This is an outdated version published on 2023-12-28. Read the most recent version.

Identifkasi Jamur Penyebab Tinea Pedis pada Nelayan di Kota Jayapura: Laporan Data

Authors

  • Afika Herma Wardani Poltekkes Kemenkes Jayapura, Indonesia
  • Indra Taufik Sahli Poltekkes Kemenkes Jayapura, Indonesia
  • Novianti Yoyo Simega Poltekkes Kemenkes Jayapura, Indonesia
  • Asrianto Poltekkes Kemenkes Jayapura, Indonesia https://orcid.org/0000-0002-5324-8179
  • Rina Purwati Poltekkes Kemenkes Jayapura, Indonesia
  • Risda Hartati Poltekkes Kemenkes Jayapura, Indonesia
  • Fajar Bakti Kurniawan Poltekkes Kemenkes Jayapura, Indonesia
  • Asrori Poltekkes Kemenkes Jayapura, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.1239

Keywords:

Dermatophytes, Fungal, Macroscopic, Microscopic

Abstract

Tinea pedis is dermatophytes fungal infection on soles of the feet and between the toes. Tinea pedis is characterized by cracked, peeling skin scaly plaque and erythema on the soles of the feet and heels. The fungi that cause tinea pedis include Trichophyton rubrum, Trichophyton interdigitale, and Epidermophyton floccosum. Tinea pedis often occurs in developing countries and is considered a social, and psychological disease and an economic burden on society due to its chronic condition and repeated occurrence. Fishermen have risk factors for tinea pedis because they are in contact with water for a long time, rarely use footwear, and sail at sea for several days. Jayapura City, Papua has a large coastal area, the majority work as fishermen. This study aims to determine the type of fungus that causes tinea pedis in fishermen in Jayapura City, Papua. The method used to identify fungi is macroscopic and microscopic observation with lactophenol cotton blue staining. Macroscopic observations of fungi are based on colour, shape, elevation, and edge of the colony. Microscopic observations are based on the presence and type of hyphae and conidia. Results from 59 fishermen respondents, 9 respondents were positive for suffering from tinea pedis. Based on examination and identification of fungi, tinea pedis is caused by Microsporum audouinii (50%), Trichophyton interdigitale (10%), Trichophyton verrucosum (30%), and Trichophyton mentagrophytes (10%).

PENDAHULUAN

Tinea pedis adalah infeksi pada kaki yang disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita dan sering terjadi di negara berkembang (Canavan & Elewski, 2015). Infeksi yang disebabkan oleh jamur dermatofita dianggap sebagai penyakit sosial, psikologis, dan menjadi beban ekonomi pada masyarakat karena kondisi kronis dan kejadian berulang (Patro et al., 2019). Dermatofita adalah kelompok jamur yang membutuhkan keratin untuk pertumbuhannya (Hainer, 2003). Jamur dermatofita menginfeksi lapisan keratin pada kulit, rambut, dan kuku (Canavan & Elewski, 2015). Tinea pedis merupakan infeksi jamur dermatofita pada bagian kaki (Ilkit & Durdu, 2015). Infeksi jamur ini umumnya terjadi di sela-sela jari kaki, tetapi dapat menyebar ke telapak, samping dan punggung kaki (Ely et al., 2014; Ilkit & Durdu, 2015). Bentuk infeksi tinea pedis akut berupa eritema di antara jari kaki yang terkadang disertai rasa sakit. Bentuk kronis ditandai dengan kulit bersisik, terjadi pengelupasan, dan eritema di antara jari kaki dan dapat menyebar ke bagian kaki yang lain (Ely J.W. et al., 2014). Spesies jamur penyebab Tinea pedis di antaranya adalah Trichophyton rubrum yang paling umum, diikuti Trichophyton interdigitale, dan Epidermophyton floccosum (Ilkit & Durdu, 2015). Nelayan memiliki faktor resiko tinea pedis karena kontak dengan air dalam waktu yang lama, jarang menggunakan alas kaki, berlayar di laut beberapa hari, dan personal hygene yang buruk (Susanti et al., 2020). (Sariyanti et al., 2021) pernah melaporkan kejadian tinea pedis dan tinea unguium pada penduduk di kawasan pesisir Malabero Bengkulu yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Dari penelitian tersebut beberapa jamur yang ditemukan adalah Trichophyton mentagrophytes, Trichophyton tonsurans, dan Aspergillus niger. Kota Jayapura, Papua memiliki kawasan pesisir yang cukup luas. Di kawasan pesisir tersebut sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Jumlah nelayan yang beroperasi di Kota Jayapura sebanyak 1.239 orang. Jumlah ini tersebar di Distrik Jayapura Utara, Jayapura Selatan, dan Abepura (Ramah, 2021). Keluhan yang sering terjadi pada masyarakat di pemukiman nelayan Jayapura adalah masalah pada kulit berupa gatal-gatal, termasuk kutu air atau tinea pedis. Beberapa nelayan sudah berobat ke puskesmas namun beberapa nelayan masih sering mengalami kekambuhan karena aktivitas melaut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jamur penyebab tinea pedis pada nelayan di Kota Jayapura Papua.

