sebanyak 44 orang (61,1%) mengalami hipertensi. Dari mereka yang mengalami hipertensi, 16 orang (22,2%) memiliki tingkat self efficacy yang tinggi, sedangkan 28 orang (38,9%) memiliki tingkat self efficacy yang rendah. Di sisi lain, dari 28 orang (38,9%) responden yang tidak mengalami hipertensi, 20 orang (27,8%) memiliki tingkat self efficacy yang tinggi, dan 8 orang (11,1%) memiliki tingkat self efficacy yang rendah. Hasil uji chi square menunjukkan ? value sebesar 0,004 (< ? 0,05), yang mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat self efficacy dan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo.

Jenis Kelamin Self Efficacy Kejadian Hipertensi Total ? value
Hipertensi Tidak Hipertensi
n % n % N %
Laki-laki Tinggi 8 22,9 8 22,9 16 45,7 0,005
Rendah 18 51,4 1 2,9 19 54,3
Jumlah 26 74,3 9 25,7 35 100,0
Perempuan Tinggi 8 21,6 12 32,4 20 54,1 0,254
Rendah 10 27,0 7 18,9 17 45,9
Jumlah 18 48,6 19 51,4 37 100,0
Table 2. Analisis Jenis Kelamin terhadap Hubungan Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dan tingkat self efficacy dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa pada kelompok berjenis kelamin laki-laki, ? value sebesar 0,005 (< ? 0,05), sementara pada kelompok berjenis kelamin perempuan, ? value sebesar 0,254 (> ? 0,05). Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa individu yang berjenis kelamin laki-laki cenderung memiliki tingkat self efficacy yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang berjenis kelamin perempuan, sehingga mereka lebih sedikit mengalami hipertensi.

Tingkat Pendidikan Self Efficacy Kejadian Hipertensi Total ? value
Hipertensi Tidak Hipertensi
n % n % N %
Pendidikan dasar Tinggi 4 25,0 0 0,0 4 25,0 1,000
Rendah 10 62,5 2 12,5 12 75,0
Jumlah 14 87,5 2 12,5 16 100,0
Pendidikan menengah Tinggi 12 27,9 11 25,6 23 53,5 0,206
Rendah 15 34,9 5 11,6 20 46,5
Jumlah 27 62,8 16 37,2 43 100,0
Pendidikan tinggi Tinggi 0 0,0 9 69,2 9 69,2 0,014
Rendah 3 23,1 1 7,7 4 30,8
Jumlah 3 23,1 10 76,9 13 100,0
Table 3. Analisis Tingkat Pendidikan terhadap Hubungan Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat self efficacy dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa pada kelompok dengan tingkat pendidikan tinggi, ? value sebesar 0,014 (<? 0,05), sementara pada kelompok dengan tingkat pendidikan dasar (SD-SMP), ? value sebesar 1,000 (> ? 0,05), dan pada kelompok dengan tingkat pendidikan menengah (SMA), ? value sebesar 0,206 (> ? 0,05). Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat self efficacy yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang berpendidikan dasar (SD-SMP) dan pendidikan menengah (SMA), sehingga mereka lebih sedikit mengalami hipertensi.

Gaya Hidup Self Efficacy Kejadian Hipertensi Total ? value
Hipertensi Tidak Hipertensi
n % n % N %
Baik Tinggi 7 18,4 19 50,0 26 68,4 0,000
Rendah 11 28,9 1 2,6 12 31,6
Jumlah 18 47,4 20 52,6 38 100,00
Tidak baik Tinggi 9 26,5 1 2,9 10 29,4 0,385
Rendah 17 50,0 7 20,6 24 70,6
Jumlah 26 76,5 8 23,5 34 100,0
Table 4. Analisis Gaya Hidup terhadap Hubungan Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Dari tabel yang telah disajikan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara gaya hidup dan tingkat self efficacy dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Hal ini tercermin dari hasil uji chi-square yang menunjukkan bahwa individu dengan gaya hidup yang baik memiliki nilai ? sebesar 0,005 (< ? 0,05), sementara individu dengan gaya hidup yang tidak baik memiliki nilai ? sebesar 0,385 (> ? 0,05). Hasil ini dapat diartikan bahwa individu yang menjalani gaya hidup yang baik cenderung memiliki tingkat self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang menjalani gaya hidup yang tidak baik. Hal ini juga berkontribusi pada rendahnya risiko terkena hipertensi pada individu dengan gaya hidup yang baik.

Kepatuhan Minum Obat Self Efficacy Kejadian Hipertensi Total ? value
Hipertensi Tidak Hipertensi
n % n % N %
Tinggi Tinggi 0 0,0 14 82,4 14 82,4 0,022
Rendah 2 11,8 1 5,9 3 17,6
Jumlah 2 11,8 15 88,2 17 100,0
Sedang Tinggi 8 30,8 5 11,5 13 50,0 0,673
Rendah 10 38,5 3 11,5 13 50,0
Jumlah 18 69,2 8 30,8 26 100,0
Rendah Tinggi 8 27,6 1 3,4 9 31,0 1,000
Rendah 16 55,2 4 13,8 20 69,0
Jumlah 24 82,8 5 17,2 29 100,0
Table 5. Analisis Kepatuhan Minum Obat terhadap Hubungan Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kepatuhan minum obat dan tingkat self efficacy dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Hal ini terlihat dari hasil uji chi-square yang menunjukkan bahwa individu dengan tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi memiliki nilai ? sebesar 0,022 (<? 0,05), sementara individu dengan tingkat kepatuhan minum obat yang sedang memiliki nilai ? sebesar 0,673 (> ? 0,05), dan individu dengan tingkat kepatuhan minum obat yang rendah memiliki nilai ? sebesar 1,000 (> ? 0,05). Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa individu yang memiliki tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi cenderung memiliki tingkat self efficacy yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat kepatuhan minum obat yang sedang atau rendah. Tingkat self efficacy yang lebih baik kemungkinan berkontribusi pada rendahnya risiko terkena hipertensi pada individu dengan tingkat kepatuhan minum obat yang tinggi.

