Analisis Determinan Kejadian Tuberkulosis: Data Wilayah Kerja Puskesmas Tilango, Kabupaten Gorontalo

Authors

  • Hijrawaty Dj. Akadji Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
  • Lintje Boekoesoe Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
  • Laksmyn Kadir Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia

Keywords:

Tuberculosis, Family history, Household contacts, Occupancy density, Risk factors

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko kejadian kejadian tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Tilango Kabupaten Gorontalo. Jenis penelitian observasional analitik dengan menggunakan pendekatan case control study (community baseid casei control stuidy). Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 33 kasus dan 66 kontrol dengan melakukan matching pada alamat penderita. Analisis dilakukan dengan menggunakan Odds Rasio (OR) deingan Confideint Inteirval (CI) 95% pada uiji Manteil Haeinszeil dan uji regresi logistik biner. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa riwayat keluarga, (OR=5,469; p=0,000), kontak serumah (OR=4,614; p=0,001) dan kepadatan hunian (OR=5,231; p=0,000) merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis dengan nilai OR > 1 dan p value < 0,05, dimana kontak serumah sebagai faktor risiko yang paling dominan.

PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi dampak yang signifikan dari Tuberkulosis (TB) dalam konteks masalah kesehatan masyarakat, yang tetap menjadi perhatian baik di Indonesia maupun di seluruh dunia, sesuai dengan visi Sustainable Development Goals (SDGs) dalam pembangunan kesehatan berkelanjutan. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menular melalui udara dari individu yang terinfeksi TB. Penyakit ini dapat menyerang organ paru-paru maupun organ lainnya, dan saat ini, hampir seperempat penduduk dunia terinfeksi, dengan sekitar 89% kasus terjadi pada orang dewasa dan 11% pada anak-anak (Kementerian Kesehatan RI, 2020).

Menurut laporan Global Tuberculosis Report (WHO, 2021), Tuberkulosis masih menjadi penyebab utama kematian, berada setelah HIV/AIDS, dan termasuk dalam daftar sepuluh penyebab utama kematian di seluruh dunia. Tuberkulosis juga merupakan penyebab utama kematian yang terkait dengan resistensi obat, dan penyebab utama kematian pada penderita HIV. Pada tahun 2020, diperkirakan ada sekitar 9,9 juta orang yang terinfeksi Tuberkulosis di seluruh dunia, dengan jumlah kematian akibat penyakit ini meningkat menjadi 1,3 juta dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencapai 1,2 juta.

Indonesia memiliki tantangan ganda dalam menghadapi Tuberkulosis, yaitu tingginya insiden TB, insiden TB Resisten Obat (RO), dan TB HIV. Indonesia adalah salah satu negara dengan beban TB tertinggi di dunia, dengan perkiraan jumlah orang yang sakit akibat TB mencapai 845.000, dengan angka kematian sekitar 98.000 atau setara dengan 11 kematian per jam. Selain itu, terdapat 24.000 kasus TB Resisten Obat (TB RO). Indonesia juga termasuk dalam 30 negara dengan kasus TB tertinggi di dunia, di antara tujuh negara penyumbang 64% kasus TB global, yaitu India, Indonesia, China, Filipina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan, dengan Indonesia berada di peringkat kedua (WHO, 2021).

Berdasarkan data profil kesehatan Republik Indonesia tahun 2021, jumlah kasus Tuberkulosis yang terdeteksi adalah sebanyak 397.377 kasus, yang meningkat dibandingkan dengan 351.936 kasus yang terdeteksi pada tahun 2020. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, terdapat perbedaan jumlah kasus TB antara laki-laki (57,5%) dan perempuan (42,5%). Kelompok umur 45-54 tahun memiliki jumlah kasus TB paling tinggi, dengan persentase 17,5%, diikuti oleh kelompok umur 25-34 tahun (17,1%) dan kelompok umur 15-24 tahun (16,9%) (Kementerian Kesehatan RI, 2022).

