Faktor Risiko Kejadian Healthcare Associated Infections Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap Di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto

Authors

  • Nurkemala Suleman Tahir Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
  • Sunarto Kadir Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia
  • Lintje Boekoesoe Universitas Negeri Gorontalo, Indonesia

Keywords:

Gender, Co-morbidities, Type of infusion fluids, HAIs, Phlebitis, Patients

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko kejadian Healthcare Associated Infections Phlebitis pada pasien rawat inap di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto. Jenis penelitian observasional analitik dengan menggunakan pendekatan case control study (hospital baseid casei control stuidy). Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 35 kasus dan 70 kontrol dengan melakukan matching pada umur. Analisis dilakukan dengan menggunakan Odds Rasio (OR) deingan Confideint Inteirval (CI) 95% pada uiji Manteil Haeinszeil dan uji regresi logistik biner. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin, (OR=3,534; p=0,005), penyakit penyerta (OR=22,389; p=0,000) dan jenis cairan infus (OR=10,074; p=0,000) merupakan faktor risiko kejadian Healthcare Associated Infections Phlebitis dengan nilai OR > 1 dan p value < 0,05, dimana jenis cairan infus sebagai faktor risiko yang paling dominan.

PENDAHULUAN

Healthcare Associated Infection yang selanjutnya disingkat HAIs memiliki arti yang lebih luas, yaitu infeksi yang terjadi ketika seorang pasien dirawat di rumah sakit danfasilitas kesehatan lainnya, dimana saat mereka masuk tidak ada infeksidan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi yang diperoleh dalamrumah sakit dan muncul setelah pasien pulang, serta infeksi oleh stafrumah sakit dan petugas kesehatan yang bekerja sehubungan dengan prosesperawatan kesehatan di fasilitas kesehatan (Kementerian Kesehatan,2017).

HAIs pada pasien yang menerima terapi intravena merupakan salah satu indikator infeksi karena kesalahan saat melakukan tindakan invasif dalam hal ini pemasangan infus. Pemasangan infus merupakan salah satu terapi medis secara invasif melalui pembuluh darah dengan cara mensuplai cairan dan elektrolit, obat maupun nutrisi yang cenderung dapat berisiko terjadinya komplikasi seperti phlebitis (Rahayu, 2017).

Menurut Gargar et al., (2017), menjelaskan bahwa phlebitis adalah reaksi inflamasi yang terjadi pada pembuluh darah vena yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak, panas, indurasi (pengerasan) pada daerah tusukan dan pengerasan sepanjang pembuluh darah vena. Berdasarkan PMK RI No. 27 Tahun 2017 phlebitis terjadi apabila pada lokasi tusukan infus ditemukan tanda-tanda merah, rasa terbakar, bengkak, sakit jika ditekan, ulkus sampai mengeluarkan cairan apabila ditekan.

Terjadinya phlebitis merupakan indikator kualitas pelayanan medik rumah sakit. Angka kejadian phlebitis diperoleh dengan membandingkan jumlah kejadian phlebitis dengan jumlah hari terpasang infus. Infusion Nursing Society (INS) (2021), merekomendasikan bahwa angka kejadian phlebitis yang harus dilaporkan adalah ? 5% (Gorski et al., 2021). Sementara menurut PMK RI No. 27 Tahun 2017, target capaian kejadian phlebitis adalah 1‰ (satu per mil).

Angka kejadian phlebitis di Asia belum menunjukkan angka yang pasti. Namun sesuai dengan laporan dari Centers forDisease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa kejadian phlebitis menempati urutan keempat sebagai infeksi yang sering ditemukan pada pasien selama menjalani masa perawatan di rumah sakit dengan angka kejadian setiap tahun sebesar 10% (CDC, 2022).

Di Indonesia data tentang kejadian phlebitis lima tahun terakhir belum ada, namun data terakhir di Indonesia berdasarkan pada survei Kementerian Kesehatan tahun 2013, yang melaporkan angka kejadian phlebitis di Indonesia sebesar 50,11% untuk rumah sakit pemerintah dan 32,70% untuk rumah sakit swasta. Persentase angka kejadian phlebitis menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pada pasien rawat inap di Indonesia tahun 2013sebesar 17,11% atau berjumlah 744 orang. Persentase phlebitis di Provinsi Jawa Tengah menempati posisi kedua yakni 0,8%, setelah Jawa Barat sebesar 2,2% dan Jawa Timur sebesar 0,5% (Suhardono, 2020).