Aktivitas Fisik Self Efficacy Kejadian Hipertensi Total ? value
Hipertensi Tidak Hipertensi
n % n % N %
Ringan Tinggi 10 37,0 2 7,4 12 44,4 1,000
Rendah 13 48,1 2 7,4 15 55,6
Jumlah 23 85,2 4 14,8 27 100,0
Sedang Tinggi 6 13,3 18 40,0 24 53,3 0,003
Rendah 15 33,3 6 13,3 21 46,7
Jumlah 21 46,7 24 53,3 45 100,0
Table 6. Analisis Aktivitas Fisik terhadap Hubungan Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dan tingkat self efficacy dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Hal ini terlihat dari hasil uji chi-square yang menunjukkan bahwa individu dengan tingkat aktivitas fisik tingkat sedang memiliki nilai ? sebesar 0,003 (<? 0,05), sementara individu dengan tingkat aktivitas fisik ringan memiliki nilai ? sebesar 1,000 (> ? 0,05). Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa individu yang memiliki tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi cenderung memiliki tingkat self efficacy yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah. Tingkat self efficacy yang lebih baik kemungkinan berkontribusi pada rendahnya risiko terkena hipertensi pada individu dengan tingkat aktivitas fisik yang tinggi.

Perilaku Merokok Self Efficacy Kejadian Hipertensi Total ? value
Hipertensi Tidak Hipertensi
n % n % N %
Merokok Tinggi 9 23,1 7 17,9 16 41,0 0,146
Rendah 19 48,7 4 10,3 15 59,0
Jumlah 28 71,8 11 28,2 39 100,0
Tidak Merokok Tinggi 7 21,2 13 39,4 20 60,6 0,045
Rendah 9 27,3 4 12,1 13 39,4
Jumlah 16 48,5 17 51,5 33 100,0
Table 7. Analisis Merokok terhadap Hubungan Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dan tingkat self efficacy dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Hal ini terlihat dari hasil uji chi-square yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki perilaku merokok memiliki nilai ? sebesar 0,146 (>? 0,05), sementara individu yang tidak merokok memiliki nilai ? sebesar 0,045 (> ? 0,05). Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa perilaku merokok tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hubungan antara tingkat self efficacy dan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo.

Obesitas Self Efficacy Kejadian Hipertensi Total ? value
Hipertensi Tidak Hipertensi
n % n % N %
Normal/Tidak Obesitas Tinggi 7 22,6 11 35,5 18 58,1 0,000
Rendah 13 41,9 0 0,0 13 41,9
Jumlah 20 64,5 11 35,5 31 100,0
Obesitas Ringan Tinggi 6 20,7 7 24,1 13 44,8 0,041
Rendah 14 48,3 2 6,9 16 55,2
Jumlah 20 69,0 9 31,0 29 100,0
Obesitas Berat Tinggi 3 25,0 2 16,7 5 41,7 0,222
Rendah 1 8,3 6 50,0 7 58,3
Jumlah 4 33,3 8 66,7 12 100,0
Table 8. Analisis Obesitas terhadap Hubungan Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara obesitas dan tingkat self efficacy dengan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Hasil uji chi-square menunjukkan bahwa pada individu dengan berat badan normal atau tidak mengalami obesitas, nilai ? adalah 0,000 (<? 0,05), pada individu dengan obesitas tingkat ringan, nilai ? adalah 0,041 (< ? 0,05), sementara pada individu dengan obesitas berat, nilai ? adalah 0,222 (> ? 0,05). Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa individu yang memiliki berat badan normal memiliki tingkat self efficacy yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang mengalami obesitas, baik tingkat ringan maupun berat. Hal ini berkontribusi pada tidak mengalami hipertensi.

Variabel

Standarized Coefficients

(?)

F hitung ? value R R Square
Kepatuhan Minum Obat 0,422 10,844 0,000 0,569 0,324
Aktivitas Fisik 0,283
Obesitas 0,306
Table 9. Analisis Multivariat Variabel yang Berpengaruh terhadap Hubungan antara Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi

Dari tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa keempat variabel yaitu kepatuhan minum obat, aktivitas fisik, dan obesitas memiliki hubungan yang signifikan dengan tingkat self efficacy dan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Hal ini didukung oleh nilai F hitung sebesar 10,844 (> F tabel 2,74) dan ? value sebesar 0,000 (< ? 0,05). Selain itu, nilai R sebesar 0,569 mengindikasikan adanya korelasi yang cukup kuat antara ketiga variabel tersebut dalam tingkat signifikansi yang sedang. Lebih lanjut, hasil analisis menunjukkan bahwa sekitar 32,4% dari variasi dalam tingkat self efficacy dan kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo dapat dijelaskan oleh variabel-variabel kepatuhan minum obat, aktivitas fisik, dan obesitas. Sementara itu, sekitar 67,6% sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan sebagai variabel kontrol dalam penelitian ini.