METODE

Jenis penelitian yang digunakan penelitian laboratorium yang dilaksanakan pada bulan Juli-September 2023. Pemeriksaan jamur dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Teknologi Laboratorium Medis Poltekkes Jayapura.

Populasi penelitian adalah seluruh nelayan di pemukiman nelayan Hamadi Jayapura Selatan dan Tanjung Ria Jayapura Utara. Sampel pada Penelitian ini adalah 59 nelayan yang diambil dengan teknik random sampling.

Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data

Jamur tinea pedis dikumpulkan dari sampel kerokan kulit yang dilakukan dengan cara dikerok bagian tepi lesi menggunakan bagian tumpul bisturi dan cotton swab steril. Cara pengambilan sampel penelitian menyesuaikan kondisi lesi setelah sebelumnya bagian lesi dibersihkan dengan alcohol swab. Sampel kerokan kulit dimasukkan ke dalam petridish steril.

Sampel kerokan kulit selanjutnya diinokulasikan di atas media SDA dan diinkubasi 5 hingga 7 hari pada inkubator suhu 27°C. Kultur campuran yang diperoleh kemudian dimurnikan. Pemurnian dilakukan untuk mendapatkan biakan murni tanpa adanya pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Kultur murni ditumbuhkan dengan cara memilih koloni jamur hasil isolasi yang berbeda berdasarkan penampakan morfologi setiap koloni. Selanjutnya koloni yang dipilih ditumbuhkan pada media SDA baru dengan metode streak plate. Kultur murni jamur yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk identifikasi secara makroskopis dan mikroskopis.

Pengamatan makroskopis jamur didasarkan pada karakteristik jamur pada media SDA seperti warna, tekstur, bentuk, elevasi dan tepi koloni . Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan menggunakan lactophenol cotton blue, selanjutntya pengamatan keberadaan dan tipe hifa serta konidia menggunakan mikroskop perbesaran 40X.

Analisis data dilakukan secara deskriptif.

HASIL

Dari total 59 responden, sebanyak 9 responden mengalami tiena pedis. Dari 9 sampel kerokan kulit yang diambil dan diidentifikasi, ditemukan adanya jamur.

Jamur tersebut merupakan genus Microsporum dan Trychophyton yaitu Microsporum audouinii sebanyak 50% (gambar 1), Trichophyton interdigitale 10% (gambar 2), Trichophyton verrucosum 30% (gambar 3), dan Trichophyton mentagrophytes 10% (gambar 4).

Figure 1. Pengamatan Mikroskopis dengan Pewarnaan Lactophenol Cotton Blue M. audouinii

Gambar 1. Pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan lactophenol cotton blue (perbesaran 40x) dan makroskopis pada media SDA inkubasi suhu 27°C selama 5 hari M. audouinii. (A) S adalah mikrokonida yang menempel pada hifa, (B) I adalah intercalary chlamydospore, (C) L adalah bagian hifa yang berbentuk seperti raket tenis dan tipe hifa memiliki septa, (D) T adalah terminal chlamydospore (E) Koloni M. audouinii dengan warna putih, tekstur seperti kapas, tepi rata dan permukaan datar.