Tingkat deteksi kasus atau Case Detection Rate (CDR) berdasarkan provinsi pada Profil Kesehatan Indonesia tahun 2021 menunjukkan bahwa provinsi Gorontalo memiliki CDR tertinggi ketiga, dengan angka 71,3%. Angka ini mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan laporan CDR provinsi Gorontalo tahun sebelumnya. Masalah lain yang dihadapi adalah resistensi obat (RO), dimana pada tahun 2020, terdapat 34 kasus TB resisten obat dari estimasi 126 kasus (26,98%). Pada tahun 2021, jumlah kasus yang terdeteksi meningkat menjadi 58 kasus dari estimasi 126 kasus (46,03%) (Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, 2021).

Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis (SITT) melaporkan bahwa jumlah kasus TB terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018, terdapat 1389 kasus, dengan 232 kasus di antaranya adalah TB positif yang terdeteksi oleh rumah sakit, dan 415 kasus adalah kasus TB klinis (puskesmas dan rumah sakit), dengan angka kesakitan mencapai 12,5 kasus per 1000 penduduk. CDR di Kabupaten Gorontalo pada tahun 2021 mencapai 74,6%, sementara angka kesembuhan hanya mencapai 82,5%, sedangkan pengobatan dengan strategi DOTS diharapkan dapat mencapai tingkat kesembuhan 85% (Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, 2021).

Puskesmas Tilango merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten Gorontalo dengan jumlah kasus TB tertinggi ke-5. Ini dapat dilihat dari CDR pada tahun 2020 sebesar 83,3%, yang meningkat menjadi 95,45% pada tahun 2021. Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah penderita TB di Puskesmas Tilango. Pada tahun 2020, terdapat 50 kasus TB BTA positif yang dilaporkan, meningkat menjadi 63 kasus pada tahun 2021, dan mencapai 83 kasus hingga Oktober 2022, dengan 3 kasus kematian TB (Puskesmas Tilango, 2022).

Dalam perspektif epidemiologi, penyakit Tuberkulosis dipengaruhi oleh interaksi tiga komponen utama: inang (host), agen penyebab (agent), dan lingkungan (environment). Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan lama di ruangan yang gelap, lembab, dingin, dan memiliki ventilasi yang kurang baik. Faktor inang, seperti usia 15-59 tahun yang merupakan usia produktif, berisiko tinggi terpapar oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kontak yang berlangsung secara terus-menerus dengan penderita TB paru yang mengandung bakteri BTA+ di dalam rumah dapat menyebabkan penularan penyakit. Semakin lama seseorang terpapar oleh kuman TB, semakin tinggi risiko terkena Tuberkulosis. Kepadatan hunian juga berperan penting dalam penularan penyakit ini, khususnya melalui udara di antara orang-orang yang tinggal bersama. Tempat yang padat memiliki risiko penularan TB paru sebesar 16,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan tempat yang memenuhi syarat (Mathofani, 2020).

Peningkatan jumlah kasus TB di Puskesmas Tilango dapat disebabkan oleh sejumlah faktor determinan yang turut berperan. Selama tiga tahun terakhir, kasus Tuberkulosis di Puskesmas Tilango belum menunjukkan penurunan yang signifikan, kemungkinan karena upaya intervensi untuk mengurangi faktor risiko Tuberkulosis masih belum optimal di wilayah dengan karakteristik geografis, demografis, dan sosial budaya tertentu.

Hasil studi pendahuluan di Puskesmas Tilango menunjukkan bahwa sebagian besar penderita TB berada pada usia produktif dan usia tua. Observasi terhadap karakteristik sosial budaya masyarakat di sejumlah wilayah pesisir danau yang tinggal serumah selama sekitar satu bulan dalam berbagai acara keluarga, pesta, dan kedukaan, serta padatnya hunian dalam serumah, memungkinkan kontak dengan penderita TB dan dapat mempengaruhi perkembangan bakteri Tuberkulosis. Riwayat penularan TB dari anggota keluarga yang menderita TB berpotensi menularkan penyakit kepada anggota keluarga lainnya, termasuk anggota keluarga terdekat.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan studi kasus kontrol berbasis masyarakat (community-based case-control study) yang bertujuan untuk mengkaji dampak Tuberkulosis. Penelitian dilakukan di Puskesmas Tilango, Kabupaten Gorontalo, mulai dari November 2022 hingga Februari 2023. Populasi penelitian terdiri dari pasien yang telah didiagnosis sebagai TB BTA (+) atau bukan TB BTA (+) oleh dokter dan terdaftar dalam register TB atau register rawat jalan, dengan usia di atas 15 tahun. Jumlah sampel pada kelompok kasus (TB BTA (+)) dan kelompok kontrol (bukan TB BTA (+)) adalah 1:2, dengan 33 kasus TB BTA (+) dan 66 kontrol bukan TB BTA (+), sehingga total sampel dalam penelitian ini adalah 99 pasien.

Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui pengumpulan langsung di lapangan selama proses penelitian. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari register penderita tuberkulosis paru atau register rawat jalan yang ada di Puskesmas Tilango, Kabupaten Gorontalo. Variabel keluarga dibagi menjadi dua kategori, yaitu ada riwayat keluarga dengan penderita tuberkulosis dan tidak ada riwayat keluarga dengan penderita tuberkulosis. Variabel kontak serumah juga dibagi menjadi dua kategori, yaitu ada kontak serumah dengan penderita tuberkulosis dan tidak ada kontak serumah dengan penderita tuberkulosis. Adapun variabel kepadatan hunian dibagi menjadi padat (< 8 m2 /orang) dan tidak padat (?8 m2 /orang). Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan metode statistik yang sesuai, seperti uji chi-square atau uji regresi logistik, untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini.

HASIL

Variabel Frekuensi (n=99) Persentase (100%)
Riwayat Keluarga
Ada riwayat keluarga 37 37,4
Tidak ada riwayat keluarga 62 62,6
Kontak Serumah
Ada kontak 34 34,3
Tidak ada kontak 65 65,7
Kepadatan Hunian
Padat (<8 m2/orang) 35 35,4
Tidak padat (?8 m2/orang) 64 64,6
Kejadian Tuberkulosis
Menderita tuberkulosis 33 33,3
Tidak menderita tuberkulosis 66 66,7
Table 1. Karakteristik Data Responden

Persentase responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita TB dan yang memiliki riwayat keluarga dengan penderita TB, juga persentase responden yang tidak memiliki kontak dengan penderita TB dan yang memiliki kontak dengan penderita TB. Selain itu, tabel ini juga mencantumkan persentase responden dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat dan yang tidak memenuhi syarat, serta persentase responden yang menderita Tuberkulosis dan yang tidak menderita Tuberkulosis.

Variabel Kejadian Tuberkulosis Total OR (95%Cl) LB-UB p Value (2-sided_d
Menderita TB Tidak Menderita TB
Riwayat Keluarga
Ada riwayat 21 (56,8%) 16 (43,2%) 37 5,469 2,211 – 13,525 0,000
Tidak ada riwayat 12 (19,4%) 50 (80,0%) 62
Kontak Serumah
Ada 19 (55,9%) 15 (44,1%) 34 4,614 1,878 – 11,337 0,001
Tidak ada 14 (21,55) 51 (78,5%) 65
Kepadatan Hunian
Padat (<8 m2/orang) 20 (57,1%) 15 (42,9%) 35 5,231 2,116 – 12,930
Tidak padat (?8 m2/orang) 13 (20,3%) 51 (79,7%) 64
Table 2. Analisis Statistik Faktor Risiko terhadap Kejadian Tuberkulosis

Tabel tersebut menggambarkan data dari 99 responden yang terlibat dalam penelitian. Dari responden tersebut, 21 orang (56,8%) yang memiliki riwayat keluarga dengan penderita TB juga menderita TB, sementara 16 orang (43,2%) dari kelompok yang sama tidak menderita TB. Di sisi lain, dari responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita TB, 12 orang (19,4%) menderita TB, sedangkan 50 orang (80,6%) dari kelompok ini tidak menderita TB.

Hasil analisis bivariat terkait riwayat keluarga menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) yang diestimasi adalah sekitar 5,469. Nilai OR yang lebih besar dari 1, dengan p-value signifikansi asimptotik sebesar 0,000 (p<0,05), mengindikasikan bahwa rasio odds sekitar 5,469 signifikan secara statistik dan memiliki makna klinis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa riwayat keluarga merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis. Selain itu, nilai OR sekitar 5,469 juga berada dalam interval kepercayaan 95% (2,211 < OR < 13,525), yang menunjukkan bahwa kemungkinan adanya Tuberkulosis pada responden yang memiliki riwayat keluarga dengan penderita TB sekitar 5,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan penderita TB.