PEMBAHASAN

Hubungan Self Efficacy dengan kejadian hipertensi

Hipertensi terbukti berhubungan dengan rendahnya self-efficacypegawai di Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Tingkat self-efficacy yanglebih rendah terkait dengan risiko yang lebih tinggi terkena hipertensi,menurut korelasi yang dihipotesiskan antara kedua variabel.

Dalam penelitiannya terhadap penderita hipertensi di WilayahPuskesmas Kelurahan Ragunan Provinsi DKI Jakarta, Dewi et al. (2020)menemukan korelasi antara efikasi diri dan kepatuhan perawatan diri.?-nilai = 0,000 (<0,05). Mereka yang percaya pada kemampuan merekasendiri untuk menghasilkan penyesuaian yang menguntungkan dalam perilakukesehatan mereka lebih mungkin melakukannya. Rasa kemanjuran seseorangadalah fitur kuat yang dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksitindakan terkait kesehatan mereka.

Ogedegbege, dikutip dalam Djamaluddin dkk. (2022), berpendapat bahwarasa efikasi diri seseorang adalah dasar dari dorongan, kebahagiaan, dankesuksesan mereka. Suasana hati, pandangan, tingkat motivasi, dantindakan seseorang semuanya dapat diprediksi oleh tingkat efikasidirinya. Pasien dengan kondisi kronis, seperti hipertensi, seringmelaporkan bahwa self-efficacy adalah satu-satunya faktor terpentingdalam mempengaruhi perubahan perilaku positif seperti peningkatankepatuhan pengobatan. Bender & Ingram (2018) berpendapat bahwamereka yang memiliki kesadaran yang kuat akan keefektifannya sendiriakan lebih menjaga dirinya sendiri. Penderita hipertensi terbuktimemiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Orang dengan hipertensiyang percaya diri lebih mampu mengambil alih perawatan kesehatan merekasendiri.

Peneliti berpendapat self-efficacy dalam hipertensi memiliki banyaksegi dan mungkin berdampak pada berbagai aspek kehidupan seseorang.Kecenderungan seseorang untuk mendidik diri mereka sendiri tentang hipertensi dapat dipengaruhi oleh tingkat self-efficacy mereka.Orang-orang yang percaya pada kecerdasan mereka sendiri cenderung lebihproaktif dalam pencarian mereka untuk belajar tentang penyakit mereka.Akibatnya, orang akan lebih siap untuk mengendalikan hipertensi mereka.Kurangnya kepercayaan pada kemampuan seseorang untuk mengendalikanhipertensi dapat mengurangi kemungkinan bahwa pasien akan minum obatsesuai petunjuk. Dosis yang tidak merata atau kepatuhan yang tidak tepatterhadap rejimen pengobatan dapat membahayakan manajemen tekanan darah.Sebaliknya, mereka yang memiliki self-efficacy yang kuat lebih mungkinuntuk mematuhi rencana pengobatan yang diresepkan oleh dokter mereka.Efikasi diri merupakan faktor penting dalam mengelola hipertensi karenameningkatkan kemungkinan seseorang mengadopsi dan mempertahankan gayahidup sehat. Orang yang percaya diri lebih cenderung melakukan perilakusehat seperti pergi ke gym secara teratur, makan lebih sedikit garam,dan tidak merokok, yang semuanya berdampak positif pada tekanandarah.

Jenis kelamin terhadap hubungan Self Efficacy dengan kejadian hipertensi

Menurut temuan penelitian, laki-laki dan perempuan di PuskesmasSipatana Kota Gorontalo memiliki tingkat kepercayaan diri yang berbedaterhadap kemampuannya dalam mengatasi hipertensi. Laki-laki diasumsikanmemiliki tingkat efikasi diri yang lebih tinggi daripada perempuan,membuat mereka lebih kecil kemungkinannya untuk mengalamihipertensi.

Studi Sandra (2020) tentang perbedaan gender dalam efikasi dirimenunjukkan bahwa responden laki-laki lebih cenderung melaporkan tingkatefikasi diri yang tinggi atau sangat tinggi. Sebaliknya, sebagian besarresponden ragu-ragu atau sangat tidak yakin, menunjukkan bahwa wanitayang lebih mendominasi memiliki self-efficacy yang buruk.

Menurut penelitian yang dipaparkan oleh Puspita et al. (2019), jeniskelamin merupakan faktor seberapa percaya diri seseorang terhadapkemampuannya sendiri. Ini karena penggambaran stereotip laki-lakimelukiskan mereka sebagai orang yang mandiri, agresif, logis, dan aktifsecara fisik. Karena laki-laki lebih cenderung menyelesaikan masalahmereka sendiri dan percaya pada kemampuan mereka sendiri, mereka lebihproduktif daripada perempuan. Dalam hal terapi, wanita lebih cenderungsensitif dan emosional, sedangkan pria lebih cenderung mengutamakankualitas hidup mereka, terutama dalam hal masalah kesehatan.

Fakta bahwa laki-laki memiliki kecenderungan untuk memiliki tekanandarah tinggi pada usia yang lebih muda dan perempuan sering mengalamipeningkatan tekanan darah setelah menopause membantu menjelaskan variasifaktor risiko hipertensi antara jenis kelamin. Efikasi diri dan gayamanajemen masing-masing kelompok mungkin dipengaruhi olehvariabel-variabel ini. Sementara laki-laki sering memiliki lebih banyakself-efficacy di bidang-bidang seperti bakat fisik dan pemecahanmasalah, perempuan mungkin memiliki regulasi emosi dan keterampilaninteraksi sosial yang lebih baik. Variasi ini mungkin berdampak padabagaimana pria dan wanita mendekati pengobatan hipertensi.