Angka kejadian phlebitis di beberapa rumah sakit berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Rahayu, (2017) di RSUD Raden Mattaher Kota Jambi angka kejadian phlebitis sebesar 23,2%. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Defi & Fibriana, (2020) di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang, diperoleh angka kejadian phlebitis sebesar 3,4%.

Berdasarkan studi pendahuluan peneliti di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto dengan menelusuri data surveilans HAIs pada komite PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi) melalui IPCN (Infection Prevention and Control Nurse), diperoleh angka kejadian HAIs phlebitis cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari angka kejadian kejadian infeksi phlebitis pada pasien rawat inap di tahun 2018 sebesar 8,32‰, 2019 sebesar 2,8‰, tahun2020 sebesar 3,6‰ dan tahun 2021 sebesar 11,8‰, dimana untuk tahun 2020 jumlah kasus phlebitis sebanyak 91 kasus, pada tahun 2021 meningkat menjadi 393 kasus dengan jumlah hari terpasang alat 33.273 hari. Dengan demikian angka kejadian phlebitis di rumah sakit Dunda masih berada diatas standar yang direkomendasikan sesuai PMK RI Nomor 27 Tahun 2017 sebesar 1‰ (Laporan Komite PPI RS Dunda Tahun 2018-2021).

Meningkatnya angka kejadian HAIs phlebitis di RSUD dr.M.M Dunda disebabkan oleh beberapa faktor yang penyebabnya masih variatif. Penyebab yang sering terjadi pada pasien dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, diagnosis penyakit (misalnya diabetes mellitus, hipertensi, stroke, pneumonia, intake in adekuat, pasien post operasi besar dan gagal ginjal kronik). Karakteristik pasien terkait dengan usia, jenis kelamin dan penyakit penyerta yang berpengaruh pada segala macam kemunduran organ dan membuat tubuh rentan terhadap paparan infeksi dan penyakit karena seiring dengan beratnya penyakit yang diderita dan daya imunitasnya berkurang. Fenomena yang terjadi lainnya adalah pemberian terapi cairan kepada pasien dengan komplikasi yang seringkali membutuhkan cairan dengan tingkat osmolaritasnya tinggi.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, bahwa angka kejadian HAIs phlebitis di rumah sakit disebabkan oleh beberapa faktor yaitu umur, status gizi, kondisi vena, penyakit penyerta pasien, serta jenis kelamin. Menurut Anggita (2018) menyatakan bahwa pasien phlebitis terbanyak didapati pada usia >41tahun sebesar 70%, jenis kelamin perempuan sebesar 67%, penyakit penyerta lainnya sebesar 58%, lama pemasangan >3 hari sebesar 30%, pemberian cairan infus isotonik sebesar 63%, pemasangan pada vena metacarpal sebesar 37%.

Dampak HAIs ternyata dapat menimbulkan kerugian kepada pasien, baik dalam hal lamanya hari perawatan yang berdampak pada penderitaan baik secara fisik, psikis serta finansial bahkan dampak yangpaling serius yakni kematian. Sementara itu bagi rumah sakit dapatberakibat pada tingginya biaya operasional dan performa rumah sakit.

METODE

Penelitian ini merupakan kajian model observasional analitik dengan pendekatan case control study based on hospital. Penelitian ini berlokasi di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2022 – Februari 2023.

Populasi adalah seluruh pasien rawat inap di Ruimah Sakit Dr.M.M Duinda Limboto yang terpasang infus terpasang infus baik yang mengalami HAIs phlebitis maupun yang tidak dengan sampel yang diambil telah memenuhi kriteris inklusi dan eksklusi dengan perbandingan jumlah sampel pada kelompok kasus dan kontrol 1:2, yaitu kelompok dengan infeksi HAIs phlebitis 35 kasus dan kelompok tanpa infeksi HAIs phlebitis 70 kontrol, sehingga keseluruhan sampel pada penelitian ini adalah 105 pasien.

Data didapatkan dengan menggunakan media bantu kuesioner. Pengelompokan variabel dilakukan pada jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki, penyakit penyerta yaitu ada penyakit penyerta (hipeirteinsi, diabeiteis meilituis, strokei, hipeirlipideimia, angina peictoris, asma bronchial, kankeir payuidara, gagal ginjal kronik, bronco pneiuimonia pada anak) dan tanpa penyakit penyerta. Variabel jenis cairan infus ; hipertonik dan isotonik. Variabel HAIs phlebitis dan tidak HAIs phlebitis.