Figure 2. Pengamatan Mikroskopis dengan Pewarnaan Lactophenol Cotton Blue T. nterdigitale

Gambar 2. Pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan lactophenol cotton blue (perbesaran 40x) dan makroskopis pada media SDA inkubasi suhu 27°C selama 5 hari T. nterdigitale. (A) T adalah mikrokonida yang berbentuk subsperichal dan hifa spiral, (B) Koloni T. interdigitale berwarna putih krem, tekstur seperti kapas, tepi rata dan permukaan datar.

Figure 3. Pengamatan Mikroskopis dengan Pewarnaan Lactophenol Cotton Blue T. verrucosum

Gambar 3. Pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan lactophenol cotton blue (perbesaran 40x) dan makroskopis pada media SDA inkubasi suhu 27°C selama 5 hari T. verrucosum. (A) M adalah chlamydospore dalam bentuk rantai (chlamydoconidia), (B) T adalah vesikel terminal yang khas pada ujung hifa. (C) S adalah mikrokonidia T. Verrucosum berbentuk clavate hingga pyriform (D) Koloni T. verrucosum yang tumbuh lambat, kecil, berbentuk kancing atau cakram, tekstur seperti beludru, tepi rata.

Figure 4. Pengamatan Mikroskopis dengan Pewarnaan Lactophenol Cotton Blue T. mentagrophytes

Gambar 4. Pengamatan mikroskopis dengan pewarnaan lactophenol cotton blue (perbesaran 40x) dan makroskopis pada media SDA inkubasi suhu 27°C selama 5 hari T. mentagrophytes. (A) N adalah mikrokonidia berbentuk spherical hingga subspherical, (B) S adalah hifa spiral, (C) Koloni T. mentagrophytes berwarna putih, tekstur seperti kapas, tepi undulate dan permukaan datar.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil identifikasi jamur dari sembilan sampel postif yang menderita tinea pedis, jamur Microsporum audoinii paling banyak ditemukan. Karakteristik mikroskopis M. audoinii adalah terdapat terminal dan intercalary clamydospora (Lozano-Masdemont et al., 2019). M. audoinii merupakan jamur antrofilik yang dapat ditularkan dari manusia ke manusia. Pada abad ke-20 jamur ini lebih sering ditemukan sebagai penyebab umum tinea capitis atau infeksi pada kulit kepala. Namun setelah tahun 1950an, spesies dermatofita lainnya juga menjadi jamur dominan pada kejadian tinea capitis seperti genus Trichophyton sp. (Chen et al., 2016; Elewski, 2000). M. audoinii juga pernah ditemukan pada kejadian tinea pedis pada beberapa studi (Alteras & Cojocaru, 1971). M. audoinii juga pernah ditemukan pada kejadian tinea corporis di Ethiopia (Araya et al., 2020). Dengan demikian ditemukannya M. audoinii pada kejadian tinea pedis pada nelayan ini bahkan menjadi yang dominan bukan hal yang tidak mungkin. Hasil ini menunjukkan bahwa jamur dermatofita tertentu tidak lagi spesifik untuk menginfeksi bagian tubuh tertentu. Mengingat jamur dermatofita adalah kelompok jamur yang menginfeksi bagian keratin pada kulit, kuku, dan rambut, sehingga spesies jamur dermatofita khususnya jenis antrofilik apapun sangat mungkin menginfeksi di berbagai lokasi di bagian tubuh yang mengandung keratin. Meskipun dari data sebelumnya, tinea pedis umumnya lebih sering disebabkan Trichophyton rubrum, Trichophyton interdigitale, dan Epidhermophyton floccosum. Temuan M. audoinii dan mungkin spesies jamur lainnya pada penelitian yang serupa dapat menjadi bahan evaluasi dalam pengembangan obat tinea pedis.