Tingkat pendidikan terhadap hubungan Self Efficacy dengan kejadian hipertensi

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkatpendidikan, efikasi diri, dan prevalensi hipertensi di wilayah kerjaPuskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Pendidikan yang lebih tinggidikaitkan dengan tekanan darah rendah karena orang dengan pendidikantinggi lebih percaya pada kemampuan mereka sendiri daripada mereka yangberpendidikan lebih rendah.

Musfirah (2019) menyelidiki hubungan antara pendidikan dan prevalensihipertensi dan menemukan nilai OR sebesar 2,172 pada tingkatsignifikansi 4,313-2,172. Kesadaran kesehatan seseorang meningkatseiring dengan pencapaian pendidikan mereka. Menurut karakteristikresponden, mereka yang berpendidikan SMP memiliki risiko 66% lebihrendah untuk terkena hipertensi dibandingkan mereka yang berpendidikanSD, dan mereka yang berpendidikan SD memiliki risiko 72% lebih rendahuntuk terkena hipertensi dibandingkan mereka yang berpendidikan SD.dengan pendidikan SMP.

Terlepas dari kepercayaan umum, kurangnya pendidikan bukan merupakanfaktor dalam perkembangan hipertensi, meskipun dapat mempengaruhimodifikasi perilaku. Semakin banyak informasi dan pendidikan pasien,semakin besar kemungkinan mereka menjalani gaya hidup sehat. Pengetahuanpasien merupakan aspek terpenting dalam persepsi pasien terhadapkemampuannya sendiri. Keyakinan seseorang terhadap kemampuannya sendirimeningkat seiring dengan tingkat pengetahuannya (Fatmawati et al.,2021). Rasa percaya diri seseorang berkorelasi dengan pencapaianpendidikan mereka. Kurangnya pendidikan membuat seseorang rentan dantunduk pada orang lain yang lebih berpengetahuan daripada mereka.Sebaliknya, Ghufron dan Risnawati (2017) menemukan bahwa individu dengantingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memandang dirinya lebihbaik.

Secara umum, mereka yang berpendidikan lebih tinggi memilikikesempatan yang lebih baik untuk belajar tentang masalah kesehatan danmengelola kesehatan mereka. Penyebab, faktor risiko, dan pilihanpengobatan untuk hipertensi seringkali lebih dipahami oleh mereka yangberpendidikan lebih formal. Ini mungkin bisa menjadi pendorongkepercayaan diri seseorang. Literasi kesehatan cenderung lebih tinggi diantara mereka yang berpendidikan lebih tinggi. Kapasitas untukmenemukan, memahami, dan menggunakan informasi kesehatan secara efektifadalah yang kami maksud ketika kami berbicara tentang literasikesehatan. Pendidikan tinggi dikaitkan dengan peningkatan literasikesehatan, yang pada gilirannya dapat membantu individu merasa lebihpercaya diri dalam kemampuan mereka untuk mengendalikan hipertensimereka. Efisiensi mereka dalam mengobati dan mengendalikan penyakit.

Gaya hidup terhadap hubungan Self Efficacy dengan kejadian hipertensi

Temuan penelitian mengaitkan efikasi diri dengan faktor gaya hidupdan prevalensi hipertensi di sekitar Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo.Orang dengan gaya hidup sehat diasumsikan memiliki tingkat efikasi diriyang lebih tinggi sehingga tekanan darahnya lebih rendah daripada orangdengan gaya hidup tidak sehat.

Dalam penelitiannya, Fatmawati et al. (2021) menemukan bahwa efikasidiri berkorelasi dengan pilihan gaya hidup pada tingkat yang sangattinggi (r = 0,893, p 0,001). Secara umum, kualitas hidup dan kesehatanseseorang meningkat dengan meningkatnya tingkat efikasi diri. Seseorangdengan efikasi diri yang kuat lebih cenderung bertahan dalam usahanyamenuju gaya hidup sehat meskipun menghadapi hambatan, sedangkanseseorang dengan efikasi diri rendah lebih cenderung menyerah di bawahtekanan.

Mengobati hipertensi secara efektif membutuhkan komitmen terhadapgaya hidup sehat, termasuk penurunan berat badan pada kasus obesitas,diet DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension), olahraga teratur, danmenghilangkan faktor risiko seperti alkohol, kafein, dan penggunaantembakau. dapat disertai dengan efek samping yang berpotensi berbahaya.Penderita hipertensi membutuhkan keyakinan yang kuat terhadapkemampuannya sendiri untuk melakukan perubahan gaya hidup yang positif(Amila et al., 2018).

Adopsi gaya hidup yang buruk dapat meningkatkan kemungkinanmengembangkan hipertensi. Faktor risiko umum untuk hipertensi termasukfaktor gaya hidup termasuk gizi buruk, asupan garam yang berlebihan,kurang olahraga, kelebihan lemak tubuh, penggunaan rokok secara teratur,dan penggunaan alkohol berat. Gaya hidup sehat, termasuk diet rendahgaram, tinggi serat, dan rendah lemak jenuh, serta sering berolahraga,dapat membantu pencegahan atau pengelolaan hipertensi. Orang yangpercaya pada kemampuan mereka sendiri untuk menjaga kesehatan merekalebih cenderung melakukannya. Mungkin saja mereka tidak akan mengalamikesulitan untuk mematuhi perintah dokter dan melakukan apa yang merekaperlukan untuk meningkatkan kesehatan mereka, apakah itu menjalankandiet ketat atau berolahraga lebih sering. Self-efficacy adalah aspekpenting dalam menjaga tekanan darah yang sehat dan menghindari masalahterkait hipertensi.