Variabel

Frekuensi

(n)

Peirsentase

(%)

Jenis Kelamin
Perempuan 54 51,4
Laki-laki 51 48,6
Penyakit Penyerta
Ada penyakit penyerta 49 46,7
Tidak ada penyakit penterta 56 53,3
Jenis Cairan Infus
Hipertonik 23 21,9
Isotonik 82 78,1
Kejadian HAIs Phlebitis
HAIs Phlebitis 35 33,3
Tiidak HAIs Phlebitis 70 60,7
Table 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Variabel Penelitian (n=105)

Beirdasarkan tabeil teirseibut, menunjukkan bahwa keijadian HAIs phleibitis leibih banyak pada jeinis keilamin peireimpuian yakni seijuimlah 54 orang (51,4%) dan laki-laki seijuimlah 51 orang (48,6%). Beirdasarkan tabeil teirseibut, menunjukkan bahwa pasiein deingan peinyakit peinyeirta yakni seijuimlah 49 orang (46,7%) dan tidak deingan peinyakit peinyeirta seijuimlah 56 orang (53,3%).  Beirdasarkan tabeil teirseibut, menunjukkan bahwa pasien yang meingguinakan jeinis cairan infuis yang beirsifat isotonik yakni seijuimlah 82 orang (78,1%), seimeintara jeinis cairan infuis yang beirsifat hipeirtonik seijuimlah 23 orang (21,9%. Beirdasarkan tabeil teirseibut, menunjukkan bahwa pasien dengan HAIs Phleibitis seijuimlah 35 orang (33,3%), sementara pasien yang tidak HAIs Phleibitis seijuimlah 70 orang (66,7%).

Jenis Kelamin Kejadian HAIs Phlebitis Total

OR (95%CI)

LB-UB

p value

Asymptotic Significancei (2-sideid)

HAIs Phlebitis Tiidak HAIs Phlebitis
n % n % N %
Perempuan 25 46,3 29 53,7 54 100

3,534

1,475 – 8,471

0,005 < 0,05
Laki-laki 10 17,0 41 34,0 51 100
Jumlah 18 33,3 28 60,9 105 100,0
Table 2. Faktor Risiko Jenis Kelamin terhadap Kejadian HAIs Phlebitis

Tabeil teirseibut meinunjukkan bahwa dari 105 pasiein yang dipeiroleih, pasiein yang beirjeinis keilamin peireimpuian deingan HAIs Phleibitis seibanyak 25 orang (46,3%) dan yang tidak HAIs Phleibitis seibanyak 29 orang (53,7%). Pasiein yang beirjeinis keilamin laki-laki deingan HAIs Phleibitis seibanyak 10 orang (17,0%) seimeintara yang tidak HAIs Phleibitis seibanyak 41 orang (34,0%).

Hasil analisis bivariat pada jeinis keilamin meinuinjuikkan beisaran nilai Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil dituinjuikkan deingan nilai “Eistimatei” yaitui seibeisar 3,534 dimana OR > 1 dengan nilai Asymptotic Significance (2-sided) p value sebesar 0,005 (p<0,05), artinya rasio odds 3,534 signifikan atau bermakna sehingga jenis kelamin merupakan faktor risiko terhadap kejadian HAIs Phleibitis. Nilai OR 3,534 bermakna secara statistik karena berada diantara nilai 95% CI (1,475<OR<8,471), artinya kecenderungan perempuan untuk terjadi HAIs Phleibitis 3,5 kali dibandingkan laki-laki.

Penyakit Penyerta Kejadian HAIs Phlebitis Total

OR (95%CI)

LB-UB

p value

Asymptotic Significancei (2-sideid)

HAIs Phlebitis Tiidak HAIs Phlebitis
n % n % N %
Ada 31 63,3 18 36,7 49 100

22,389

6,941 – 72,219

0,000 < 0,05
Tidak ada 4 7,1 52 92,9 56 100
Jumlah 35 33,3 70 66,7 105 100,0
Table 3. Faktor Risiko Penyakit Penyerta terhadap Kejadian HAIs Phlebitis

Tabeil teirseibut meinunjukkan bahwa dari 105 pasiein yang dipeiroleih pasiein deingan peinyakit peinyeirta yang meingalami HAIs Phleibitis seibanyak 31orang (63,3%) dan yang tidak meingalami HAIs Phleibitis seibanyak 18 orang (36,7%). Uintuik pasiein tanpa peinyakit peinyeirta yang meingalami HAIs Phleibitis seibanyak 4 orang (7,1%) seimeintara yang tidak meingalami HAIs Phleibitis seibanyak 52 orang (92,9%).