Infeksi jamur terbanyak kedua penyebab kejadian tinea pedis pada nelayan di penelitian ini disebabkan oleh Trichophyton verrucosum. Karakteristik mikroskopis jamur ini adalah terdapat chamydospora berbentuk rantai dan vesikel yang khas pada ujung hifa. T. verrucosum adalah jamur zoofilik cosmopolitan. Inang normal jamur ini adalah sapi dan kadang-kadang kuda. Infeksi pada manusia didapat melalui kontak langsung dengan hewan-hewan ini atau benda-benda yang terkontaminasi, biasanya setelah trauma ringan pada kulit (McPhee et al., 2014). T. verrucosum pernah ditemukan pada kejadian tinea capitis di Ethiophia dan Turki (Araya et al., 2020; Balci et al., 2014). T. verrucosum juga dilaporkan sebagai penyebab tinea barbae paling sering (Prieto-Granada et al., 2018). Ditemukannya T. verrucosum pada kejadian tinea pedis ini kemungkinan karena kontak dengan hewan peliharaan atau benda-benda yang terkontaminasi. Kaki nelayan juga rentan terkena trauma ketika melaut yang dapat meningkatkan risiko infeksi jamur dermatofita.

Penyebab infeksi tinea pedis pada nelayan berikutnya adalah T. interdigitale dan T. mentagrophytes. Karakteristik mikroskopis T. interdigitale adalah memiliki bentuk mikrokonida berbentuk subsperichal dan terdapat hifa spiral. T. interdigitale adalah jamur penyebab tinea pedis yang paling sering ditemukan setelah T. rubrum. Jamur ini adalah jamur antrofilik yang dapat ditularkan dari manusia ke manusia. T. mentagrophytes adalah jamur zoofilik yang umumnya menginfeksi tikus, kangguru, kucing, kuda, anjing, dan kelinci, namun demikian jamur ini juga dapat ditularkan ke manusia melalui kontak langsung dengan hewan yang membawa jamur ini. Karakteristik T. mentagrophytes adalah memiliki mikrokonida berbentuk sperichal hingga subsperichal dan terdapat hifa spiral yang muncul sebagai cabang hifa. T. mentagrophytes juga merupakan jamur penyebab tinea pedis yang umum setelah T. rubrum dan T. interdigitale (Ilkit & Durdu, 2015). Dalam penelitian ini ada beberapa jamur antrofilik dan zoofilik yang menjadi penyebab tinea pedis pada nelayan di Kota Jayapura. Jamur dermatofita zoofilik dapat ditularkan ke manusia salah satunya melalui kontak langsung dengan hewan peliharaan atau benda-benda yang terkontaminasi. Sebagai contoh melaui media rambut kucing terinfeksi yang tertinggal di meja atau kursi. Kekurangan pada penelitian ini adalah tidak mendata hewan peliharaan nelayan. Penelitian berikutnya perlu mengidentifikasi lebih lanjut penularan dermatofita zoofilik ke manusia.

KEKURANGAN KAJIAN

Kekurangan pada penelitian ini adalah tidak mendata hewan peliharaan nelayan. Penelitian berikutnya perlu mengidentfikasi lebih lanjut penularan dermatofita zoofilik ke manusia. Perlunya data faktor lingkungan seperti kebersihan air dan kebersihan diri nelayan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur tinea pedis.

PERNYATAAN

Ucapan Terimakasih

Terima kasih kami ucapkan kepada Dirjen Tenaga Kesehatan atas dukungan dana penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada nelayan di pemukiman Hamadi Jayapura Selatan dan Tanjung Ria Jayapura Utara yang telah berkontrbusi dalam penelitian.

Pendanaan

Sumber dana berasal dari Dipa Poltekkes Kemenkes Jayapura Tahun 2023 pada Surat Keputusan Direktur PK.01.01/4.4/2025/2023.

DAFTAR PUSTAKA

Alteras, I., & Cojocaru, I. (1971). Microsporum spp. in tinea pedis. Sabouraudia, 9(2), 126–128.

Araya, S., Tesfaye, B., & Fente, D. (2020). Epidemiology of dermatophyte and non-dermatophyte fungi infection in Ethiopia. Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology, 291–297.

Balci, E., Gulgun, M., Babacan, O., Karaoglu, A., Kesik, V., Yesilkaya, S., Turker, T., Tok, D., & Koc, A. N. (2014). Prevalence and risk factors of tinea capitis and tinea pedis in school children in Turkey. J Pak Med Assoc, 64(5), 514–518.