Kepatuhan minum obat terhadap hubungan Self Efficacydengan kejadian hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Sipatana KotaGorontalo

Kepatuhan minum obat terbukti berhubungan dengan efikasi diri danprevalensi hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana KotaGorontalo. Tidak adanya hipertensi pada seseorang dengan tingkatkepatuhan yang tinggi dikaitkan dengan efikasi diri mereka yang superiordibandingkan dengan mereka yang memiliki kepatuhan sedang dan buruk.

Nilai koefisien korelasi yang ditemukan oleh Sukmaningsih et al(2020) sebesar 0,299 menunjukkan adanya hubungan yang sedang antaraefikasi diri dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi. tingkatpenggunaan obat juga akan meningkat. Nilai p korelasi antara efikasidiri dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di PuskesmasTejakula 1 sebesar 0,025 (0,05), hal ini menunjukkan adanya hubunganyang bermakna antara kedua variabel.

Masalah terkait obat diidentifikasi pada pasien dalam pengelolaanpasien hipertensi atau perawatan farmasi dengan maksud untuk menerapkandan memantau rencana perawatan pasien hipertensi tentang masalah terkaitobat. Kepatuhan terhadap pengobatan adalah masalah yang dapatmenyebabkan kesulitan terkait obat. Efikasi diri dapat dilihat daridimensi persuasi sosial, dimana keyakinan seseorang tentang kemampuannyadiubah oleh informasi yang disampaikan secara verbal oleh orang yangberpengaruh, dan dari dimensi pengalaman penguasaan, dimana keyakinanseseorang tentang kemampuannya diubah oleh keberhasilan yang diperolehdan kegagalan yang didapat mengurangi efikasi diri seseorang (Ariest,2003). Rasa self-efficacy yang tinggi meningkatkan kepercayaan diridalam proses terapi. Kepatuhan pasien terhadap terapi hipertensimeningkat jika mereka yakin memiliki kesempatan untuk sembuh, karena halini meningkatkan motivasi dan optimisme mereka (Sukmaningsih et al,2020).

Efikasi diri telah terbukti mempengaruhi kepatuhan pengobatan danprevalensi hipertensi. Orang dengan efikasi diri yang tinggi cenderungpercaya bahwa mereka dapat berhasil meskipun menghadapi tantangan,seperti yang terkait dengan kepatuhan pengobatan. Mereka mungkin lebihmudah melacak dosis, menangani efek samping, dan menerima dorongan yangmereka butuhkan untuk tetap menjalani pengobatan. Tingkat efikasi diriyang tinggi telah dikaitkan dengan peningkatan kepatuhan minum obat,tekanan darah rendah, dan kemungkinan penurunan hipertensi.

Aktivitas fisik terhadap hubungan Self Efficacy dengan kejadian hipertensi

Penelitian yang dilakukan di lingkungan tempat kerja PuskesmasSipatana Kota Gorontalo menemukan adanya korelasi antara self-efficacydengan frekuensi hipertensi pada karyawan. Tidak adanya hipertensi padaorang yang lebih aktif secara fisik dikaitkan dengan kepercayaan merekayang lebih besar pada kemampuan mereka sendiri untuk mempertahankanberat badan yang sehat dan rutinitas olahraga.

Menurut penelitian Rahmi et al. (2020) terhadap pasien hipertensi diBanda Aceh, 70,1% responden menempatkan diri mereka pada kelompok“tinggi” sehubungan dengan tingkat efikasi diri mereka untukmeningkatkan aktivitas fisik mereka. Pasien yang percaya pada kemampuanmereka sendiri untuk berhasil mengelola hipertensi mereka lebih mungkinmelakukan upaya bersama untuk melakukannya.

Latihan fisik adalah bagian penting dari perang melawan hipertensi.Setiap kali Anda menggerakkan tubuh dengan cara apa pun yang menggunakanenergi dianggap sebagai latihan fisik. Olahraga teratur telah terbuktimengurangi risiko hipertensi dengan memperkuat jantung dan daya tahanperifer. Lansia harus melakukan latihan fisik setidaknya tiga kaliseminggu dengan total tiga puluh menit setiap sesi. Selain hipertensi,masalah kesehatan lainnya, seperti obesitas, penyakit kardiovaskular,penyakit sendi, dan penurunan kognitif pada orang tua, dapat ditelusurikembali ke kurangnya latihan fisik. Efikasi diri merupakan salah satudari beberapa elemen yang dapat mempengaruhi tingkat aktivitas fisikseseorang. Efikasi diri adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiriuntuk mencapai suatu tujuan, terlepas dari seberapa baik atau buruknyatindakan tersebut (Aprilliya, 2019).

Tingkat self-efficacy yang tinggi telah dikaitkan dengan peningkatanaktivitas fisik, yang pada gilirannya telah terbukti mengurangi tingkathipertensi. Mereka yang menilai dirinya tinggi dalam self-efficacy lebihpercaya diri dengan kemampuan mereka dan cenderung tidak menyerah ketikamenghadapi tantangan. Mereka mungkin lebih cenderung meluangkan waktuuntuk berolahraga dan menjalani gaya hidup yang lebih aktif secara fisiksebagai hasilnya. Tingkat self-efficacy yang tinggi telah dikaitkandengan tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi, yang pada gilirannyatelah terbukti menurunkan risiko hipertensi.