Hasil analisis bivariat pada penyakit penyerta meinuinjuikkan beisaran nilai Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil dituinjuikkan deingan nilai “Eistimatei” yaitui seibeisar 22,389 dimana OR > 1 dengan nilai Asymptotic Significance (2-sided) p value sebesar 0,000 (p<0,05), artinya rasio odds 22,389 signifikan atau bermakna sehingga penyakit penyerta merupakan faktor risiko terhadap kejadian HAIs Phleibitis. Nilai OR 22,389 bermakna secara statistik karena berada diantara nilai 95% CI (6,941<OR<72,219), artinya kecenderungan pasien dengan penyakit penyerta untuk terjadi HAIs Phleibitis 22,3 kali dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit penyerta.

Jenis Cairan Infus Kejadian HAIs Phlebitis Total

OR (95%CI)

LB-UB

p value

Asymptotic Significancei (2-sideid)

HAIs Phlebitis Tiidak HAIs Phlebitis
n % n % N %
Hipertonik 17 73,9 6 26,1 23 100

10,074

3,464 – 29,298

0,000 < 0,05
Isotonik 18 22,0 64 78,2 82 100
Jumlah 35 33,3 70 66,7 105 100,0
Table 4. Faktor Risiko Jenis Cairan Infus terhadap Kejadian HAIs Phlebitis

Tabel tersebut menunjukkan bahwa dari 105 pasiein yang dipeiroleih, pasiein deingan peimbeirian jeinis cairan infuis hipeirtonik dan meingalami HAIs Phleibitis seibanyak 17 orang (73,9%) dan yang tidak HAIs Phleibitis seibanyak 6 orang (26,1%). Uintuik pasiein deingan peimbeirian jeinis cairan infuis isotonik dan meingalami HAIs Phleibitis seibanyak 18 orang (22,0%) seimeintara yang tidak meingalami HAIs Phleibitis seibanyak 64 orang (78,0%).

Hasil analisis bivariat pada jeinis cairan infus meinuinjuikkan beisaran nilai Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil dituinjuikkan deingan nilai “Eistimatei” yaitui seibeisar 10,074 dimana OR > 1 dengan nilai Asymptotic Significance (2-sided) p value sebesar 0,000 (p<0,05), artinya rasio odds 10,074 signifikan atau bermakna sehingga jeinis cairan infus merupakan faktor risiko terhadap kejadian HAIs Phleibitis. Nilai OR 10,074 bermakna secara statistik karena berada diantara nilai 95% CI (3,464<OR<29,298), artinya kecenderungan pasien yang diberikan jenis cairan infus hipertonik untuk terjadi HAIs Phleibitis 10 kali dibandingkan dengan pasien yang diberikan jenis cairan infus isotonik.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko terhadap kejadian HAIs Phleibitis pada pasien rawat inap di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil analisis Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil deingan nilai “Eistimatei” seibeisar 10,074 dimana OR > 1 dan nilai Asymptotic Significance (2-sided) p value sebesar 0,005 (p<0,05). Hal ini dapat dilihat dari pasien dengan jenis kelamin perempuan dan terjadi HAIs Phleibitis sebesar 46,3%.

Sebagaimana dinyatakan oleh Sharon Wieinsteiin, Lawreincei Pluimeir dalam (Joae Brett Nito et al., 2017) yang meinyatakan bahwa phleibitis teirjadi leibih banyak pada wanita kareina dipeingaruihi oleih keikuiatan otot, keileintuiran dan keikeinyalan kuilit, seirta jaringan adiposa suibcuitis yang beirkuirang. Wanita yang meingguinakan kontraseipsi kombinasi (meinganduing eistrogein dan progeisteiron, oral ataui suintikan) juiga muidah meingalami phleibitis.

Akbar & Isfandiari (2018) meindapatkan bahwa seibagian beisar pasiein yang teirdiagnosis phleibitis beirjeinis keilamin peireimpuian meimpuinyai risiko 4,84 kali meingalami infeiksi phleibitis dibandingkan deingan pasiein deingan jeinis keilamin laki-laki, oleih kareina peireimpuian leibih seiring meingalami peinuiruinan daya tahan tuibuih akibat adanya sikluis meinstruiasi yang meinyeibabkan keikuirangan seil darah meirah dalam tuibuih teiruitama heimoglobin.