Canavan, T. N., & Elewski, B. E. (2015). Identifying Signs of Tinea Pedis: A Key to Understanding Clinical Variables. Journal of Drugs in Dermatology: JDD, 14(10 Suppl), s42-7.

Chen, X., Jiang, X., Yang, M., Gonzalez, U., Lin, X., Hua, X., Xue, S., Zhang, M., & Bennett, C. (2016). Systemic antifungal therapy for tinea capitis in children. Cochrane Database of Systematic Reviews, 5.

Elewski, B. E. (2000). Tinea capitis: a current perspective. Journal of the American Academy of Dermatology, 42(1), 1–20.

Ely, J. W., Rosenfeld, S., & Stone, M. S. (2014). Diagnosis and management of tinea infections. American Family Physician, 90(10), 702–711.

Hainer, B. L. (2003). Dermatophyte infections. American Family Physician, 67(1), 101–109.

Ilkit, M., & Durdu, M. (2015). Tinea pedis: the etiology and global epidemiology of a common fungal infection. Critical Reviews in Microbiology, 41(3), 374–388.

Lozano-Masdemont, B., Carrasco-Fernández, B., Polimón-Olabarrieta, I., & Durán-Valle, M. T. (2019). Microsporum audouinii: un dermatofito causante de una tiña reemergente. Actas Dermo-Sifiliogr.(Ed. Impr.), 785–787.

McPhee, A., Cherian, S., Barksdale, S., & Robson, J. (2014). Trichophyton verrucosum. July, 26–27.

Patro, N., Panda, M., & Jena, A. K. (2019). The menace of superficial dermatophytosis on the quality of life of patients attending referral hospital in Eastern India: A cross-sectional observational study. Indian Dermatology Online Journal, 10(3), 262.

Prieto-Granada, C. N., Lobo, A. Z. C., & Mihm Jr, M. C. (2018). Skin infections. In Diagnostic pathology of infectious disease (pp. 542–647). Elsevier.

Ramah. (2021). Nelayan di Kota Jayapura terdampak pandemi dan cuaca ekstrem. Jubi.Co.Id.

Sariyanti, M., AGustria, P. M., & Herlambang, W. F. (2021). Identification of dermatophyte fungi causing Tinea pedis and Tinea unguium in Malabero Coastal Communities, Bengkulu. Microbiology Indonesia, 15(1), 4.

Susanti, G. C., Sinuhaji, B., & Triana, D. (2020). The incidence of Trichophyton rubrum infection related to personal hygiene between fishers and home-based fish processors in Bengkulu City. Berita Kedokteran Masyarakat, 36(2), 55–58.

Mathieu, D., Marroni, A., & Kot, J. (2017). Tenth European Consensus Conference on Hyperbaric Medicine: recommendations for accepted and non-accepted clinical indications and practice of hyperbaric oxygen treatment. Diving and hyperbaric medicine, 47(1), 24-32. doi:10.28920/dhm47.1.24-32.

Mortensen, C. R. (2008). Hyperbaric oxygen therapy. Current Anaesthesia & Critical Care, 19(5-6), 333-337.

Valko, M., Leibfritz, D., Moncol, J., Cronin, M. T., Mazur, M., & Telser, J. (2007). Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and human disease. The international journal of biochemistry & cell biology, 39(1), 44-84. functional imaging, 23(5), 237-246.

Zhou, Q., Huang, G., Yu, X., & Xu, W. (2018). A Novel Approach to Estimate ROS Origination by Hyperbaric Oxygen Exposure, Targeted Probes and Specific Inhibitors. Cellular Physiology and Biochemistry, 47(5), 1800-1808. doi:10.1159/000491061.

Published

2023-12-28

Versions

How to Cite

Wardani, A. H., Sahli, I. T., Simega, N. Y., Asrianto, A., Purwati, R., Hartati, R., Kurniawan, F. B., & Asrori, A. (2023). Identifkasi Jamur Penyebab Tinea Pedis pada Nelayan di Kota Jayapura: Laporan Data. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(3), e1239. https://doi.org/10.36990/hijp.v15i3.1239

Citation Check

Funding data

Most read articles by the same author(s)