Tabel di atas menggambarkan bahwa dari 99 responden yang terlibat dalam penelitian, 19 orang (55,9%) yang memiliki kontak serumah dengan penderita TB menderita TB, sementara 15 orang (44,1%) yang memiliki kontak serumah dengan penderita TB tidak menderita TB. Di sisi lain, 12 orang (19,4%) yang tidak memiliki kontak serumah dengan penderita TB menderita TB, sedangkan 50 orang (80,6%) yang tidak memiliki kontak serumah dengan penderita TB tidak menderita TB.

Hasil analisis bivariat pada variabel kontak serumah menunjukkan bahwa nilai Odds Ratio (OR) yang diestimasi adalah sekitar 4,614. Nilai OR yang lebih besar dari 1, disertai dengan nilai signifikansi asimptotik (2-sided) p-value sebesar 0,001 (p<0,05). Ini mengindikasikan bahwa rasio odds sekitar 4,614 signifikan secara statistik dan bermakna. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kontak serumah merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis. Lebih lanjut, nilai OR sekitar 4,614 juga berada dalam rentang nilai kepercayaan 95% (1,878 < OR < 11,337), menunjukkan bahwa kemungkinan adanya tuberkulosis pada mereka yang memiliki kontak serumah dengan penderita TB sekitar 4,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kontak serumah dengan penderita TB.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menegaskan bahwa riwayat keluarga menjadi faktor risiko yang signifikan dalam kasus kejadian tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Tilango. Temuan ini diperkuat melalui analisis Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil yang menghasilkan nilai "estimate" sekitar 5,469. Dengan OR yang melebihi angka 1 dan nilai signifikansi asimptotik sebesar 0,000 (p<0,05), kami dapat menyimpulkan bahwa riwayat keluarga dengan anggota yang pernah menderita TB memiliki hubungan signifikan dengan kejadian TB. Nilai OR sekitar 5,469 secara statistik berada dalam interval kepercayaan 95% (2,211<OR<13,525), menunjukkan bahwa peluang terjadinya TB pada individu yang memiliki riwayat keluarga dengan kasus TB sekitar 5,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki riwayat keluarga serupa (Budi et al., 2018).

Riwayat keluarga dengan anggota yang pernah mengidap tuberkulosis paru dapat dianggap sebagai salah satu faktor etiologi dalam penularan penyakit ini. Bakteri penyebab TB memiliki ukuran yang sangat kecil, dapat bertahan dalam sputum yang kering atau ekskreta lainnya, serta memiliki kemampuan menular melalui percikan droplet saat berbicara, batuk, atau bersin (istilahnya adalah "droplet infection"). Ini berarti bahwa jika ada anggota keluarga yang aktif mengidap tuberkulosis paru, maka semua anggota keluarga lainnya, termasuk yang berinteraksi erat dengan pasien, berisiko tinggi tertular TB (Budi et al., 2018).

Temuan ini juga konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan di wilayah Kumuh Kota Palembang (Budi et al., 2018). Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa riwayat penularan dari anggota keluarga yang mengidap tuberkulosis paru memiliki potensi penularan hingga 79,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki riwayat serupa. Keluarga adalah lingkungan yang sering berinteraksi dengan penderita TB, sehingga mereka berada pada risiko tinggi untuk terinfeksi penyakit ini (Budi et al., 2018).

Hasil penelitian juga menyoroti kontak serumah sebagai faktor risiko yang signifikan dalam kejadian tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Tilango. Analisis Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil menunjukkan nilai "estimate" sekitar 4,614, dengan OR yang melebihi 1 dan nilai signifikansi asimptotik sebesar 0,001 (p<0,05). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya kontak serumah dengan penderita TB memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya TB. Nilai OR sekitar 4,614 juga berada dalam interval kepercayaan 95% (1,878<OR<11,337), menunjukkan bahwa kemungkinan seseorang terkena TB sekitar 4,6 kali lebih tinggi jika mereka memiliki kontak serumah dengan penderita TB dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kontak serumah serupa (Pangaribuan et al., 2020).