Secara statistik data yang ditunjukkan dalam penelitian ini, proporsi kejadian HAI’s Phlebitis pada perempuan di kelompok kasus lebih besar dibandingkan dengan laki-laki yaitu sebesar 46,3%. Berdasarkan hasil identifikasi data yang diperoleh peneliti di tempat penelitian, mendapatkan bahwa jenis kelamin perempuan yang mengalami HAI’s Phlebitis sebagian besar berusia > 40 tahun sehingganya faktor usia ini menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya HAI’s Phlebitis pada perempuan.

Risiko teirjadinya HAIs phleibitis pada peireimpuian diseibabkan kareina faktor keileintuiran veina yang dipeingaruihi oleih adanya hormon eistrogein yang meinjaga struiktuir dari veina meinjadi leintuir yang beirbanding luiruis deingan uisia peireimpuian yang seibagian beisar beiruisia > 40 tahuin.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit penyerta merupakan faktor risiko terhadap kejadian HAIs Phleibitis pada pasien rawat inap di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil analisis Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil deingan nilai “Eistimatei” seibeisar 22,389 dimana OR > 1 dan nilai Asymptotic Significance (2-sided) p value sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini dapat dilihat dari pasien dengan adanya penyakit penyerta dan terjadi HAIs Phleibitis sebesar 63,3%.

Pasiein deingan riwayat peinyakit kronis dan infeiksi leibih beirisiko tinggi dan reintan teirkeina phleibitis, misalnya pada pasiein diabeiteis meillituis yang meingalami ateiroskleirosis akan meingakibatkan aliran darah kei peirifeir beirkuirang seihingga jika teirdapat luika akan muidah meingalami infeiksi. Hipeirteinsi juiga meimiliki peingaruih teirhadap keijadian phleibitis kareina seiiring deingan beirtambahnya uisia, akan teirjadi beirbagai keimuinduiran pada organ tuibuih yang meinyeibabkan tuibuih reintan teirkeina infeiksi dan peinyakit. Deimikian puila peinyakit gagal ginjal kronik juiga meiruipakan salah satui peinyeibab teirjadinya phleibitis, dimana phleibitis pada gagal ginjal kronik ini dikaitkan deingan posisi peimasangan infuis. Peimasangan infuis pada daeirah leingan bawah pada pasiein gagal ginjal meimiliki risiko leibih beisar uintuik meinyeibabkan phleibitis kareina daeirah teirseibuit meiruipakan lokasi yang seiring diguinakan uintuik peimasangan fistuila arteiri-veina (A-V shuint) pada tindakan heimodialisis (cuici darah) (Arum, 2019).

Penelitian oleh (Enes et al., 2016) meinuinjuikkan bahwa 13,10% keijadian phleibitis teirjadi kareina adanya peinyakit peinyeirta seipeirti peinyakit kronis dan infeiksi. Hasil peineilitian dipeiroleih bahwa seibagian beisar pasiein yang meingalami phleibitis meindeirita diabeiteis meillituis seibeisar 86,70% (p valuiei = 0,005) dan meimpuinyai risiko 17,88 kali leibih beisar meingalami phleibitis dibandingkan deingan pasiein yang tidak diabeiteis meillituis. Penelitian Akbar & Isfandiari, (2018) juiga meinyatakan bahwa riwayat DM (p=0,01; OR=17,88; 95% CI=6,05-52,85) dan riwayat hipeirteinsi (p=0,01; OR=6,18; 95% CI=2,47-15,51) teirdapat huibuingan deingan keijadian phleibitis.

Secara statistik data yang ditunjukkan dalam penelitian ini, proporsi kejadian HAI’s Phlebitis pada pasien dengan penyakit penyerta lebih besar dibandingkan pada pasien tanpa penyakit penyerta yaitu sebesar 63,3%. Berdasarkan hasil identifikasi data yang diperoleh peneliti di tempat penelitian, mendapatkan bahwa pasien dengan penyakit penyerta yang mengalami HAI’s Phlebitis sebagian besar didominasi oleh penyakit akibat permasalahan pada sistem saluran darah seperti hipertensi, diabetes mellitus, stroke dan penyakit jantung koroner pada kelompok usia dewasa hingga tua sehingga hal ini juga turut berpengaruh terhadap faktor pencetus terjadinya HAI’s Phlebitis.