Merokok terhadap hubungan Self Efficacy dengan kejadian hipertensi melalui merokok

Penelitian ini menemukan adanya hubungan antara prevalensi merokokdan hipertensi dengan efikasi diri pada pegawai Puskesmas Sipatana KotaGorontalo. Korelasi efikasi diri dengan prevalensi hipertensi di wilayahkerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo dilihat dipengaruhi oleh adaatau tidaknya orang merokok.

Menurut penelitian Rachmawati (2021) terhadap pasien hipertensi di RW006 Kelurahan Darmo Surabaya, sebagian besar peserta (66 dari 86,5%)melaporkan tidak pernah merokok, sedangkan hanya 14 dari 86,5% yangmelaporkan pernah merokok.

Menurut Janius, Kardiatun, dan Rahayu (2020), efikasi diri merupakanfaktor kunci dalam meningkatkan kepercayaan diri seseorang terhadapkemampuannya untuk berhenti merokok, yang ditunjukkan dengan melakukantindakan. Individu lebih mungkin untuk tetap berada di jalur menujutujuan mereka mengatur dorongan mereka untuk berhenti merokok jikamereka memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi untuk melakukannya.Menurut Mahadiana (2022), membantu pelanggan hipertensi berhenti merokoksangat penting karena dapat mengurangi keparahan penyakit dari waktu kewaktu. Senyawa beracun tembakau dapat mengikis lapisan dalam dindingpembuluh darah, menyebabkan penyempitan dan peningkatan tekanan darah.Penggunaan tembakau telah dikaitkan dengan peningkatan curah jantung danpenurunan aliran darah ke organ tubuh. Nikotin dalam rokok memicupelepasan hormon stres yang disebut katekolamin. Akselerasi detakjantung dan penyempitan pembuluh darah, yang keduanya meningkatkantekanan darah.

Peneliti berpendapat bahwa kurangnya kepercayaan pada kemampuanseseorang untuk berubah mungkin menjadi kekuatan pendorong di balikkeputusan seseorang untuk merokok. Orang yang kurang percaya padakemampuan mereka sendiri untuk berubah mungkin berjuang lebih kerasdaripada orang lain untuk menghilangkan kebiasaan merokok. Merekamungkin kurang percaya diri dalam kemampuan mereka untuk menghadapitantangan dan menolak merokok. Kurangnya kepercayaan pada kemampuansendiri untuk berhasil dalam tugas ini dapat merusak motivasi dankesuksesan. Penggunaan tembakau merupakan kontributor utama timbulnyatekanan darah tinggi.

Obesitas terhadap hubungan Self Efficacy dengan kejadian hipertensi

Obesitas terbukti berhubungan dengan tingkat efikasi diri danhipertensi yang lebih tinggi di wilayah tangkapan Puskesmas Sipatana diKota Gorontalo. Orang dengan berat badan yang sehat dianggap lebih kecilkemungkinannya untuk menderita hipertensi karena mereka memiliki tingkatefikasi diri yang lebih tinggi daripada rekan mereka yang lebihberat.

Dengan menggunakan Uji Chi-Square pada tingkat kepercayaan 95% (=0,003), Langingi (2021) menganalisis hubungan antara lansia pendudukTombolango Kecamatan Lolak dengan tingkat hipertensinya. Berdasarkantemuan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kondisi gizilanjut usia dengan derajat keparahan hipertensi di Dusun RompiangoKecamatan Lolak (P = 0,003).

Asupan makanan yang lebih besar dikaitkan dengan peningkatan risikohipertensi, menurut Asrinawaty dan Norfai (2018). Lebih banyak darahdiperlukan untuk menyediakan oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh yanglebih besar. Artinya, ada lebih banyak darah yang bergerak melaluiarteri, yang memberikan lebih banyak tekanan pada dinding arteri danmeningkatkan tekanan darah. Temuan Nugraheni et al. Prevalensi kelebihangizi geriatri sering dikaitkan dengan kemakmuran dan pilihan gaya hidupsekitar usia 50 tahun. Ketika standar hidup meningkat dan lebih banyakpilihan untuk makanan berkalori tinggi dan tinggi lemak tersedia, orangmakan lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Obesitas dan penyakitmetabolisme terkait dengan gizi buruk, yang sering dimulai pada usia50-an.

Self-efficacy telah terbukti berpengaruh pada perilaku sehat dalampengaturan obesitas dan hipertensi. Kebiasaan gaya hidup sehat termasukmakan dengan baik, berolahraga secara teratur, mengelola stres, danmengurangi paparan faktor risiko lebih mungkin diadopsi dandipertahankan oleh mereka yang memiliki tingkat efikasi diri yangtinggi. Mereka akan lebih termotivasi untuk mengurus diri mereka sendiridengan tetap berpegang pada pola makan dan menjaga berat badan dantekanan darah yang sehat. Keyakinan seseorang pada kemampuannya sendiriuntuk mengontrol berat badan dan tekanan darahnya sangat penting. Orangyang percaya diri lebih cenderung melakukan upaya untuk meningkatkankehidupan mereka dan mengikuti penyesuaian yang diperlukan. Mereka akanpercaya pada kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi kemunduran dankesulitan saat mereka datang saat mengelola penyakit. Mereka akancenderung, misalnya, makan dengan baik, sering berolahraga, minum obatsesuai resep, dan menemukan cara sehat untuk mengatasi stres.

Variabel yang paling berhubungan terhadap Self Efficacy dengan kejadian hipertensi

Analisis multivariat dilakukan terhadap variabel (kepatuhan minumobat, aktivitas fisik, dan obesitas) yang analisis bivariat menunjukkanadanya hubungan yang bermakna antara efikasi diri dengan prevalensihipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. kepatuhanminum obat, aktivitas fisik, dan obesitas masing-masing memilikipengaruh sebesar 32,4% terhadap hubungan efikasi diri dengan kejadianhipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo; variabellain yang tidak digunakan sebagai variabel kontrol menyumbang sisanya67,6%.