Pendekatan penularan TB melalui kontak serumah juga didukung oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa penularan TB dapat terjadi dalam ruangan tertutup dimana droplet (percikan dahak) dapat bertahan cukup lama. Bakteri dalam droplet tersebut dapat tetap hidup dalam kondisi gelap dan lembab. Anggota keluarga yang terus-menerus menghirup droplet yang mengandung bakteri TB memiliki risiko infeksi yang tinggi. Secara umum, seorang penderita TB paru dapat menularkan penyakit ini kepada 2-3 orang, dan semakin sering serta lama kontak, maka semakin besar kemungkinan penularan (Pangaribuan et al., 2020).

Temuan ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari (Amalaguswan et al., 2017), yang menunjukkan bahwa riwayat kontak serumah signifikan berkorelasi dengan kejadian penyakit tuberkulosis paru. Penelitian ini menemukan bahwa individu dengan riwayat kontak serumah memiliki risiko 9,3 kali lebih tinggi untuk terkena tuberkulosis paru dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki riwayat kontak serumah. Temuan serupa juga diungkapkan dalam penelitian oleh Alnur & Panigestika (2019), yang menegaskan bahwa riwayat kontak serumah berkorelasi signifikan dengan kejadian tuberkulosis paru, dengan risiko 3,5 kali lebih tinggi pada individu yang memiliki riwayat kontak serumah dengan penderita TB paru.

Penelitian ini juga menyoroti kepadatan hunian sebagai faktor risiko TB yang signifikan di wilayah kerja Puskesmas Tilango. Analisis Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil menghasilkan nilai "estimate" sekitar 5,231, dengan OR yang melebihi 1 dan nilai signifikansi asimptotik sebesar 0,000 (p<0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kepadatan hunian yang kurang dari 8 m2 per orang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian TB. Nilai OR sekitar 5,231 juga berada dalam interval kepercayaan 95% (2,116<OR<12,930), menunjukkan bahwa kemungkinan seseorang terkena TB sekitar 5,2 kali lebih tinggi jika mereka tinggal dalam hunian dengan kepadatan kurang dari 8 m2 per orang dibandingkan dengan mereka yang tinggal dalam hunian dengan kepadatan yang memenuhi syarat (Fransiska & Hartati, 2019).

Temuan ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa kepadatan hunian dapat berpengaruh terhadap kesehatan, khususnya dalam penularan penyakit menular. Kepadatan penghuni dalam satu ruangan dapat memengaruhi perkembangan bakteri penyebab penyakit dalam lingkungan tersebut. Faktor kepadatan hunian dapat meningkatkan kejadian TB paru dan penyakit menular lainnya (Fransiska & Hartati, 2019).

Temuan dari penelitian ini juga mendapat dukungan dari penelitian lain yang mengidentifikasi hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dan kejadian tuberkulosis (Dotulong et al., n.d., 2017). Hasil ini juga konsisten dengan penelitian yang dilakukan di Kota Bukittinggi pada tahun 2019 oleh Fransiska & Hartati, yang menemukan hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dan kejadian tuberkulosis dengan nilai OR sebesar 7,650 (95% CI 1,370-42,713). Ini berarti bahwa rumah dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 7,6 kali lebih tinggi untuk terkena tuberkulosis dibandingkan dengan responden yang tinggal dalam hunian yang memenuhi syarat dan memiliki kepadatan hunian yang baik.

Kepadatan hunian dalam rumah dapat memfasilitasi penyebaran penyakit melalui udara. Jika seorang anggota keluarga yang mengidap TB paru secara tidak sengaja batuk, bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat terlepas ke udara selama beberapa jam, dan ini meningkatkan kemungkinan penularan penyakit ini kepada anggota keluarga lainnya yang belum terpapar bakteri tersebut. Bagaimanapun, tidak semua anggota keluarga yang memiliki riwayat kontak akan tertular TB paru, hal ini tergantung pada kekuatan sistem kekebalan tubuh individu dan apakah bakteri TB tersebut dalam keadaan aktif atau tidak dalam tubuh seseorang (Fransiska & Hartati, 2019).

Temuan ini mendukung pentingnya upaya untuk mengurangi kepadatan hunian dan meningkatkan kesadaran akan praktik kebersihan dan pencegahan penularan penyakit di lingkungan rumah tangga. Dengan memahami faktor-faktor risiko seperti riwayat keluarga, kontak serumah, dan kepadatan hunian, dapat diambil langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif dalam upaya mengendalikan penyebaran tuberkulosis di masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa riwayat keluarga (OR=5,469; CI 95%=2,111-13,525; p<0,001), kontak serumah (OR=4,614; CI 95%=1,878-11,337; p=0,001), dan kepadatan hunian (OR=5,231; CI 95%=2,116-12,930; p<0,001) masing-masing merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Tilango.