Penyakit penyerta akan dapat menambah keparahan dari penyakit pasien sehingga berpotensi akan memperpanjang masa perawatan di rumah sakit. Status pasien yang memiliki penyakit penyerta sebelumnya menjadikan sistem imunnya semakin lemah sehingga memudahkan bakteri menginfeksi pasien. Masuknya mikroorganisme kedalam tubuh pasien yang tidak mampu dilawan oleh daya tahan tubuh penderita yang telah melemah sehingga mempengaruhi fisiologis tubuh pasien. Perubahan fisiologis tubuh pasien tersebut yang mengakibatkan terjadinya infeksi baru yang disebut dengan HAIs (Healthcare Associated Infections).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis cairan infus merupakan faktor risiko terhadap kejadian HAIs Phleibitis pada pasien rawat inap di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil analisis Odds Ratio (OR) Manteil Haeinszeil deingan nilai “Eistimatei” seibeisar 10,074 dimana OR > 1 dan nilai Asymptotic Significance (2-sided) p value sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini dapat dilihat dari pasien yang diberikan jenis cairan infus hipertonik dan terjadi HAIs Phleibitis sebesar 73,9%.

Jeinis cairan meiruipakan salah satui faktor peinyeibab phleibitis kareina seimakin tinggi konseintrasi jeinis cairan yang diteirima maka risiko teirjadi phleibitis seimakin meiningkat. Jeinis cairan yang beirsifat hipeirtonik meimiliki osmolaritas yang leibih tinggi daripada cairan intraseiluileir (Akbar & Isfandiari, 2018). Menurut Infuision Nuirsing Socieity (INS) (2021) meinyatakan bahwa veina peirifeir dapat meineirima osmolaritas cairan, dan seimakin tinggi osmolaritas (makin hipeirtonik), seimakin tinggi risiko phleibitis kareina meinyeibabkan keiruisakan pada dinding veina peirifeir (Gorski et al., 2021).

Peineilitian Rizky, (2018) meinyatakan bahwa keijadian phleibitis dapat diseibabkan oleih jeinis cairan hipeirtonik. Seimakin tinggi osmolalitas seimakin muidah teirjadi phleibitis, trombophleibitis, dan tromboeimboli. Pada peimbeirian jangka lama haruis dibeirikan meilaluii veina seintral, kareina laruitan yang beirsifat hipeirtonik deingan osmolalitas 900mOsm/L, meilaluii veina seintral aliran darah meinjadi ceipat seihingga tidak meiruisak dinding peimbuiluih darah.

Pada penelitian ini jenis cairan infus yang diberikan pada pasien yang terpasang infus sebagian besar bersifat isotonik, hal ini disebabkan karena terapi parenteral yang diberikan adalah cairan NaCl 0,9% bagi pasien yang mengalami diabetes mellitus, cairan Ringer Laktat bagi pasien (RL) diberikan bagi pasien yang membutuhkan cairan karena mengalami hipertermi, pasien yang mengalami syok dan pasien yang mengalami kekurangan cairan akibat diare dan sebagainya. Dextrose (D5) 5% diberikan kepada pasien yang mengalami hipoglikemi ringan. Ada juga pasien yang diberikan cairan NaCl 3% bagi pasien yang kekurangan natrium.

Pemberian jenis cairan hipertonik pada pasien yang dirawat dalam penelitian ini biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami penyakit diabetes mellitus yang tiba-tiba mengalami hipoglikemia seperti D10%. Demikian juga pemberian cairan nutrisi parenteral (NP) kepada pasien post operasi, aminofel diberikan kepada pasien DM, Kidmin kepada pasien gagal ginjal kronik dengan tindakan haemodialisis serta pemberian albumin bagi penderita yang mengalami hipoalbumin dan gagal ginjal akut. Faktor peinceituisnya adalah kareina tingkat keiasaman (pH) dan osmolaritas cairan infuis yang eikstreim dapat meinarik cairan dan eileiktrolit dari jaringan dan seil keidalam peimbuiluih darah yang meinyeibabkan seil-seil meingkeiruit.