Menurut temuan Sukmaningsih et al. (2020), terdapat hubungan yangsignifikan antara efikasi diri dengan kepatuhan minum obat padapenderita hipertensi di wilayah tangkapan Puskesmas Tejakula 1. Nilai padalah 0,025, yang berarti 0,05. Menurut penelitian Rahmi et al. (2020)terhadap pasien hipertensi di Banda Aceh, 70,1% responden menempatkandiri mereka pada kelompok “tinggi” sehubungan dengan tingkat efikasidiri mereka untuk meningkatkan aktivitas fisik mereka. Pasien yangpercaya pada kemampuan mereka sendiri untuk berhasil mengelolahipertensi mereka lebih mungkin melakukan upaya bersama untukmelakukannya. Rahayu dkk. (2020) menemukan bahwa risiko hipertensi 2,3kali lebih tinggi pada mereka yang kelebihan berat badan dan obesitasdibandingkan dengan mereka yang bertubuh normal dan kurus.

Beberapa teori, seperti Sukmaningsih et al (2020), memprediksi bahwaself-efficacy yang kuat akan membangkitkan kepercayaan pasien terhadapperawatan yang mereka dapatkan. Kepatuhan individu terhadap terapihipertensi ditingkatkan dengan pengetahuan bahwa keyakinan mereka akanpemulihan yang cepat dibenarkan.

Manajemen perawatan diri pada individu hipertensi termasuk melakukanlatihan fisik, menurut Pramita (2021). Tekanan darah tinggi dapatdikelola dengan latihan fisik yang sering. Berjalan, berlari, bersepeda,dan berenang adalah contoh olahraga atau aktivitas dinamis intensitassedang yang dapat dilakukan secara rutin selama 30-60 menit 4-7 hariseminggu. Tekanan darah dapat diturunkan sebesar 4-9 mmHg denganolahraga dinamis intensitas sedang atau dengan olahraga teratur yangdilakukan 4-7 hari seminggu.

Asupan makanan yang lebih besar dikaitkan dengan peningkatan risikohipertensi, menurut Asrinawaty dan Norfai (2018). Lebih banyak darahdiperlukan untuk menyediakan oksigen dan nutrisi ke jaringan tubuh yanglebih besar. Artinya, ada lebih banyak darah yang bergerak melaluiarteri, yang memberikan lebih banyak tekanan pada dinding arteri danmeningkatkan tekanan darah.

Rasa self-efficacy yang kuat telah dikaitkan dengan penggunaan obatyang lebih teratur, lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk aktifsecara fisik, dan penerapan kebiasaan makan yang lebih sehat sebagaicara untuk mengatur berat badan. Kemungkinan terkena tekanan darahtinggi dapat diturunkan dengan cara ini. Ketika seseorang memilikiefikasi diri yang rendah, mereka lebih cenderung terlibat dalam perilakuberisiko yang meningkatkan kemungkinan mengembangkan hipertensi, sepertitidak minum obat sesuai resep, tidak cukup berolahraga, dan makan denganburuk.

Efikasi diri yang kuat dikaitkan dengan keyakinan pasien padakemampuannya untuk mengelola obatnya dengan sukses. Mereka yakin dengankemampuan mereka untuk meminum obat sesuai petunjuk, mengatasi efeksamping, dan secara teratur mematuhi rekomendasi dokter. Kepatuhan obatyang meningkat dapat dihasilkan dari tingkat self-efficacy pasien yangtinggi, yang memberikan dorongan internal yang diperlukan untuk meminumresep mereka secara teratur.

Memiliki kepercayaan pada kemampuan sendiri dapat memotivasiseseorang untuk berolahraga secara teratur. Orang yang percaya dirilebih cenderung terlibat dan bertahan dengan rutinitas olahraga yangkonsisten. Mereka yakin dengan kemampuan mereka untuk menyelesaikantugas fisik meskipun faktanya mereka mungkin menghadapi tantangan disepanjang jalan, seperti kelelahan, rasa sakit, atau kekurangan waktu.Mereka lebih cenderung memilih gaya hidup aktif secara fisik jika merekamemiliki pandangan ini.

Sementara itu, efikasi diri dikaitkan dengan kelebihan berat badandan tekanan darah tinggi. Orang yang percaya pada kemampuan merekasendiri lebih cenderung membuat perubahan positif dalam pola makan,rutinitas olahraga, dan kesehatan mereka secara keseluruhan. Merekamemiliki keyakinan pada kemampuan mereka untuk mempertahankan beratbadan yang sehat dan menahan setiap godaan yang mungkin muncul. Obesitasterkait dengan hipertensi, oleh karena itu menjalani gaya hidup sehat —termasuk makan dengan baik dan berolahraga secara teratur — dapatmembantu menurunkan risiko tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Angka kejadian hipertensi pada petugas di Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo berkorelasi dengan seberapa yakin mereka terhadap kemampuan mereka untuk menghadapi kondisi tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi korelasi antara efikasi diri dan kejadian hipertensi termasuk laki-laki, memiliki gelar sarjana, menjalani gaya hidup sehat, minum obat sesuai resep, melakukan latihan fisik tingkat sedang, tidak merokok, dan memiliki indeks massa tubuh yang sehat atau hanya sedikit kelebihan berat badan. Self-efficacy berhubungan dengan prevalensi hipertensi sebesar 32,4%, dengan pengaruh terbesar berasal dari kepatuhan minum obat, aktivitas fisik, dan obesitas. Oleh karena itu, disarankan agar Puskesmas Sipatana memberikan layanan konseling percaya diri dan kemampuan bagi pasien untuk meningkatkan self-efficacy sehingga mengurangi prevalensi hipertensi.