Kekurangan Penelitian

Penelitian ini fokus pada faktor risiko seperti riwayat keluarga, kontak serumah, dan kepadatan hunian. Namun, TB adalah penyakit yang kompleks dan multifaktor. Ada faktor-faktor lain seperti merokok, alkohol, status nutrisi, dan akses ke perawatan kesehatan yang juga dapat memengaruhi risiko TB. Mengabaikan faktor-faktor ini dapat mengurangi kelengkapan pemahaman tentang risiko TB. Meskipun penelitian ini menunjukkan hubungan antara faktor risiko yang diselidiki dan kejadian TB, hal ini tidak cukup untuk menetapkan hubungan sebab-akibat (kausalitas). Penelitian lanjutan dengan desain yang lebih kuat, seperti studi kohort, dapat memberikan bukti yang lebih kuat tentang hubungan sebab-akibat. Selain itu, Penelitian ini hanya mencakup individu dengan usia di atas 15 tahun. Namun, TB juga dapat memengaruhi anak-anak. Oleh karena itu, hasil penelitian ini mungkin tidak mencerminkan sepenuhnya risiko TB di seluruh populasi, terutama anak-anak. Meskipun penelitian ini menggunakan kelompok kontrol, perlu dipertimbangkan untuk mencari kelompok kontrol yang lebih cocok atau melakukan pencocokan lebih ketat antara kelompok kasus dan kontrol untuk menghindari bias seleksi yang mungkin. Dengan mempertimbangkan kekurangan-kekurangan ini, penting untuk melanjutkan penelitian lebih lanjut dan menyeluruh untuk memahami faktor-faktor risiko TB dengan lebih baik, sehingga langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif dapat diambil.

DAFTAR PUSTAKA

Alnur, R.D. & Pangestika, R. (2019). Faktor Risiko Tuberkulosis Paru pada Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Bambu Apus Kota Tangerang Selatan. ARKESMAS (Arsip Kesehatan Masyarakat), 3(2), 112–117.

Amalaguswan, Junaid & Fachlevy, A.F. (2017). Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 2(7), 198–210.

Budi, I.S., Ardillah, Y., Sari, I.P. & Septiawati, D. (2018). Analisis Faktor Risiko Kejadian penyakit Tuberculosis Bagi Masyarakat Daerah Kumuh Kota Palembang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 17(2), 87.

Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo. (2021). Laporan Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis (SITT).

Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo. (2021). Profil Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo.

Dotulong, J.F.J., Sapulete, M.R. & Kandou, G.D. (n.d.). Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin, dan Kepadatan Hunian Dengan Kejadian Penyakit TB Paru Di Desa Wori Kecamatan Wori Tahun 2017 (295073854), 57–65.

Fransiska, M. & Hartati, E. (2019). Faktor Resiko Kejadian Tuberculosis. Jurnal Kesehatan, 7(2), 252–260.

Kementerian Kesehatan RI. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. (2022). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Mathofani, P.E. & Febriyanti, R. (2020). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Serang Kota Tahun 2019. JURNAL ILMIAH KESEHATAN MASYARAKAT: Media Komunikasi Komunitas Kesehatan Masyarakat, 12(1), 1–10.

Pangaribuan, L., Kristina, K., Perwitasari, D., Tejayanti, T. & Lolong, D.B. (2020). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis pada Umur 15 Tahun ke Atas di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 23(1), 10–17.

Puskesmas Tilango. (2022). Laporan Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis (SITT) Puskesmas Tilango.

World Health Organization. (2020). Tuberculosis Report. Baltimore Health News, Geneva: World Health Organization. (Edisi 2021).

Published

2023-08-30

How to Cite

Akadji, H. D., Boekoesoe, L., & Kadir, L. (2023). Analisis Determinan Kejadian Tuberkulosis: Data Wilayah Kerja Puskesmas Tilango, Kabupaten Gorontalo. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(2), e1051. Retrieved from https://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/hijp/article/view/1051

Issue

Section

Original Research

Citation Check

Most read articles by the same author(s)