KESIMPULAN DAN SARAN

Jeinis keilamin meiruipakan faktor risiko signifikan (OR=3,534; CI 95%=1,475-8,471; p 0,005), penyakit penyerta meiruipakan faktor risiko signifikan (OR=22,389; CI 95%=6,941-72,219; p 0,000) dan jenis cairan infus meiruipakan faktor risiko signifikan (OR=10,074; CI 95%=3,464-29,298; p 0,000) teirhadap keijadian Heialthcarei Associateid Infeictions Phleibitis pada pasiein rawat inap di RSUiD Dr.M.M Duinda Limboto.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, N. & Isfandiari, M. 2018. Pengaruh Karakteristik Pasien Yang Terpasang Kateter Intravena Terhadap Kejadian Flebitis. The Influence of Patients’ Characteristics with Intravena Catheter in Phlebitis Incidence, 6: 1–8.

Anggita, S.D.W.I., Tinggi, S., Kesehatan, I. & Medika, I.C. 2018. Analisa Faktor-Faktor Terhadap Kejadian.

Arum, Y.T.G. 2019. Hipertensi pada Penduduk Usia Produktif (15-64 Tahun). Higeia Journal of Public Health Research and Development, 1(3): 84–94.

CDC 2022. Surgical Site Infection Event ( SSI ) Introduction?: Settings?: Requirements?: National Healthcare Safety Network, (January): 1–39.

Defi, D. safitri R. & Fibriana, A.I. 2020. Kejadian phlebitis di Rumah Sakit Umum Daerah. Higea Journal of Public Health Research and Development, 4(3): 480–491. Tersedia di http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia%0AKejadian.

Enes, S.M.S., Opitz, S.P., de Faro, A.R.M. da C. & Pedreira, M. da L.G. 2016. Phlebitis associated with peripheral intravenous catheters in adults admitted to hospital in the Western Brazilian Amazon. Revista da Escola de Enfermagem, 50(2): 261–269.

Gargar, A.P., Cutamora, J.C. & Abocejo, F.T. 2017. Phlebitis, Infiltration, and Localized Site Infection Among Patients With Peripheral Intravenous Catheters. European Scientific Journal, ESJ, 13(18): 148.

Gorski, L., Hadaway, L., Hagle, M.E., McGoldrick, M., Orr, M. & Doellman, D. 2021. Infusion Therapy Standards of Practice Reviewers. Journal of Infusion Nursing, Tersedia dihttps://library.ins1.org/hai13r/3%0Ahttps://source.yiboshi.com/20170417/1492425631944540325.pdf.

Joae Brett Nito, P., Sari Mulia Banjarmasin, S. & Ahmad Yani, S. 2017. Relationship Of Age, Gender, Location Insertion And Catheter Size Of Incidence Phlebitis. Dinamika Kesehatan, 8(2): 365–375.

Kementerian Kesehatan, R.I. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Tersedia di http://hukor.kemkes.go.id.

Laporan Komite PPI RS Dunda Tahun 2018-2020.

Rahayu, A., Kadri, H., Keperawatan STIKBA Jambi, P.S. & Ners STIKBA Jambi, P. 2017. Hubungan Pengetahuan Dan Motivasi Perawat Tentang Terapi Intravena Dengan Pencegahan Plebitis Di Ruang Rawat Inap Rsud Raden Mattaher Kota Jambi. Jurnal Akademika Baiturrahim Ayu Rahayu, Hasyim Kadri, 6(1): 86–100.

Rizky, W. 2018. Pengaruh Lama Pemasangan Infus dengan Kejadian Flebitis pada Pasien Rawat Inap di Bangsal Penyakit Dalam dan Syaraf Rumah Sakit Nur Hidayah Bantul. Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia, 4(2), 90-94. INPHARNMED Journal (Indonesian Pharmacy and Natural Medicine Journal), 1(1): 1–9. Tersedia di http://ejournal.almaata.ac.id/index.php/INPHARNMED/article/view/542.

Suhardono, Siswanto, Sugiharta, J. & Normawati, A.T. 2020. The effect of aloe vera compress on the injection area of infusion to phlebitis incidences in local government hospital in Indonesia. Journal of Critical Reviews, 7(4): 581–583.

Published

2023-08-30

How to Cite

Tahir, N. S., Kadir, S., & Boekoesoe, L. (2023). Faktor Risiko Kejadian Healthcare Associated Infections Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap Di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto. Health Information : Jurnal Penelitian, 15(2), e1050. Retrieved from https://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/hijp/article/view/1050

Issue

Section

Original Research

Citation Check

Most read articles by the same author(s)