DAFTAR PUSTAKA

Amila, Sinaga, J., Sembiring, E., (2018). Self Efficacy dan GayaHidup Pasien Hipertensi. Jurnal Kesehatan, 9(1), 360-365

Aprilliya, S. (2019) Hubungan Self Efficacy Dengan AktivitasFisik Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Kerja Pusskesmas Bantul 1Yogyakarta. Skripsi, Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas AlmaAta Yogyakarta

Ariesti. E., Pradikatama, Y. P. (2018). Hubungan Self Efficacy DenganTingkat Kepatuhan Pengobatan Hipertensi Di Puskesmas Bareng Kota Malang.Jurnal Keperawatan Malang (JKM), 3(10), 39-44

Asrinawaty, Norfai. (2018). Hubungan Status Gizi Dengan KejadianHiperetensi pada Lansia Di Posyandu Lansia KakakTua di Wilayah KerjaPuskesmas Pelambuan. An Nadaa, 1(1), 32-36

Fatmawati, B. R., Suprayitna, M., Istianah. (2021). Self Efficacy DanPerilaku Sehat Dalam Modifikasi Gaya Hidup Penderita Hipertensi. JurnalIlmiah Stikes YARSI Mataram (JISYM), 11 (1) 1-7.

Ghufron M., N., Risnawati, R. S. (2017). Teori-Teori Psikologi.Jogjakarta: Ar Ruzz Media.

Hasnawati. (2021). HIPERTENSI. Yogyakarta: KBMINDONESIA.

Janius, Kardiatun, T., Rahayu, I. D. (2020). Pengaruh Self-EfficacyTerhadap Motivasi Penurunan Perilaku Merokok Remaja Di Wilayah PontianakTenggara. Prosiding Konas JIwa XVI Lampung. 119-127.

Langingi, A. R. C. (2021). Hubungan Status Gizi Dengan DerajatHipertensi Pada Lansia Di Desa Tombolango Kecamatan Lolak. Community ofPublishing In Nursing (COPING). 9(1). 46-57

Lestari, R. F., Ichsan, B., Romadhon, Y. A., & Dasuki, M. S.(2021). Hubungan Efikasi Diri Dan Riwayat Obesitas Orangtua DenganObesitas Remaja Putri SMA. Journal .

Mahadiana, M. A. (2022). Gambaran Perilaku Manajemen Diri Pada PasienYang Mengalami Hipertensi di Puskesmas 1 Denpasar Selatan Tahun 2022.Karya Tulis Ilmiah. Jurusan Keperawatan. Poltekkes Kemenkes Denpasar

Musfirah, M. (2019). Analysis of Risk Factor Relation WithHypertension Occurrence At Work Area of Takalala. JurnalKesehatan Global, 2(2), 93–102.

Nugraheni, EA., Mulyani, S., Budi, E., Musfiroh, M. (2019). HubunganBerat Badan dan Tekanan Darah pada Lansia. Jurnal Placentum, 7(2):55-60

Pramita, M. T. S. (2021). Hubungan Self Care Management Dengan SelfEfficacy Pada Penderita Hipertensi di RT. IV Kelurahan Kedung RukemSurabaya. Skripsi. Program Studi S1 Keperawatan. Sekolah Tinggi IlmuKesehatan Hang Tuah Surabaya.

Puspita, T., Ernawati, Rismawan, D. (2019). The Correlation BetweenSelf-Efficacy And Diet Compliance Of People With Hypertension. JurnalKesehatan Indra Husada, 7(1) 32-41

Rachmawati, A. W. (2021). Hubungan Self Efficacy Dengan TingkatKepatuhan Minum Obat Dan Self Care Management Pada Penderita HipertensiDi RW 006 Kelurahan Darmo Surabaya. Skripsi. Program Studi IlmuKeperawatan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Surabaya

Rahayu. R. M., Berthelin, A. A., Lapepo, A. Utam, M. W. (2020).Hubungan Obesitas Dengan Hipertensi Pada Pra Lansia di PuskesmasSukamulya Tahun 2019. Jurnal Untuk Masyarakat Sehat (JUKMAS), 4(1):102-111.

Rahmi, A., Ridwa, A., Rizkia, M. (2020). Self Efficacy Of LifestyleModification Among Hypertensive Patients In Banda Aceh, JIM FKep, IV(3),32-39

Sandra, F. K. (2020). Gambaran Efikasi Diri Pada Usia LanjutPenderita Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Mojolaban Sukoharjo.Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sukmaningsih, S. A. K., Putra, G. N. W., Sujadi, H. Ridayanti, P. W.(2020). The Correlation Between Self-efficacy and Compliance in TakingMedication for Patients with Hypertension in the Work Area of Tejakula 1Health Center. Jurnal Kesehatan MIDWINERSLIONl 5(2), 1-8.

Published

2023-08-31

How to Cite

Gani, R. A., Boekoesoe, L., & Kadir, L. (2023). Analisis Self Efficacy dengan Kejadian Hipertensi pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Sipatana Kota Gorontalo. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(2), e1049. Retrieved from https://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/hijp/article/view/1049

Issue

Section

Original Research

Citation Check

Most read articles by the same author(s)